Sukses

Mengupas Istilah Happy dan Hypoxia serta Kaitannya dengan COVID-19

Happy Hypoxia menjadi ramai diperbincangkan lantaran disebut sebagai gejala dari COVID-19

Liputan6.com, Jakarta - Istilah Happy Hypoxia baru-baru ini tengah jadi perbincangan setelah media menayangkan komentar Bupati Banyumas yang kehilangan sahabatnya karena COVID-19.

Kabar duka itu membuatnya kaget, disebabkan beberapa hari sebelum meninggal sahabatnya itu tampak sehat tanpa menunjukkan gejala apapun.

Melihat kasus ini, Tim Ahli Gugus Tugas COVID-19 Jawa Tengah DR. dr. Budi Laksono, MHSc berpendapat bahwa kematian yang terjadi akibat COVID-19 tanpa adanya gejala bisa disebabkan Happy Hypoxia.

Menurutnya, happiness atau euforia atau kebahagiaan adalah suatu keadaan yang menyebabkan perasaan nikmat dan bahagia. Mekanisme ini masih misterius karena ada di otak. Walaupun begitu, ada teori happiness yaitu terangsangnya area happiness di otak (hedonic hot spot di hypothalamus otak) sehingga mengeluarkan gelombang dan hormon happiness ke seluruh tubuh.

Hormon kebahagian disebut endorfin yang dengan cepat diproduksi dan menyebar ke seluruh tubuh sehingga menyebabkan semua sel mengalami kenikmatan.  Hormon tersebut juga cepat dipecah (masa paruh) sehingga efeknya terbatas waktu.

“Rangsangan itu bisa dimunculkan baik natural maupun dibuat. Secara natural ketika kita melihat pemandangan indah, mendengar, merasakan dengan kulit dan indra lainnya maka akan merangsang produksi hormon endorfin di otak. Semakin sering hormon ini keluar, sel akan lebih baik metabolismenya dan awet muda orang yang mengalaminya. Rangsang natural lain adalah olahraga, musik, silaturahmi, reuni, minum ketika dahaga, air sejuk ketika kepanasan, seksual, dan lain-lain,” kata melalui pesan teks kepada Liputan6.com, Jumat (11/9/2020).

Selain natural stimulan, ada juga stimulan yang bisa dirangsangkan seperti obat tertentu atau keadaan tertentu. Obat stimulan dopamine, bahkan beberapa obat depresan, cannabinoid, gas nitrogen oksida (gas gelak) adalah obat yang sering digunakan orang untuk merangsang kebahagiaan. Ia menambahkan, dokter sering memberi obat untuk tujuan kesehatan pasiennya, tetapi banyak juga yang menyalahgunakan untuk kebahagiaan sendiri.

“Aktivitas psikologis merupakan stimulan juga. Berdoa, istigfar, yoga, bahkan penyiksaan bersifat pengorbanan yang dilihat orang sakit dan menyedihkan, bagi yang bersangkutan menimbulkan perasaan nikmat. Puasa, bagi orang tertentu tidak nyaman, tetapi bagi orang Islam selalu dirindukan. Orang Iran memecuti punggungnya hingga berdarah, orang Philipina dan Mexico disalib berdarah merasa nikmatnya. Happiness adalah paduan antara kejiwaan, spiritual dan body chemical.”

Simak Video Berikut Ini:

2 dari 4 halaman

Mengenal Hypoxia

Hypoxia adalah penurunan kadar oksigen dalam darah. Secara objektif bisa diukur kadar oksigen dengan alat oximeter dengan nilai normal 93 hingga 100. Kurang dari itu disebut hipoksia. Bila kurang dari 60 maka seseorang haruS dibantu dengan oksigen tambahan.

Kondisi ini disebabkan seseorang mengalami masalah dalam pernapasan baik karena sesak napas atau ikatan oksigen darah berkurang. Sesak napas bisa terjadi secara cepat seperti pada serangan asma, atau asma kronis, TBC dan gangguan paru lainnya.

Pada hypoxia akut, penderita akan terlihat terengah-engah saat bernapas. Namun, pada hipoksia kronis, kadang tubuh sudah mulai adaptasi sehingga penderita tidak tampak terengah walau kadar oksigen di darahnya menurun.

Keadaan ini sering juga disebut silent hypoxia. Pada penyakit tertentu seperti anemia kronis, thalasemia, gangguan ikatan oksigen darah, keracunan kronis CO, di daerah tinggi pegunungan “termasuk mungkin pada COVID-19” orang hypoxia  tidak merasakan apa-apa, dan berperilaku wajar saja. Istilah happy bukan berarti orangnya tampak gembira, tetapi karena tidak ada ekspresi terengah dan susah napas. 

“Dalam siklus harian orang  bisa mengalami kenaikan dan penurunan kadar oksigen yang menentukan siklus hariannya. Pada orang yang waspada, maka kadar oksigen tinggi dan bisa melakukan aktivitas fisik dengan wajar. Pada orang yang kelelahan, kadar oksigen merendah karena penggunaan yang tinggi oleh sel, sehingga orang ini merasa mengantuk. Ini merupakan mekanisme homeostasis tubuh makhluk hidup untuk hidup normal.”

3 dari 4 halaman

Happy Hypoxia pada COVID-19

Saat seseorang terkena COVID-19, pada umumnya orang tidak percaya dan menolak keadaanya.  Perilaku masyarakat umum dan persepsi sakit COVID-19 yang memunculkan diskriminasi, membuat penderita berusaha semaksimal mungkin menutupinya.

“Bahkan ketika gejala makin kuat, orang akan berusaha menyakinkan diri pasti akan sembuh sendiri. Ini menyebabkan statistik kematian COVID-19 saat ini terjadi pada kasus orang di luar ruang ICU. Bahkan 70 – 90 % orang yang datang ke rumah sakit, sudah pada derajat berat.”

Kematian bisa terjadi karena pada dasarnya manusia hanya memiliki ketahanan selama 2 menit ketika Keterlambatan Ini terjadi karena orang berusaha menekan gejala yang dirasakan. Bahkan ketika gejala berat mulai muncul, dia menyembunyikan dengan pura pura tidak sesak dan masih merasa sehat seperti biasa.

“Inilah yang bisa menimbulkan orang terlambat datang ke RS dan meninggal sebelum masuk ICU. Maka ketika teman-temannya bersaksi, maka dia mengatakan bahwa yang bersangkutan beberapa jam sebelumnya masih terlihat sehat. Dari dasar itulah, maka dokter yang merawat menduga dia mengalami Happy Hypoxia.”

“Dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pada COVID-19, rendah kemungkinan terjadi happy hypoxia.”

Saat terinfeksi COVID-19 orang mengalami sesak dan terengah. Diskriminasi sering membuat orang menolak keadaannya yang membuat justru terlambat diobati.

Budi mengimbau, bila mengalami gejala COVID-19, seperti demam, flu, ada riwayat risiko terpapar, maka seawal mungkin harus datang ke Puskesmas untuk tes dan bila sudah mengalami sesak, maka harus ke RS agar diterapi seoptimal mungkin.

4 dari 4 halaman

Infografis: