Sukses

HEADLINE: 2.291 Bidan dan 800 Apoteker Terpapar COVID-19, Lengah Mengikuti Protokol?

Pandemi virus Corona SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 tak hanya memakan korban dokter dan perawat. Sejumlah tenaga kesehatan seperti bidan dan apoteker turut terpapar virus yang pertama kali merebak di Wuhan, Cina.

Liputan6.com, Jakarta Pandemi virus Corona SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 tak hanya memakan korban dokter dan perawat. Sejumlah tenaga kesehatan seperti bidan dan apoteker turut terpapar virus yang pertama kali merebak di Wuhan, China ini.

Pada Senin, 21 September 2020, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) mengumumkan 803 apoteker positif COVID-19. Bahkan enam orang di antaranya meninggal dunia, seperti disampaikan Ketua Bidang Apoteker Advance dan Spesialis PP IAI Keri Lestari Dandan.

"Ada 6 korban yang meninggal," katanya dalam Talk Show Benteng Terakhir Penanganan Covid-19 di Gedung BNPB, Jakarta Timur, Selasa (22/9/2020).

Saat ini, IAI tengah melakukan update data. Dalam pemaparannya, Keri menyebut 640 apoteker dinyatakan sembuh, 723 orang masih menjalani isolasi mandiri dan 283 merupakan kontak erat dengan pasien COVID-19.

"Tentu saja ini semua merupakan suatu pengabdian profesi yang harus kami lakukan. Apapun yang terjadi apoteker harus tetap bersama dengan masyarakat, terutama mengawal penggunaan obat yang memang rasional dan mempunyai kemanfaatan dan aman untuk masyarakat." 

Sementara itu, data PP Ikatan Bidan Indonesia (IBI) hingga Senin (21/9/2020) menunjukkan, 2.291 bidan di Indonesia positif COVID-19 dengan 22 orang di antaranya meninggal dunia.

Sekretaris Jenderal PP IBI Ade Jubaedah mengatakan, ada 913 bidan berstatus suspek, 2 kasus probabel, sebanyak 746 masih menjalani isolasi mandiri dan 178 orang lainnya dalam perawatan di rumah sakit. 

"Isolasi mandiri 746, suspek 913, kontak erat 223," jelas Ade Jubaedah, juga dalam Talk Show Benteng Terakhir Penanganan Covid-19, Selasa (22/9/2020).

Pada awal April 2020 lalu, IAI juga menyoroti perihal risiko profesi apoteker terpapar COVID-19. Terutama ketika itu, alat pelindung diri masih minim.

"Apoteker di sarana pelayanan kefarmasian juga sangat rentan tertular oleh SARS-CoV-2 ini karena mereka juga langsung berhadapan dengan masyarakat umum," kata Ketua Umum PP IAI Nurul Falah Eddy Pariang dalam kegiatan distribusi bantuan logistik kepada para apoteker di 34 provinsi yang bekerja sama dengan PT Enseval Putra Megatrading di Pulogadung, Jakarta.

Menurutnya, selain dokter dan perawat, apoteker yang bertugas di layanan kefarmasian juga berada di garda terdepan penanganan pasien COVID-19.

Seperti halnya dokter dan perawat, bidan serta apoteker pun menghadapi wabah COVID-19 di rumah sakit, puskesmas, dan apotek.  

 

Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini

2 dari 4 halaman

Kenapa Bidan dan Apoteker Rentan Terpapar COVID-19?

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra berpendapat, semua tenaga kesehatan yang berada di lapangan berisiko tinggi tertular virus Corona baru. 

"Semua tenaga kesehatan, tak cuma dokter dan perawat, ada bidan, apoteker, fisioterapis, tenaga kesehatan masyarakat, memang orang-orang yang ada di lapangan memberikan pelayanan ke pasien risikonya memang tinggi. Hanya saja, tidak terdata dengan baik," kata Hermawan. 

Menurut Hermawan, meskipun bidan sudah menjalankan protokol kesehatan termasuk memakai APD seperti masker, hal yang sama belum tentu dilakukan oleh pasien.

"Itulah yang terjadi, maka risiko keterpaparan COVID-19 di bidan tinggi," tutur Hermawan lewat sambungan telepon dengan Health-Liputan6.com, Rabu (23/9/2020).

Apoteker juga salah satu petugas kesehatan yang memang memiliki risiko tinggi terpapar COVID-19. Misalnya apoteker yang bekerja di rumah sakit, meski sudah memakai APD dan pembatas mika, tetap saja kontak fisik dengan pasien ada. Lalu, apoteker kadang masih menerima uang pembayaran yang bisa jadi salah satu media transmisi COVID-19.

"Jadi, memang rentan."

