Liputan6.com, Jakarta Pandemi COVID-19 juga berdampak pada ditutupnya sektor pendidikan, termasuk sekolah-sekolah yang ada di Indonesia demi mencegah penyebaran virus yang lebih luas.
Hal ini membuat sekolah dan institusi pendidikan menyesuaikan metode belajar mengajar dengan kondisi terkini agar murid-murid tetap terpenuhi kebutuhannya dalam menempuh ilmu. Metode belajar jarak jauh dianggap yang paling cocok untuk diterapkan saat pandemi.
Baca Juga
Namun, tak jarang metode pembelajaran jarak jauh yang banyak dilakukan saat ini memiliki kendala tersendiri mulai dari beban pada orangtua, guru, hingga sang siswa sendiri.
Advertisement
Salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) swasta di Jakarta memiliki metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang berbeda dengan strategi-strategi yang banyak dilakukan.
Apabila umumnya PJJ dilakukan dengan kelas daring dan tetap memberlakukan "ujian tertulis" atau memberikan "pekerjaan rumah", SMP Tarakanita 2 menggunakan pembelajaran berbasis proyek (project based learning).
Kepada Health Liputan6.com, Erna Wijayanti, Wakil Kepala Bidang Kurikulum SMP Tarakanita 2 mengatakan bahwa mereka merasa tak mungkin memindahkan kelas luring tatap muka menjadi daring, mulai dari waktu belajar hingga kompetensi dasar.
"Dari refleksi kami dari yang mendadak PJJ di bulan Maret sampai Juni, menjadikan kami, sekolah bersama tim, berpikir keras bagaimana membuat model pembelajaran yang sarat dengan makna, dengan tujuan yang memang disasar peserta didik itu dapat," kata Erna pada Selasa (29/9/2020).
Erna mengatakan, project based learning (PjBL) yang telah dimulai sejak Juni ini, menggunakan proyek sebagai kegiatan mereka dalam belajar untuk mencapai kompetensi.
"Anak-anak harus merasakan kompetennya, compassion-nya, kerja sama, itu tidak mudah."
"Kami merasa bahwa pengetahuan dan pengalaman kami harus menjadi katalis bagi pelaku-pelaku pendidikan yang lain, sehingga memang kita bergerak bersama untuk memberi generasi-generasi bangsa ini yang baik di dalam kependidikan dengan keterbatasan yang ada," kata Erna.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Membuat Produk Digital
Untuk penerapannya, Erna mengungkapkan bahwa dalam program semester ini para siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil dan akan diberi suatu tema khusus yang sudah ditentukan pihak sekolah.
Dari sana, nantinya para peserta didik akan membuat proyek berdasarkan tema tersebut dengan diisi materi dari berbagai mata pelajaran yang mereka pelajari seperti seni, matematika, bahasa, sosial, sains, hingga agama. Mereka juga akan diberi tenggat waktu untuk merampungkan proyeknya.
"Memang tidak mudah mengawali, karena dalam model yang seperti ini dibutuhkan niat besar untuk mewujudkan dan mengawal (pola pendidikan) tersebut," katanya.
Erna menjelaskan, pengembangan proyek yang dibuat anak-anak nantinya juga akan mendapatkan pendampingan dari guru-guru serta dievaluasi. Sehingga, proses pertemuan daring nantinya akan berisi konsultasi dan pendampingan dari proyek yang dibuat oleh peserta didik.
"Jadi seperti saya, saya ada lima kelompok kecil yang advisor-nya adalah saya," ucap Erna.
Para siswa tidak perlu khawatir akan terbebani karena ada guru sebagai advisor yang menemani mereka dalam proses menyelesaikan proyek. "Kami prosesnya sebagai teman mereka kalau proyek mereka ada kendala."
Ia menambahkan, proses tersebut membuat peserta didik dan pengajar menjadi tidak berjarak.
