Liputan6.com, Jakarta Hingga kini, Indonesia belum memiliki satu pun laboratorium diagnostik khusus untuk penyakit langka. Padahal, salah satu upaya agar anak-anak dengan penyakit langka bisa mendapatkan perawatan adalah melalui penegakan diagnosis dini lewat laboratorium diagnostik.
Dilansir dari Antara, Kepala Pusat Penyakit Langka RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Prof. Damayanti Rusli Sjarif mengatakan, “Di Indonesia betul-betul tidak ada yang bisa menegakkan diagnostiknya, karena tidak ada. Kami berusaha mengadakan diagnostik ini di IMERI Research Cluster: Human Genetic Research Center (laboratorium genetik) untuk penyakit langka karena pasien banyak.”
Baca Juga
Menurut Damayanti, selama ini dia bekerja sama dengan sejumlah laboratorium global, dari National Taiwan University, Malaysia hingga laboratorium di Australia, untuk mendapatkan konfirmasi diagnosis pasiennya. Pemeriksaan ini menelan biaya yang besar. Di Malaysia misalnya, bisa mencapai Rp15 juta untuk satu pasien.
Advertisement
Dalam segi waktu, proses yang dibutuhkan untuk mendapatkan diagnosis dari laboratorium luar negeri relatif lama dibandingkan jika bisa dilakukan di Indonesia. Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan dari Malaysia, dibutuhkan waktu sekitar dua minggu. Sementara jika bisa dilakukan di Indonesia, dokter dan pasien hanya memerlukan waktu satu hari.
Pasien sendiri perlu segera mendapatkan diagnosis agar mendapatkan pengobatan dini dan tertolong. Misalnya, kasus pasien bayi perempuan bernama Gloria asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada November 2019.
Gloria yang akhirnya terdiagnosis penyakit langka Galactosemia tipe 1 (pasien tidak punya enzim Galt, sehingga galaktosa menumpuk pada tubuh dan merusak hati, ginjal dan mata) harus menjalani pemeriksaan genetik hingga ke Jerman. Hasil ini didapatkan setelah satu bulan dan biaya yang dibutuhkan mencapai Rp13 juta.
Walaupun memerlukan waktu sebulan, Gloria bisa tertolong karena segera mendapatkan pengobatan. Kini, dia tumbuh seperti anak-anak sehat seusianya.
“Gloria, yang didiagnosa Galactosemia Type 1 yang menyebabkan tubuhnya bereaksi negatif ketika menerima laktosa. Saat ini tumbuh kembangnya membaik dengan mengkonsumsi susu formula asam amino bebas yang nol galaktosa,” kata Damayanti dalam webinar bertajuk #CareforRare, Minggu (11/10).
Belajar dari kasus Gloria, Damayanti yang juga dokter spesialis anak, nutrisi dan penyakit metabolik itu menegaskan, walau disebut langka, bukan berarti tidak ada obat untuk penyakit itu.
“Padahal anak-anak kalau ditolong, obatnya ada. Tidak semua penyakit langka obatnya mahal, ada yang sederhana dan tersedia di Indonesia. Saya punya pasien yang dengan obat yang ada d Indonesia untuk penyakit lain dia bisa (hidup dengan) baik,” tutur Damayanti.
Selain masalah diagnosis, keterbatasan biaya karena belum ditanggung Jaminan Kesehatan Nasional. Hal ini juga menjadi tantangan tata laksana pada pasien penyakit langka. Sebab, selama ini, Damayanti dan tim mengupayakan penggalangan dana dari para donatur.
Selain itu, Damayanti juga mengupayakan agar pembiayaan pengobatan penyakit langka bisa dibantu melalui BPJS, apalagi mengingat saat ini kebanyakan keluarga pasien yang ditangani di RSCM berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Apa itu penyakit langka?
Damayanti menerangkan, penyakit langka merupakan penyakit yang jumlah penderitanya tak banyak, tergantung negara dan fasilitas untuk mendiagnosis. Di Eropa, disebut penyakit langka jika jumlah kasusnya 1 di antara 2000 penduduk, sementara di Amerika Serikat 1 di antara 1500. Walaupun disebut langka, namun penyakit ini bisa mencapai 8 ribu jenis. Tiap tahun pun terdapat 250 jenis baru.
Damayanti mengatakan, 80% penyakit ini disebabkan kelainan genetik. Sekitar 65% penyakit ini juga menyebabkan masalah serius mulai dari kecacatan hingga kematian bagi penderitanya.
Selain itu, data menunjukkan sebanyak 50% kasus penyakit langka terjadi pada anak, dan terjadi 30% kematian anak di bawah usia lima tahun disebabkan penyakit langka yang tergolong bawaan ini.
“Kabar baiknya, 5% sudah ada obatnya,” ujar Damayanti.
Di Indonesia, saat ini MPS atau Mucopolysaccharidosis tipe II menjadi jenis penyakit langka yang paling banyak ditemukan. Merujuk pada laman mpssociety.org, MPS tipe II muncul karena kurangnya enzim iduronate sulfatase.
Orang yang terkena penyakit ini biasanya akan mengalami keterlambatan perkembangan dan masalah fisik. Pada bayi, tidak ada gejala yang tampak, namun seiring semakin rusaknya sel, maka tanda-tanda akan semakin terlihat seperti kegagalan perkembangan beberapa organ, bentuk wajah dan rangka tubuh tak normal.
Selain MPS tipe II, jenis penyakit langka lainnya juga ditemukan di Indonesia yakni Gaucher, Pompe dan Malabsorpsi Glukosa-Galaktosa (GSM). Untuk memastikan seorang anak mengalami penyakit langka termasuk MPS, dibutuhkan penegakan diagnosis yang tepat dan cepat. Setelahnya dokter baru bisa mengetahui jenis penyakit yang diderita bisa diobati atau tidak.
Karena itu sangat dibutuhkan laboratoriun diagnostik untuk mendukung ini. Damayanti mengatakan, “Cita-cita kami bisa diagnosis mandiri. Kalau ketemu diagnostiknya, kita bisa bicara obatnya.”
Selai usaha dari Damayanti, ketua Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia, Peni Utami menuturkan, selama ini dia menjalin kerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bea cukai dan sejumlah perusahaan farmasi untuk pengadaan obat.
“Kami memohon pada BPOM, bagian pajak sehingga tidak ada lagi pembayaran pajak. Kami bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan farmasi, Alhamdulillah sampai saat ini dilancarkan,” kata Peni.
(Vania Accalia)
Advertisement