Kondisi apoteker dan bidan rentan terpapar COVID-19 karena berinteraksi langsung dengan pasien pun diakui oleh kedua organisasi profesi.  

Keri Lestari mengatakan, apoteker secara langsung melayani pasien di apotek, puskesmas, dan rumah sakit.

"Sekarang ini, apoteker harus berhubungan dengan pasien, baik itu di apotek maupun di puskesmas. Kalau di puskesmas kita harus melayani masyarakat," ujarnya.

Seperti diketahui, virus penyebab COVID-19 menular melalui droplet atau percikan individu yang positif terpapar ketika mereka berbicara, bersin, atau batuk. Karenanya, berhadapan langsung dengan pasien atau orang tanpa gejala (OTG) di apotek dan fasilitas kesehatan meningkatkan risiko apoteker ikut terpapar. 

Demikian pula dengan bidan. Ketua Umum PP IBI Emi Nurjasmi mengatakan, bidan rentan terpapar COVID-19, salah satunya karena sering berinteraksi dengan pasien.

"Tenaga kesehatan ini rentan terpapar COVID-19, termasuk bidan. Karena kami sering berinteraksi dengan pasien," terang Ketua Umum PP IBI Emi Nurjasmi saat dihubungi Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Rabu (23/9/2020).

Pada masa pandemi seperti saat ini, keterbukaan pasien akan riwayat kesehatan dan gejala yang dialaminya sangat diperlukan ketika akan melakukan pemeriksaan di bidan.  

Selain itu, Emi juga menyebut soal penggunaan alat pelindung diri (APD) sebagai kemungkinan lain penyebab bidan terpapar COVID-19.

"Kenapa masih ada terpapar COVID-19? Bisa berbagai macam juga terpaparnya. Barangkali, APD-nya yang tidak lengkap, lalu terkait memakai dan melepas," tegasnya.

 

3 dari 4 halaman

Tindakan Organisasi Profesi

Saat ini, para apoteker dan bidan yang terpapar COVID-19 menjalani perawatan di rumah sakit atau isolasi mandiri sesuai tingkat keparahan masing-masing.

Emi menambahkan, penanganan dan perawatan para bidan yang dinyatakan positif terinfeksi SARS-CoV-2 dikembalikan ke pengurusan daerah masing-masing.

"Saya kira sama dengan teman-teman kesehatan lain, seperti kedokeran, keperawatan dan lain-lain. Mereka (yang terpapar COVID-19) sekarang ditangani daerah masing-masing," kata Emi kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Rabu (23/9/2020).

"Ya, jadi ditangani sesuai dengan protokol yang ada. Dan semua tenaga kesehatan diperlakukan sama (dalam perawatan). Tidak membeda-bedakan, apakah dia dokter, perawat atau bidan. Penanganan di rumah sakit, kota maupun daerah tetap sama."

 

Memanfaatkan Layanan Daring, Telemedicine, dan Telefarmasi

Baik PP IBI maupun PP IAI berupaya menekan penularan COVID-19 pada anggota mereka. Imbauan protokol kesehatan, dari penggunaan alat pelindung diri hingga kewaspadaan ketika kontak dengan pasien terus menerus dilakukan. Kedua organisasi profesi itu juga memanfaatkan layanan daring dalam pendaftaran maupun konsultasi pasien. 

PP IBI misalnya, menerapkan registrasi online atau membuat janji terlebih dahulu dengan bidan. Ade menyebutkan, pembuatan janji temu antara pasien dengan bidan bukan hanya untuk menghindari berkerumunnya orang di fasilitas kesehatan, namun juga untuk melindungi tenaga kesehatan itu sendiri.

"Kami meminimalisir penularan COVID-19 di antara teman-teman bidan itu sekarang, kalau datang ke bidan harus registrasi online dulu. Sehingga nanti bisa konfirmasi dulu siapa yang akan datang," terang Emi. 

Dengan registrasi online, bidan juga bisa mempersiapkan diri dengan menggunakan APD sebelum bertemu pasien. 

"Yang tak kalah penting adalah bidan siap dengan APD-nya. Karena dengan bidan siap, kalau pasien datang, maka semua terlindungi," ujarnya. Hal ini pun juga berlaku bagi ibu yang akan melakukan proses persalinan.

Memanfaatkan layanan registrasi daring, diharapkan pasien juga lebih terbuka mengenai kondisi atau riwayat kesehatan mereka. 

"Kami sudah membuat sedemikian rupa mekanisme (pertanyaan) yang menggali informasi dan lainnya. Ya, mudah-mudahan, mereka (pasien) jujur semua." 

Lebih lanjut, Emi mengatakan, pasien tidak perlu malu dan menyembunyikan informasi kesehatan yang ada kepada bidan.

