Liputan6.com, Jakarta Epidemiolog Masdalina Pane menegaskan, untuk membuat vaksin COVID-19 tidak seperti layaknya membangun jalan tol yang bisa cepat. Ada metode-metode dalam pembuatan vaksin--uji klinis--yang tidak bisa dipercepat.
"Kita bikin vaksin enggak sama seperti bikin jalan tol. Kalau jalan tol, tiga bulan selesai. Tapi dalam penelitian obat dan vaksin, ada metode yang enggak bisa dipercepat," tegas Masdalina kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, ditulis Minggu (4/10/2020).
"Ada yang namanya pengamatan. Itu harus dimulai dari vaksin COVID-19 disuntikkan (kepada partisipan), dicek tiga hari kemudian, timbul Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) berupa demam, bengkak. Terus dicek sampai sebulan, tiga bulan, dan enam bulan."
Advertisement
Ketika vaksin COVID-19 disuntik kembali, partisipan diperiksa, apakah antibodi sudah muncul atau belum.
"Lamanya waktu itu, baru bisa kita ketahui efektivitasnya (vaksin). Jadi. enggak bisa terburu-buru (dipercepat) membuat vaksin COVID-19," lanjut Masdalina.
Â
Â
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Kelompok Prioritas Pemberian Vaksin COVID-19
Terkait 180 juta warga Indonesia yang jadi target pemberian vaksin COVID-19, Masdalina juga menyampaikan, soal kelompok prioritas. Ia yang juga anggota Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) pun ikut berdiskusi terkait target distribusi vaksin COVID-19.
"Minggu lalu, kami sudah rapat tentang distibusi vaksin COVID. Pertama-tama, membahas kelompok orang yang diprioritaskan (diberi vaksin). Pada rapat waktu itu, target pemberian vaksin masih diangka 130 juta, sekarang kan 180 juta ya. Ya, karena vaksin ini kan cukup mahal juga," terangnya.
"Prioritas pertama, petugas kesehatan yang merawat COVID-19 di rumah sakit. Kalau itu rumah sakit yang merawat pasien COVID-19, maka seluruh petugas yang ada di sana, bukan hanya petugas kesehatan, tapi juga termasuk cleaning service, semua ikut divaksin."
Untuk rumah sakit, yang bukan rumah sakit rujukan COVID-19, tapi melakukan perawatan pasien COVID-19 juga jadi target pemberian vaksin. Kemudian soal kematian terbanyak petugas skesehatan yang berada di layanan primer, seperti klinik dan praktik mandiri ikut diprioritaskan.
Kelompok prioritas berikutnya, yakni guru dan pendidik. Karena sekolah sudah hampir 7 bulan secara virtual. Aparat negara, terutama yang terjun dalam pengendalian COVID-19 (tentara, polisi, Aparatur Sipil Negara/ASN) yang memiliki mobilisasi yang tinggi juga jadi sasaran prioritas.
Terakhir, masyarakat yang memiliki mobilitas yang tinggi, terutama ditujukan untuk kelompok usia produktif antara 18-59 tahun menjadi kelompok prioritas pemberian vaksin COVID-19.
Â
Advertisement
Pertimbangan Uji Klinik Vaksin COVID-19
Untuk vaksin COVID-19 Sinovac yang sedang uji klinik fase tiga di Bandung, Jawa Barat, PAEI juga mempertimbangkan, uji klinik vaksin COVID-19. Apalagi uji klinik dilakukan hanya di satu daerah saja.
"Kami juga pertanyaan soal uji klinik. Di Brasil juga melakukan uji klinik vaksin Sinovac terhadap 5 sampai 6 provinsi yang berbeda. Di kita sendiri, hanya di Jawa barat. Nah, bagaimana kalau (vaksin)Â itu kita kasih ke Papua, kita punya banyak sekali perbedaan dengan mereka di sana (sampel)," jelas Masdalina.
"Kita ini kan punya mekanisme penelitian multiside. Jadi, sebagian wilayah punya fakultas kedokteran, program studi epidemiologi, yang semuanya melakukan penelitian multisite (dapat turut melakukan uji klinik vaksin)."
Diharapkan vaksin Sinovac nanti, hasilnya dapat adekuat (respons imun normal), yang membentuk antibodi bertahan lama.
"Saya berharap adanya vaksin Merah Putih (sampel dari seluruh Indonesia). Biarpun membutuhkan waktu lama membuatnya," tutup Masdalina.
Â
Infografis 180 Juta Warga Indonesia Target Vaksin Covid-19
Advertisement