Sukses

Pusara Digital untuk Tenaga Kesehatan yang Gugur Melawan COVID-19

Kehadiran Pusara Digital untuk tenaga kesehatan yang gugur melawan COVID-19.

Liputan6.com, Jakarta Jumlah tenaga kesehatan yang gugur melawan COVID-19 bukan hanya sekadar angka. Mereka memiliki kisah dan relasi sosial di masa lalu. Mereka punya peran di dalam kehidupan kita. Untuk mengenang mereka yang telah tiada, pusara digital ibarat monumen peringatan tragedi kesehatan. Pun sebagai jejak digital bahwa sosok mereka akan terus abadi.

Pusara Digital untuk mengenang tenaga kesehatan ini baru diluncurkan Lapor COVID-19 yang dapat diakses di situs https://nakes.laporcovid19.org/. Kehadiran pusara digital menurut Ketua Umum Jurnalis Bencana dan Krisis (JBK) Ahmad Arif diharapkan menjadi semacam museum pengetahuan, tempat kita mengingat dan refleksi tentang mereka yang gugur.

“Saya teringat pantun, Mereka yang telah pergi takkan kembali. Kenangan tidak boleh padam. Kami berupaya mendokumentasikan seluruh tenaga kesehatan. Bagi keluarga, sejawat, dan sahabat, silakan menabur bunga di pusara digital,” ujar Arif saat sesi peluncuran Pusara Digital, ditulis Minggu (20/9/2020).

Adanya Pusara Digital mengingatkan Arif pada bencana Tsunami Aceh tahun 2004. Pasca tragedi yang menelan korban sekitar 160.000 jiwa, sebagai bentuk peringatan pun didirikan Museum Tsunami Aceh pada 2009. 

“Setiap hari, kita kini mendengar kabar orang yang terpapar COVID-19 dan meninggal dunia. Jumlahnya terus bertambah tanpa kita tahu kapan pandemi COVID-19 akan berakhir. Bagi saya pribadi, situasi seperti ini yang mengingatkan pada gempa dan Tsunami Aceh 2004. Bedanya, Tsunami Aceh dalam sekejap menewaskan korban jiwa, sedangkan COVID-19 masih terus berkepanjangan,” tuturnya.

“Kemudian Museum Tsunami Aceh yang mendokumentasikan nama-nama korban yang meninggal dalam tragedi. Hingga saat ini, warga Aceh bisa berziarah ke sana sekaligus mengenal dan belajar tentang tsunami, yang bisa sewaktu-waktu kembali datang.”

 

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:

2 dari 7 halaman

Tetap Praktik dan Menyayangi Pasien

Kenangan beberapa dokter yang meninggal dituturkan anggota keluarga dan sejawat. Dokter spesialis anak Retno Ayu Adhisti menceritakan almarhum sang ayah, Riyanto. Yanto, panggilan akrabnya adalah dokter spesialis obstetri dan ginekolog di Tuban, Jawa Timur.

 

“Saya merupakan putri pertama dari dokter Yanto, yang berpulang pada 26 Agustus 2020 karena COVID-19. Papa saya sudah jadi dokter kandungan di Tuban lebih dari 20 tahun. Beliau termasuk orang yang semangat sekali bekerja,” tutur Adhisti.

“Di kala usianya 70 tahun, sesama teman sejawat berhenti praktik, dia masih sayang sama pasien-pasiennya. Biasanya banyak yang pengen (ditangani) lahiran sama Papa. Segala perlengkapan alat pelindung diri sudah kami siapkan. Pada waktu itu, sebenarnya enggak ada gejala sama sekali.”

 

Sepeninggal kepergian Yanto, Adhisti mengungkapkan, ayahnya sangat dicintai para pasien dan orang-orang yang mengenalnya. Walaupun Adhisti dan keluarga harus isolasi mandiri, pengajian dan tahlilan dilakukan orang-orang yang mengenalinya.

“Papa itu sangat sibuk. Ingat banget waktu kecil, kalau saya ditanya, mau jadi dokter kandungan atau enggak? Saya selalu dengan tegas menolak. Soalnya melihat Papa saya enggak pernah pulang. Siang-malam selalu dapat panggilan,” terang Adhisti.

“Beliau juga senang banget ngajar. Selepas Papa enggak ada, kami sekeluarga juga harus langsung isolasi mandiri. Dan banyak orang yang mengadakan pengajian sendiri, tahlilan untuk mengenang jasa Papa. Selain itu, kami tidak bisa mendampingi pada saat masa-masa terakhir Papa.”

Proses pemakaman Yanto pun lancar. Bagi Adhisti, pusara digital menjadi wadah kenangan untuk publik mengenal sosok Yanto. Ia berharap tidak ada lagi tenaga kesehatan yang meninggal karena COVID-19. 

“Soal stigma yang tersebar, kalau misalnya, kena COVID-19 seperti aib itu tidak terjadi pada kami. Alhamdulillah, proses pemakaman semuanya lancar,”

“Saya juga terima kasih banyak dengan adanya pusara digital yang dibuat untuk maksud dan tujuan baik. Ya, supaya kita bisa mengenal beliau-beliau (tenaga kesehatan) yang gugur karena COVID-19. Harapannya tidak ada lagi yang kehilangan dikarenakan COVID-19 ini.”

