Liputan6.com, Manila - Loida, seorang pedagang kaki lima di Manila, berhasil menyulap makanan 'tak layak makan' menjadi seporsi makanan lezat yang dapat dinikmati masyarakat miskin di Tondo.
Tondo merupakan salah satu pemukiman kumuh paling miskin di Manila, yang warganya kerap mengais makanan dari tempat sampah.
Menu yang berhasil diracik Loida adalah monok, hindangan khas Filipina yang terbuat dari ayam suwir yang digoreng dengan cuka, bawang bombai, kecap, dan cabai.
Advertisement
Menyadari harga daging segar yang relatif mahal, Loida pun mendaur ulang sisa ayam yang berasal dari restoran di sejumlah hotel.
"Jadi, daging ayam yang sudah direbus itu sudah tidak ada rasanya lagi. Daging-daging itu tidak dibuang, juru masak hotel justru menjualnya guna mendapatkan uang tambahan. Ini pekerjaan sampingan mereka," ujarnya dikutip dari situs Channel News Asia pada Sabtu, 26 September 2020.
Baca Juga
Setelah mendapatkan daging ayam, Loida lalu mengupas dagingnya, memasaknya kembali, kemudian menjualnya dengan harga murah. Seporsinya hanya 15 peso atau setara dengan Rp4.500.
"Awalnya ada yang menyebut ayam rebus pedas (monok) itu makanan yang kotor, tapi dengan begini orang-orang tak mampu bisa diberi makan. Sekaligus mengurangi membuang-buang makanan karena masih bersih," Loida melanjutkan.
Loida adalah salah satu pedang kaki lima yang masuk ke dalam serial Slumfood Millionaire. Serial ini menyorot bakat para pedagang kaki lima yang tinggal di distrik termiskin di kota-kota terpadat di dunia, seperti Manila, Mumbai, dan Bangkok.
Loida dan beberapa pedagang kaki lima lainnya dinilai ahli dalam meracik hidangan dengan bahan-bahan murah, bahkan tidak jarang sering diabaikan. Contohnya, katak panggang makanan khas dari Phnom Penh dan sup krim ikan buntal dari Kota Kinabalu, yang tidak banyak orang mengetahuinya kecuali mereka yang tinggal di daerah tersebut.
Semakin Sedikit yang Mereka Miliki, Semakin Banyak yang Mereka Berikan
Dalam sebuah episode yang dibuat di Manila sebelum diberlakukannya lockdown akibat COVID-19, Loida terlihat mengangkut gerobak dorong birunya yang diisi dengan kantong pelastik berisi ayam, rempah-rempah, botok saus, dan tabung gas masak. Dia menelusuri gang-gang sempit sebelum mendirikan toko di persampingan jalan yang sibuk.
Kios ini diwariskan dari almarhumah ibunya. Dulu Loida terbiasa mengawasi dan melihat ibunya menyiapkan hidangan, merebus potongan ayam dalam cuka, rempah-rempah, dan kecap hitam sebelum menggorengnya untuk mendapatkan rasa ayam pedas dengan tekstur yang renyah.
Beberapa penduduk bertahan tinggal di sebuah lingkungan dengan hanya biaya hidup sebesar 400 USD atau setara dengan Rp6 jutaan dalam setahun.
“Saya tahu bagaimana rasanya tidak punya makanan, merasa kelaparan. Saya bahkan mengetuk pintu tetangga saya untuk meminta uang,” ujar Loida.
Dengan apa yang telah dialaminya, Loida berusaha untuk menjaga harga makanannya agar tetap terjangkau kepada masyarakat.
Seorang pelanggan memberi tahu Loida bahwa dia biasa menghabiskan 500 hingga 600 Peso (Rp150 ribu) sehari untuk makanan karena memiliki delapan anak, sampai dia menemukan warung monok Loida yang menjual makanan murah dan lezat.
Direktur Slumfood Millionaire, Ericson Gangoso, mengatakan bahwa kru produksi sangat tersentuh oleh semangat kepedulian Loida terhadap orang lain, dan dedikasinya yang teguh kepada keluarganya.
“Loida adalah wanita yang tidak mementingkan diri sendiri, membantu membesarkan keponakannya, memprioritaskan mereka di atas kebutuhannya sendiri. Itu membuat kami sadar bahwa semakin sedikit orang yang memiliki, semakin banyak mereka memberi,” kata Gangoso.
Dia menggambarkan bagaimana setiap profil dalam serial tersebut, dari mereka yang tinggal di daerah kumuh Manila hingga di Bangkok dan Mumbai. Mereka adalah pahlawan lokal di lingkungan mereka tinggal dimana semua orang mengenal mereka dengan sebutan namanya.
“Kami sering membuat film dengan mereka dan seorang penduduk berjalan melewatinya, sambil berkata 'Bibi Loida! Apakah mereka merekam cerita Anda?'," Gangoso menambahkan.
“Kami dengan rendah hati mengetahui tentang perjuangan mereka, bagaimana mereka bekerja untuk membuat hidup mereka lebih baik, dan bagaimana mereka membuat makanan dengan bangga," Gangoso menambahkan.
Dia mengatakan bahwa semua lingkungan itu berisik karena rumah-rumah padat, dan selalu ada sesuatu yang terjadi baik itu ulang tahun, sesi karaoke atau orang-orang yang menyiapkan makanan.
“Setiap lingkungan dipenuhi dengan bau. Setiap jam dalam sehari, seseorang selalu memasak, dan Anda bisa mencium aroma dari setiap dapur. Anda selalu lapar saat mencium aroma nikmat di daerah kumuh,” kata Gangoso.
(Deskhila Wijaya)
Advertisement