"Kami mohon kerjasama keterbukaan informasi juga dari pasien. Informasi apa saja juga disampaikan saja. Ini untuk memutus mata rantai COVID-19. Jangan disembunyikan (informasi), nanti (penularan COVID-19) akan bergulir terus. dan tidak akan selesai," lanjutnya. 

Sementara IAI melindungi anggotanya dari paparan COVID-19 dengan meningkatkan metode telefarmasi dan telemedicine untuk pelayanan kepada pasien. "Kami sekarang sedang mengembangkan juga pendampingan informasi mandiri apoteker menggunakan IT."

Untuk apoteker yang bertugas di layanan COVID-19, Keri mengatakan sudah ada standar operasional yang diberlakukan. Termasuk penggunaan APD, bagaimana pembukaan layanan, hingga pembatasan jarak.

"Jadi standar itu bukan hanya apoteker Indonesia yang buat tetapi juga dibuat merujuk pada standar pelayanan apoteker di masa pandemi oleh FIP (International Pharmaceutical Federation)."

"Intinya di masa pandemi ini, apoteker harus berhubungan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat, tetapi tentu dengan menjaga keselamatannya masing-masing," tambahnya.

Baik IBI dan IAI terus mengimbau para anggotanya untuk mematuhi protokol kesehatan dan menjalankan tugas mereka sesuai panduan atau pedoman profesi yang berlaku di masa pandemi. 

"Tetap menjaga jarak, tetap menjaga juga kondisi masing-masing teman-teman sejawat apoteker dengan selalu menjaga nutrisi, kemudian menggunakan suplemen, dan disiplin 3M," ucap Keri. 

 

Ketersediaan APD

Dari sisi ketersediaan APD, Emi mengungkapkan, pakaian pelindung tersebut sudah mencukupi. Berbagai instansi/lembaga, organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan NGO ikut mendukung ketersediaan APD para bidan.

"Alhamdulillah, sekarang sudah cukup banyak bantuan APD. APD selalu banyak kok dari Kementerian Kesehatan dan IDI. Kemudian bantuan APD juga datang dari lembaga-lembaga lain serta NGO," ungkapnya.

Panduan penggunaan APD juga disebarluaskan kepada para bidan di seluruh Indonesia.

"Kami sudah mengunggah penggunaan APD, bagaimana cara memakai dan melepas. Ya, kami mengingatkan terus kepada teman-teman bidan. Kepada stakeholder, kami selalu meminta dukungan untuk men-support teman-teman bidan yang kekurangan APD," lanjut Emi.

Begitu pula dengan jam kerja bidan di fasilitas kesehatan, Emi menambahkan, tidak ada masalah. Jam kerja bidan yang bekerja di rumah sakit mengikuti peraturan yang ada, yakni tiga shift sehari. Dalam hal ini, waktu istirahat bidan terkontrol dengan baik.

"Sampai sekarang di rumah sakit mengikuti shift yang ada di rumah sakit, sehari tiga shift. Sebenarnya, kalau teman-teman bidan yang sebagian bekerja di rumah sakit itu tidak merawat pasien COVID-19 di tempat isolasi," tambah Emi.

"Beda mungkin dengan dokter dan perawat, yang masuk ke ruang isolasi pasien COVID-19. Kalau bidan mungkin juga ada (yang menangani pasien COVID-19), tapi jumlahnya tidak banyak."

Protokol kesehatan bidan di rumah sakit sama seperti tenaga medis dan kesehatan lain, seperti penggunaan APD lengkap. 

4 dari 4 halaman

Jangan Lengah

Melihat banyaknya kasus COVID-19 pada tenaga kesehatan, Hermawan mengimbau termasuk para bidan dan apoteker untuk meningkatkan level kewaspadaan. 

Ada dua pesan yang disampaikan Hermawan, yakni penggunaan APD dan komunikasi antara tenaga kesehatan dengan organisasi profesi.

"Pertama, perkuat penggunaan Alat Pelindung Diri. Jangan menyepelekan orang per orang, walaupun (pasien) tetangga dekat, kewaspadaan harus tinggi," katanya.

Dalam kondisi pandemi seperti sekarang di mana sudah samar lagi klaster COVID-19 dan banyaknya orang tanpa gejala COVID-19 membuat kita tidak tahu lagi siapa yang terinfeksi di lapangan. 

"Seperti di kota-kota besar, itu sudah terjadi silent transmission. Maka level kewaspadaan harus tinggi," tuturnya.

"Jangan lengah sedikit pun," sarannya.

Kedua, Hermawan menyorot komunikasi antara tenaga kesehatan dengan organisasi profesi. Segera laporkan diri bila terinfeksi COVID-19 sehingga terdata siapa saja yang terpapar COVID-19. 

"Semua itu bermanfaat, dengan adanya pendataan maka advokasi ke pemerintah bisa dilakukan," tuturnya.