Yanto menyelesaikan pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya 1980. Ia melanjutkan Pendidikan Dokter Spesialis Kandungan di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada 1987-1991. Selanjutnya, mulai bekerja di Tuban tahun 1992. Selain mengelola Klinik Rengganis, Yanto aktif bekerja di RS Medika Mulia serta RS PKU Muhammadiyah Tuban.

 

3 dari 7 halaman

Kehilangan Dua Guru dalam Hitungan Hari

Cerita penuturan lain datang dari ahli toksikologi Tri Maharani. Ia adalah murid almarhum dokter spesialis farmakologi Mulyohadi Ali dan Achmad Chusnul Chuluq. Hanya berselang hitungan hari, Maha, sapaan akrabnya kehilangan dua gurunya tersebut karena COVID-19.

 

“Saya adalah murid dari Prof Ali juga murid dari dokter Chusnul 30 tahun yang lalu. Dalam waktu yang singkat, hanya berselang satu atau dua hari, saya sudah kehilangan dua guru yang sangat luar biasa. Karena selama 30 tahun, saya mengenal beliau-beliau ini,” tutur Maha dengan nada sendu.

“Dulu, saya S1 dan S3 di Universitas Brawijaya Malang, kecuali S2 di universitas lain. Profesor Ali sangat sederhana dan dicintai murid-muridnya. Bahkan ketika saya sekolah double spesialis dan S3, yang tidak pernah dilakukan oleh seorang Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)  di Indonesia. Saya pernah mendapatkan sebuah kenangan.”

 

Entah kenapa, Prof Ali, lanjut Maha, tahu dirinya setiap hari berjalan kaki. Ini karena Maha tidak punya uang untuk naik angkot, terlebih lagi ia seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang harus bersekolah untuk mendapatkan dua gelar, yakni spesialis dan S3.

“Uang saya enggak cukup (buat naik angkot). Pada suatu hari, dia tahu saya berjalan kaki cukup jauh dari RS Saiful Anwar Malang ke Universitas Brawijaya, jaraknya 4 km. Dia tahu saya berjalan kaki. mungkin melihat saya pas keluar dari rumah sakit. Sampai di universitas, saya dipanggil sama dia. Sendirian,” lanjutnya.

“Lalu dia memberi uang Rp50.000. Ini terjadi tahun 2011. Dia tahu bahwa saya sangat berat untuk bersekolah spesialis dan S3. Ketika saya lulus S3 tahun 2014, dia menyalami saya dan bilang, Udah kelar ya semua perjuanganmu. Kamu sudah mendapatkan S3 dan spesialis. Saya dengar kamu sekarang sudah menjadi Advisor WHO untuk gigitan ular.”

Ali bekerja sebagai Kepala Lab Farmakologi FK Universitas Brawijaya. Ia sempat mengambil postdoctoral di National University of Singapore bidang studi Toksikologi Lingkungan dan menjadi Pembantu Dekan I FK UB periode 2002 – 2005. Ia ditetapkan sebagai Guru Besar Farmakologi pada 1 September 2017. Terakhir ia menjadi Ketua Komite Internsip Dokter Indonesia periode 2011 – 2014.

 

4 dari 7 halaman

Menjadi Bekal Kehidupan

Maha berharap bisa mengucapkan terima kasih lewat pusara digital kepada Ali yang sudah memberikan ilmu. Ali adalah ahli farmakologi toksikologi, sedangkan Maha sekarang adalah ahli toksikologi. 

“Saya berharap apa yang sudah diberikan beliau selama puluhan tahun pada saya, itu bisa menjadi bekal kehidupan selanjutnya,” harapnya.

Sosok Chusnul bagi Maha juga sangat lekat di hati. Ia adalah alumni Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya dan melanjutkan pendidikannya di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya. Chusnul bekerja di Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya.

Setelah purna tugas, ia menetap di Tumpal, Malang yang terus memberikan pelayanan kepada masyarakat sekitar. Kesan Maha, Chusnul adalah dokter yang mengajar kesehatan masyarakat (public health) yang rendah hati. Caranya mengajar sukses memikat hati para muridnya.

 

“Beliau mengajar saya di bidang studi public health. Beliau sangat lucu dan rendah hati. Public health ini sebuah kuliah yang biasanya para mahasiswa kedokteran agak mengantuk. Karena kan memang banyak sekali materi dan di luar ekspektasi kami,” kenang Maha.

“Kadang-kadang beliau bisa menghidupkan itu (materi kuliah) dengan cerita-cerita setiap hari tentang public health. Beliau bekerja di Tumpang dan sangat disayangi oleh pasiennya. Bahkan sampai beliau sudah pensiun--purna tugas--banyak sekali pasien-pasien yang datang.”

 

Maha mengaku kaget ketika diberitahu bahwa Chusnul terkena COVID-19 dan sudah mengalami penurunan kesadaran. 