"Artinya outcome kami yang sesuai tujuan didapat dan kami di tengah pandemi ini kan perlu ujian mental, psikis, dan jasmani. Namun sebagai seorang pendidik, hiburannya adalah ketika kita melihat proses dari perkembangan peserta didik itu sendiri."
"Lelah kami terbayar dengan hasil-hasil mereka pada hal yang terkadang kami tunggu, kejutan apa yang mereka hasilkan di kelompoknya."
Adapun, hasil dari pembelajaran ini adalah berbagai produk digital seperti podcast, blog, atau video. "Mereka diberi kebebasan untuk kreatif, mereka mencoba hal-hal baru," kata Erna.
Advertisement
Respon Peserta Didik
Tentu, proses ini bukan tanpa kendala. Erna mengatakan, tidak mudah untuk menemukan kecocokan antar peserta didik dalam suatu kelompok. Faktor komunikasi pun juga menjadi tantangan yang mereka hadapi.
"Harusnya yang satu ingin mengerjakan sudah bicara di grup tapi semua diam, jadi itu komunikasi."
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan sekolah, metode ini membuat peserta didik menjadi lebih produktif.
"Jadi aktivitas belajar mereka merasa bermakna, misalnya awalnya dapat kelompok yang malas-malasan, main gim, tidak selesai-selesai, atau TikTok, mereka beralih ke aktivitas yang produktif."
Cara pembelajaran ini disambut baik oleh peserta didik. Salah satunya adalah Aurel. Siswi kelas 9 ini mengatakan bahwa cara ini lebih menarik ketimbang menggunakan ujian tertulis.
"Pemahaman kami pun diuji tidak melalui tes tertulis seperti ulangan melainkan produk yang berupa proyek yang bisa berupa poster digital, video, blog, dan sebagainya," kata Aurel dalam sebuah rekaman testimoni yang diterima Health Liputan6.com.
Erna pun mengatakan bahwa nantinya, usai seluruh proses pembuatan satu proyek telah dilakukan, para murid pun bisa memberikan evaluasi mereka untuk keberlangsungan dari program semacam ini.
Peserta didik pun boleh memberikan tanggapan mengenai apa yang kurang dan apa yang sudah mereka dapatkan dari metode belajar yang baru mereka jalani.
Â
Â
Â
Merdeka untuk Berinovasi
Selain itu, orangtua siswa juga menanggapi metode ini dengan positif. "Beberapa balasan (surel) dari orangtua, menjadi testimoni penyemangat kami bahwa mereka mengucapkan terima kasih, dengan model pembelajaran baru itu ternyata pas dengan anak-anak mereka," kata Erna.
Erna menyebutkan, proses ini juga membuat pihak sekolah lebih mengenali pemetaan kemampuan yang ada dalam diri peserta didik. Sehingga, apabila ada lomba yang harus diikuti, sekolah tak lagi kesulitan mencari peserta didik yang harus mengikutinya.
Melihat hal-hal baik dari cara belajar seperti ini, Erna mengatakan ia optimistis dengan penerapan PjBL untuk dilakukan secara berkelanjutan.
"Kami menyadari bahwa pembelajaran yang kami lakukan dengan berbasis proyek ini sarat dengan makna. Tidak fokus pada teacher center, tetapi student center."
Ia pun memberikan tips apabila sekolah-sekolah lain ingin menerapkan hal serupa.
"Tipsnya adalah dicoba," kata Erna. Menurutnya, metode semacam ini berarti "merdeka untuk berinovasi" tanpa mengurangi optimalisasi dari hasil yang ingin dicapai.
"Karena kalau bicara tentang model pembelajaran, yang kita lakukan itu sesuai tidak dengan outcome yang ingin kita garap ke peserta didik."
"Tetap inovasi, kreasi, lakukan, learning by doing, kemudian melakukan evaluasi, refleksi perbaikan itu hal yang sangat penting sehingga kita memang melangkah jauh lebih baik lagi," pungkasnya.
Advertisement