Liputan6.com, Jakarta Para peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) bersama dengan staf dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI, menemukan bahwa penerapan CODE STEMI mampu menurunkan angka kejadian efek samping kardiovaskular dan tingkat kematian pada pasien dengan serangan jantung.
STEMI (ST elevation myocardial infarction) adalah salah satu jenis serangan jantung berupa penyumbatan pembuluh darah arteri koroner secara total sehingga otot-otot jantung tidak mendapat suplai oksigen.
Baca Juga
Pasien-pasien dengan gejala STEMI harus segera mendapatkan pertolongan agar kerusakan jantung lebih lanjut dapat dicegah.
Advertisement
CODE STEMI adalah sebuah sistem terintegrasi yang dibuat untuk membantu interdisiplin kesehatan dalam penanganan pasien serangan jantung tipe STEMI.
Para peneliti FKUI yang terlibat dalam penelitian ini adalah Dr. dr. Eka Ginanjar, Sp.PD-KKV; Prof. Dr. dr. Idrus Alwi, Sp.PD-KKV; dan dr. Lies Dina Liastuti, Sp.JP(K).
Sedangkan para peneliti dari FKM UI adalah Prof. dr. Amal Chalik Sjaaf, S.KM., Dr.PH; Dr. drg. Wahyu Sulistiadi, MARS; Dr. Ede Surya Darmawan, S.KM., M.DM; dan Prof. Dr. dr. Adik Wibowo, MPH.
Subjek penelitian adalah seluruh pasien serangan jantung tipe STEMI yang datang ke RSCM antara bulan Januari 2015 dan Desember 2018. Pasien dengan komorbiditas berat saat awal kedatangan seperti stroke akut, sepsis, penyakit autoimun, keganasan, sirosis hepar dan rekam medis yang tidak lengkap tidak diikutsertakan dalam penelitian. Total ada 207 pasien yang dianalisis dalam penelitian ini.
Pasien-pasien ini diklasifikasikan menjadi 2 kelompok. Pertama terdiri dari 72 pasien STEMI yang datang ke RSCM tahun 2015-2016 dan belum mendapat penanganan berdasarkan CODE STEMI (kelompok pre-CODE STEMI). Sementara itu, kelompok kedua terdiri dari 135 pasien STEMI yang datang ke RSCM pada 2017-2018 dan ditangani berdasarkan CODE STEMI (kelompok CODE STEMI).
Menurut keterangan pers, dilihat dari sisi karakteristik demografisnya, tidak ada perbedaan jauh di antara kedua kelompok pasien ini. Rata-rata pasien yang datang berusia 57 tahun dan sebanyak 86-87 persen pasien berjenis kelamin laki-laki.
Dibandingkan dengan penelitian lainnya, rata-rata usia pasien penelitian ini lebih muda 10 tahun. Pasien-pasien tersebut memiliki faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular yang hampir sama seperti hipertensi, diabetes melitus, obesitas, dislipidemia, dan penyakit ginjal akut atau kronik.
Simak Video Berikut Ini:
Lebih Cepat lebih Baik
Perbedaan antara kedua kelompok terlihat dari rata-rata waktu yang dibutuhkan mulai dari pasien datang ke rumah sakit hingga tindakan kateterisasi (door to balloon time). Pada kelompok pre-CODE STEMI, rata-rata waktu yang dibutuhkan adalah 288 menit. Sementara, kelompok CODE STEMI hanya membutuhkan waktu 158 menit atau lebih cepat 130 menit (45 persen) dibandingkan kelompok pre-CODE STEMI.
Waktu penanganan yang lebih cepat berdampak pada penurunan angka kejadian efek samping kardiovaskular dan tingkat kematian. Angka kejadian efek samping kardiovaskular pada kelompok CODE STEMI (38,78 persen) menurun sebesar 10,83 persen dibandingkan kelompok pre-CODE STEMI (48,61 persen).
Gagal jantung merupakan efek samping kardiovaskular yang paling banyak dijumpai. Tingkat kematian pasien serangan jantung STEMI juga menurun dari 8,33 persen pada kelompok pre-CODE STEMI menjadi 4,44 persen pada kelompok CODE STEMI.
Rata-rata waktu rawat inap pasien kelompok CODE STEMI (6 hari) lebih cepat 1 hari dibandingkan kelompok pre-CODE STEMI (7 hari). Pengurangan lama waktu rawat inap dan penurunan angka kejadian efek samping kardiovaskular pada pasien kelompok CODE STEMI ternyata mampu mengurangi biaya perawatan yang harus dibayarkan hingga 21 persen dibandingkan dengan kelompok pre-CODE STEMI.
“Prognosis pasien dengan serangan jantung tipe STEMI sangat dipengaruhi oleh waktu penanganan. Semakin cepat pasien tersebut ditangani, tentu prognosisnya akan semakin baik. Keberadaan CODE STEMI sangat membantu tenaga kesehatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pasien-pasien ini. Walaupun begitu, tetap saja tindakan pencegahan berupa pengendalian faktor risiko adalah pilihan terbaik apalagi melihat usia pasien serangan jantung di negara kita masih tergolong muda,” ujar Dekan FKUI, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, MMB dalam keterangan pers Senin (9/11/2020).
Advertisement