Liputan6.com, Jakarta Representasi perempuan di bidang sains dan teknik masih tergolong kurang jika dibanding laki-laki. Keterangan ini berdasar pada data terbaru dari lembaga federal independen, National Science Foundation di Amerika Serikat.
Menurut data tersebut, separuh dari tenaga kerja lulusan perguruan tinggi di Amerika adalah perempuan. Namun, hanya 28 persen yang bekerja di bidang sains dan teknik.
Baca Juga
Data tersebut tak membuat semangat Befrika Murdianti redup. Ia adalah profesor bidang kimia di bawah departemen ilmu alam dan matematika University of the Ozarks, Arkansas, Amerika Serikat.
Advertisement
Ia berhasil membuktikan bahwa perempuan juga bisa meniti karir di bidang sains serta mendukung perempuan lain untuk berani terjun ke dunia sains dan STEM (science, technology, engineering, and mathematics).
Melansir VOA Indonesia, tak pernah terpikir olehnya bahwa ia akan terjun ke bidang kimia hingga sedalam ini. Semua ini berawal dari keinginannya untuk bisa memakai jas putih ketika bekerja di kemudian hari.
“Waktu cari-cari persiapan untuk UMPTN, sebetulnya sih waktu itu enggak ingin masuk jurusan kimia. Cuma ingin satu sebetulnya, cuma ingin pakai jas putih,” katanya, dikutip dari VOA, Kamis (15/10/2020).
Befrika mengaku sempat ingin mengambil jurusan kedokteran. Sayangnya, jurusan tersebut tidak ada di Institut Teknologi Bandung, kampus yang ia incar kala itu.
Bahkan, tahun pertama kuliah, Befrika sempat berpikir untuk pindah jurusan. Namun, semuanya berubah ketika suatu hari ia mulai melakukan demonstrasi kimia di kelasnya. Ia pun mulai jatuh cinta dengan kimia.
“Waktu itu yang paling saya ingat itu bikin carbon power, kalo enggak salah dari gula dikasih sulfuric acid. Terus nanti gulanya itu jadi hitam kan, jadi karbon semua, karena semua air yang ada di gula itu diambil sama sulfuric acid. Jadi reaksinya kayak membentuk menara gitu,” jelasnya.
Simak Video Berikut Ini:
Dukungan Keluarga
Dalam memilih bidang pendidikan Befrika selalu mendapat dukungan dari keluarga. Hal yang selalu diingat adalah pesan dari sang ibu.
“Ibu saya cuman berpesan, ‘ya nggak apa-apa ngambil jurusan kimia. Kan yang mau jalanin kamu. Asalkan kamu senang, ya nggak apa-apa. Tapi kalau nggak senang, ya ngapain diambil’,” katanya.
Befrika menyadari bahwa dunia sains di seluruh dunia masih didominasi oleh laki-laki. Saat ini, di jurusan kimia di kampusnya, hanya ada empat orang perempuan, termasuk dirinya, di antara 17 dosen.
Melihat masih jarang perempuan yang menekuni bidang kimia atau dunia STEM pada umumnya, Befrika mengatakan, kepercayaan diri perempuan untuk berkarir di dunia ini masih kurang, bahkan terkadang perempuan merasa kurang pintar.
“Sebetulnya nggak perlu harus pintar-pintar banget. Yang penting itu kita tekun dan gigih. Memang sih susah tapi kan bukan berarti, ‘ah, karena gue nggak pintar, nggak bisalah gue.’ Nggak perlu punya mindset seperti itu. Jadi ya, kayak pepatah, pisau kalau diasah terus, kan juga jadi tajam. Yang penting itu ketekunannya,” tegas perempuan yang sudah menetap di Amerika Serikat sejak 2005 ini.
Tidak hanya itu, tekanan sosial khususnya terhadap perempuan di Indonesia terkadang juga menjadi kendala.
“Perempuan kan, kalau sudah umur tertentu langsung ditanyain kapan kawin,” ujarnya sambil bercanda.
“Ada juga yang masih berpikiran, ‘ah, kita kan perempuan. Ngapain sih, ngoyo-ngoyo banget.’ Karena takdir perempuan itu kan, sebaik-baiknya perempuan itu kan yang mengasuh anak. Nah, bukannya itu tidak baik ya. Itu bagus. Tapi bukan berarti terus karena kita mau mengasuh anak, mau membangun rumah tangga, harus mengeliminasi kemungkinan yang lain. Tapi ya, namanya hidup, itu pilihan kan?” tambah lulusan S2 jurusan kimia dari The University of Tulsa, Oklahoma ini.
Sebagai salah satu dari segelintir perempuan di fakultasnya, Befrika kerap diminta untuk menjadi perwakilan jurusannya dalam merekrut mahasiswa, khususnya yang perempuan.
Advertisement
Laboratorium Jadi Tempat Berbagi
Sebagai perempuan muslim berkerudung satu-satunya di kampus yang terasosiasi dengan Gereja Presbyterian, Befrika kerap menjadi sorotan. Seringkali ia diundang ke berbagai kelas dan acara, untuk berbagi pengalamannya sebagai seorang muslim.
“Banyak mahasiswa yang belum pernah punya interaksi dengan orang islam. Jadi satu-satunya yang mereka tahu tentang islam, cuman informasi dari media,” ujar dosen yang juga pernah mengajar kimia di Arkansas Tech University ini.
“Banyak yang suka bertanya, ‘kenapa kok kepala kamu ditutup?’ Terutama kalau sedang lab. Kalau misalkan lab itu kan enggak selalu kerja terus ya. Jadi, misalkan mereka sudah campur bahan-bahan kimia, harus nunggu 1 jam. Sebelum produknya diisolasi, nah, itu sambil nunggu, mereka suka berdiskusi kan, suka tanya-tanya. Jadi sekalian berdakwah juga, enggak cuman tentang kimia saja, jadi menarik sih,” pungkasnya.
Infografis COVID-19
Advertisement