“Kami Angkatan 90 diberitahu bahwa dokter Chusnul sudah penurunan kesadaran dan diminta berdoa. Ternyata tepat di malam itu juga, dokter Chusnul meninggalkan kami semuanya. Apa yang diberikan dokter Chusnul dan Ali kepada kami semua, saya sebagai murid sangat luar biasa. Semoga kami bisa meneladani beliau lewat ilmu bermanfaat yang diajarkannya,” tutup Maha.

 

5 dari 7 halaman

‘Terima Kasih telah Merawat Anak Kami’

Kepada dokter dan perawat yang merawat Berkatnu, terima kasih telah merawat kami. Sebuah kalimat dari Inriaty, ibunda almarhum dokter Berkatnu Indrawan Janguk. Berkatnu sempat dirawat selama tiga minggu di RS Soewandhi Surabaya, sebelum akhirnya meninggal dunia pada 27 April 2020.

 

“Saya mengucapkan terima kasih kepada RS Soewandhie Surabaya yang telah merawat anak kami, Indra, sapaan kecilnya di rumah. Indra dirawat selama 22 hari sampai mengembuskan napas terakhir,” ungkap Inriaty sambil terisak.

“Untuk para dokter dan perawat yang telah berjuang merawat Indra sampai akhir, saya juga berterima kasih. Kami sekeluarga juga termasuk diisolasi karena COVID-19. Papanya Indra, dua bulan kemudian berpulang.”

 

Berkatnu, lanjut Inriaty, termasuk anak yang penurut, hormat kepada orang yang lebih tua. Dalam bergaul, ia tidak pernah bermasalah, dengan anak-anak kecil pun sangat perhatian. Sejak kecil, ia sudah bercita-cita menjadi dokter.

“Indra sangat menyayangi kami, orangtuanya dan adik satu-satunya. Dia juga sangat peduli dengan orang lain. Walaupun kami berpisah, dia di Surabaya, kami di Kalimantan. Setiap hari dia menyempatkan untuk menelpon saya walau hanya sekedar menanyakan kabar dan kesehatan kami,” lanjutnya.

“Selama menjalankan tugas, dia sangat bertanggung jawab. Rela berkorban untuk orang lain. Kesehariannya, Indra orang yang rendah hati dan selalu menghargai orang lain.” 

Di sela-sela kesibukan dan berbagai kegiatan lain di rumah sakit, Berkatnu meluangkan waktunya berdoa dan membaca firman Tuhan. 

“Ada ucapan yang selalu saya ingat, Indra melayani dengan hati. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik. Aku telah mencapai garis akhir dan telah memelihara iman.”

Inriaty juga mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan penghargaan yang diberikan kepada Berkatnu yang gugur meninggal terkena COVID-19.  Ia berdoa semoga para tenaga kesehatan diberikan kekuatan berjuang melawan COVID-19.

“Kepada para tenaga medis, dokter, dan perawat, kami hanya bisa berdoa, Semoga selalu diberi kekuatan kesehatan, sehingga dengan tulus hati dan ikhlas dapat merawat pasien-pasien  yang ada sekarang,” tutup Inriaty.

 

6 dari 7 halaman

Mengingat Jasa-jasa dan Melanjutkan Perjuangan

Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah menyampaikan, bagaimana perawat dalam merawat pasien dilakukan dengan tulus ikhlas. Mereka melayani pasien dengan sebaik-baiknya.

 

“Sebagai profesi perawat, salah satu risiko yang dihadapi adalah risiko terhadap paparan COVID-19. Karena kami banyak sekali kemungkinan kontak dengan pasien-pasien, kontak dengan lingkungan pada saat berangkat dan pergi kerja,” katanya.

“Kemudian kontak dengan transportasi umum dan lain sebagainya. Namun, kewaspadaan terus-menerus harus dilakukan. Semoga pusara digital ini menjadi sebuah momentum untuk mengingat jasa-jasa yang telah berjuang di dalam dunia kesehatan.”

 

Lebih lanjut, Harif mengatakan, pusara digital mengingatkan kepada kita yang masih hidup untuk selalu disiplin dalam melayani serta ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. 

Senada dengan Harif, Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban menambahkan, perjuangan rekan-rekan tenaga kesehatan yang telah meninggal dunia akan terus dilanjutkan. Semangat melayani dan merawat pasien akan tetap dilakukan.

“Anda-anda semua yang telah meninggalkan kami akan menjadi role model (panutan/teladan). Role model bagi kami, para dokter, mahasiswa kedokteran, dan semua keluarga. Kami berjanji untuk melanjutkan perjuangan ini.”

Sembari terisak, Zubairi berdoa seluruh tenaga kesehatan yang gugur diberikan tempat terbaik di sisi-Nya. 

“Mohon juga dibebaskan dari siksa kubur bagi Anda semua yang telah gugur. Selamat jalan, Sahabatku… Selamat jalan teman-temanku… Kami semua akan melanjutkan perjuangan untuk menyuarakan pesan kemanusiaan ini,” Zubairi berdoa.

7 dari 7 halaman

Infografis Lonjakan Pasien Covid-19 di RSD Wisma Atlet