Sukses

Aliansi Dokter Dunia Klaim COVID-19 Tak Lebih Berbahaya hingga Pandemi Direncanakan

Klaim Aliansi Dokter Dunia, dari COVID-19 tak lebih berbahaya hingga pandemi yang direncanakan.

Liputan6.com, Jakarta Klaim Aliansi Dokter Dunia (World Doctors Alliance) baru-baru ini membuat geger publik, dari COVID-19 yang disebut tak lebih berbahaya hingga pandemi yang direncanakan (plandemic). Video berdurasi 9 menit ini memuat sebuah konferensi pers yang dilakukan kelompok yang menyebut diri Aliansi Dokter Dunia.

Sejumlah klaim dalam video itu disampaikan individu yang mengaku dokter, peneliti, dan aktivitis dari berbagai negara yang tergabung Aliansi Dokter Dunia. Heiko Schöning, dokter medis dari Jerman mengumumkan, Aliansi Dokter Dunia di bawah naungan ACU2020.org dan menegaskan peristiwa COVID-19 yang terjadi tidaklah benar.

Berikut ini, klaim Aliansi Dokter Dunia yang ada dalam video:

Konsultan ahli bedah di Inggris Raya selaku Ketua Aliansi Dokter Dunia, dokter Mohammad Adil: COVID-19 tidak seberbahaya yang dikatakan.

Dokter umum dari Belanda, Ekle De Klerk: Rumah sakit tidak penuh, orang-orang tidak sakit, dan tes yang digunakan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dan ini tidak seburuk yang diberitakan media.

Bahwa tidak ada bukti dari apa yang disebut sebagai medical pandemic (pandemi medis). Hal ini terlihat seperti Plandemic (pandemi yang direncanakan). Kami tentu tidak menginginkan normal baru, kami tidak ingin kembali ke normal lama karena itu menyebabkan situasi ini. Kami ingin normal baru yang lebih baik.

 

 

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:

2 dari 6 halaman

Tidak Lebih Jahat dari Flu dan Efek Tower 5G

David Kurten dari Inggris: Politisi dan media memiliki pemahaman sains dan matematika yang sangat buruk dan mereka mendorong narasi virus Corona jauh lebih jahat dan berbahaya daripada sebenarnya.

Kenyataannya, itu tidak lebih jahat dari musim flu yang buruk, tetapi mereka telah meningkatkan ketakutan dan mengambil kebebasan sipil, menghancurkan bisnis, dan kebijakan.

Dokter holistik dari Denmark, Agathe Dorado: Saya menyadari satu tahun yang lalu. Bahwa (tower) 5G sedang dipasang di seluruh planet dan saya banyak meneliti, mulai mencoba menentang Pemerintah Denmark menerapkan 5G. Karena 5G merupakan bagian dari virus Corona yang memberi (menyebabkan) gejala flu.

Peneliti biomolekuler Dolores Cahil: Virus Corona merupakan penyebab penyakit flu musiman dari Desember hingga April. Ada perawatan manjur yang dapat dijalani oleh orang yang terkena virus itu. Perawatan tersebut termasuk menghirup steroid, hydroxychloroquine, dan zinc.

Masyarakat tak perlu takut, panik, tak perlu menggunakan masker untuk pembatasan sosial atau karantina. Tidak perlu takut, apalagi menerapkan lockdown atau karantina. Ini merampas kebebasan dan kesehatan masyarakat. Anda dapat melepas masker dan raih kebebasan. 

 

3 dari 6 halaman

Gelombang Informasi Terkait COVID-19

Terkait klaim Aliansi Dokter Dunia, peneliti biomolekuler Ahmad R H Utomo ikut merespons hal tersebut. Melalui unggahan di akun Youtube pribadinya pada 26 Oktober 2020, Ahmad menanggapi beberapa klaim.

Ketika dikonfirmasi lebih lanjut melalui pesan singkat, Rabu (28/10/2020,) Ahmad mengizinkan Health Liputan6.com mengutip tanggapannya mengenai klaim Aliansi Dokter Dunia.

