Liputan6.com, Jakarta Puskesmas dinilai peran penting dalam penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia, salah satunya untuk penelusuran kontak dan serta pemeriksaan.
Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) mengatakan bahwa terkait kapasitas tes, lacak, dan isolasi puskesmas, penting untuk memutus rantai penularan COVID-19.
Baca Juga
Namun, survei yang dilakukan CISDI bersama KawalCOVID-19 dan CekDiri.id mengungkapkan bahwa keberadaan infrastruktur, akses informasi, dan sumber daya di banyak puskesmas tidaklah merata.
Advertisement
Survei ini sendiri dilakukan secara daring dari 14 Agustus hingga 7 November 2020 dengan 647 responden puskesmas yang tersebar di 34 provinsi.
Dalam diskusi virtual pada Kamis (6/11/2020), CISDI mengungkapkan bahwa 96 persen puskesmas responden mengaku bahwa mereka sesungguhnya telah melakukan penelusuran kontak.
"Ketika kita gali lebih jauh mengenai kualitas dari penelusuran kontak itu, 47 persen puskesmas mengatakan memiliki pelacak (tracer) di bawah 5 orang," kata Olivia Herlinda, Direktur Kebijakan CISDI.
"Standar idealnya mungkin masih belum ada baku berapa idealnya, karena memang ini akan sangat tergantung kebutuhan di daerahnya, berapa banyak kasus yang ditemukan dan pertumbuhan kasus setiap daerah."
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Pelacakan Kontak Masih Kurang
Selain itu, 47 persen puskesmas responden ditemukan hanya melakukan penelusuran ke kurang dari 5 kontak per setiap kasus positif COVID-19. Hanya 7 persen yang menyebut telah melakukan pelacakan kepada 16 sampai 20 orang dan hanya 5 persen yang telah melacak ke lebih dari 20 kontak.
Olivia mengatakan, secara internasional belum ada standar ideal berapa kontak yang harus ditelusuri per setiap kasus konfirmasi COVID-19.
"Namun mengutip beberapa studi dan rekomendasi di beberapa paper seperti Lancet, paling tidak 70 sampai 90 persen kontak itu harus ditelusuri dan dites per satu kasus positif," ujarnya.
"Mengutip studi lain, dengan angka kasus reproduksi yang sekarang, paling tidak setiap satu kasus positif harus dilacak 20 sampai 30 kontak erat."
CISDI juga mengungkapkan bahwa hanya 39 persen puskesmas responden yang melakukan pengambilan sampel swab PCR. 12 persen bahkan mengandalkan tes cepat sebagai alat diagnosis karena tidak adanya alat tes PCR.
"28 persen puskesmas hanya mendapat satu sampai 10 kuota untuk tes PCR/TCM per hari," kata Olivia.
Â
Advertisement
Pemantuan Pasien Isolasi
Survei CISDI menyebutkan bahwa meski 60 persen puskesmas responden sudah bisa mengeluarkan hasil tes PCR/TCM kurang dari 3 hari, masih ada 8 persen yang hasil pemeriksaannya keluar lebih dari 14 hari.
Terkait pemantauan isolasi pasien, 99 persen puskesmas telah melakukan pemantauan pasien COVID-19 yang melakukan isolasi mandiri dengan metode yang berbeda-beda. 91 persen melakukan pemantauan dengan telepon atau pesan jarak jauh dan 45 persen melakukan pemantauan dengan kunjungan rumah.
"Namun ketika kita gali lebih jauh soal frekuensi, hanya 57 persen puskesmas yang melakukan pemantauan setiap hari," kata Olivia.
Pada kesempatan yang sama, Saraswati, Direktur Pelayanan Kesehatan Primer Kementerian Kesehatan RI mengakui bahwa meski di negara lain telah terjadi pelacakan kontak secara masif, Indonesia masih kesulitan untuk memobilisasi sumber daya dengan jumlah yang sangat banyak.
Selain itu, Saraswati mengatakan bahwa memang ada kecenderunganfokus penanganan wabah pada awal mula berpusat di rumah sakit. "Sementara, pemerintah lebih meyakinkan puskesmas menjalankan pelayanan esensial dasar secara maksimal."
"Kami tentu sangat terbuka terhadap ide-ide kolaborasi dengan organisasi profesi dan masyarakat sipil untuk bersama-sama memperkuat puskesmas," kata Saraswati.
Infografis Seluk-beluk Tes Medis Corona.
Advertisement