Ahmad memaparkan, ada 'gelombang informasi' terkait pandemi COVID-19.

Gelombang pertama, sejak awal tahun 2020 mulai merebaknya informasi COVID-19. Pada waktu itu, peneliti Amerika Serikat Andrew Kaufman menyebut COVID-19 bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

"Akan tetapi, teori Kaufman tidak benar. Dan virus SARS-CoV-2 ini memang ada," terangnya.

Gelombang kedua, informasi soal virus SARS-CoV-2 memang ada, tapi buatan manusia. "Soal virus buatan manusia, saya katakan tidak benar. Ya, tidak sebagus itu karena dari modeling justru menunjukkan, harusnya virus SARS-CoV-2 ini lemah mengikatnya, tapi itu sangat kuat," lanjut Ahmad.

Gelombang ketiga adalah kemunculan pernyataan Aliansi Dokter Dunia. Menurut Ahmad, gelombang ketiga ini mengakui virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 ada, tetapi tidak seberbahaya apa yang dipublikasikan media.

 

4 dari 6 halaman

Klaim Tes COVID-19

Menyentil klaim tes COVID-19 yang tidak akurat karena ada hasil false positive (positif palsu), Ahmad mengamati Aliansi Dokter Dunia mengutip beberapa jurnal dan artikel.

"Saya lihat mereka menyitir beberapa jurnal dan artikel. Jadi, memang betul ada kejadian yang namanya tes COVID-19 itu false positive atau positif palsu, tapi kalau kita lihat dari jurnal tersebut positif palsunya antara 0,8 sampai 4 persen," Ahmad menerangkan.

"Yang dikhawatirkan sebetulnya adalah negatif palsu ya, sampai 30 persen. Ini menunjukkan, kalau kita mengacu kepada tes PCR memang PCR ini tidak sempurna. Dan yang lebih menariknya lagi tes PCR sekarang menjadi penting untuk pengendalian wabah COVID-19."

Tes PCR dilakukan melihat apakah seseorang positif terinfeksi COVID-19 atau bukan serta sebagai upaya penelurusan kontak (contact tracing).

"Kenapa ini (tes PCR) penting? Karena kebanyakan orang, 40 persen tidak punya symptom, asimtomatik (tidak bergejala/Orang Tanpa Gejala) dan dia masih bisa menularkan," Ahmad menegaskan.

5 dari 6 halaman

Klaim Tower 5G dan Plandemic

Ahmad menyoroti pernyataan Aliansi Dokter Dunia mengenai efek tower 5G terhadap kemunculan gejala COVID-19.

"Untuk tower 5G, nyatanya di Indonesia belum banyak ya. Kemarin kita dengar banyak santri di Tasikmalaya memenuhi rumah sakit. Apakah itu karena 5G? Kita harus tahu, apakah betul hanya negara-negara tertentu yang ada tower 5G yang kena COVID-19?" ujarnya.

Selain itu, pernyataan Aliansi Dokter Dunia mengenai COVID-19 itu sebagai plandemic. Ahmad menekankan virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 punya kemampuan 10 kali lipat lebih kuat daripada virus SARS sebelumnya.

"Soal plandemic, ini kita harus melihat, kenapa sebagian orang sulit menerima kenyataan bahwa SARS-CoV-2 adalah penyakit yang serius. Secara biologi, virus ini berbeda dengan SARS. Kalau SARS, virus menyerang di rongga napas bawah dan reseptor ACE-2 ikatannya tidak begitu kuat," jelas Ahmad.

"Sehingga ketika melewati napas atas ke bawah, akhirnya sampai ke paru, baru mereka bisa mengikat dengan dengan baik. Kalau kita bicara COVID-19, dia mengikatnya 10 kali lipat lebih kuat dan menyerang sel saat masih di rongga napas atas, lalu bereplikasi."

Seiring berjalannya waktu, virus SARS-CoV-2 turun ke bawah, sampai di paru-paru. Maka, mulai muncul gejala yang dirasakan sebagian orang.

6 dari 6 halaman

Infografis Olahraga Benteng Kedua Cegah Covid-19