Liputan6.com, Jakarta Psikolog di Rumah Sakit Mitra Keluarga Waru, Surabaya, Naftalia Kusumawardhani, S.Psi, M.si membagikan dua teknik redam emosi sebagai Dukungan Psikologi Awal (DPA) pada anak, khususnya yang memiliki masalah stunting sebelum merujuk ke rumah sakit atau ahli.
Orangtua dapat mengajarkan dua teknik ini kepada anak agar emosinya tetap stabil. Mengingat, anak stunting yang memiliki fisik lebih kecil dari teman sebayanya rentan mendapatkan stigma dan bullying, kata Naftalia.
Baca Juga
“DPA adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mengurangi dampak negatif distres dan meminimalkan munculnya gangguan psikologis di kemudian hari. DPA sendiri memiliki tiga prinsip yaitu hak, martabat, dan keamanan,” ujar Naftalia dalam webinar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) ditulis pada Selasa (10/11/2020).
Advertisement
Dalam meredam emosi anak, ada dua teknik yang dapat dilakukan yaitu teknik napas segitiga dan relaksasi pikiran.
Teknik napas segitiga mencakup teknik bernapas dalam melalui diafragma. Kemudian menarik napas dalam tiga hitungan, tahan tiga hitungan, dan hembuskan selama tiga hitungan pula.
Sedang, relaksasi pikiran dilakukan dengan cara mengenali, mengetahui, dan melepaskan pikiran negatif serta emosi yang menyertainya.
Selain itu, relaksasi juga bisa dilakukan dengan duduk nyaman dan meletakkan tangan di lutut serta membayangkan satu titik atau warna yang menarik keluar segala pikiran negatif tersebut.
Simak Video Berikut Ini:
4 Tahapan DPA
DPA dapat dilakukan orangtua atau kerabat sebagai pertolongan pertama untuk masalah psikologis yang dialami anak atau orang yang membutuhkan.
Dalam melakukan DPA, ada 4 tahap yang perlu diingat. Tahapan-tahapan tersebut yakni persiapan, melihat, mendengarkan, dan menghubungkan.
“Di tahap persiapan kita sendiri harus punya informasi tentang anak-anak yang lagi stres, kesulitan belajar, atau mengalami bullying itu kita perlu tahu bagaimana cara menanganinya.”
Selain membekali diri dengan informasi, persiapan juga mencakup tenaga dan waktu. Mengingat, DPA bukanlah pekerjaan sambilan, kata Naftalia.
“Sekali bapak ibu menangani satu kasus, jangan lepaskan sampai ketuntasan tertentu jadi ini bukan pekerjaan iseng.”
Tahapan kedua adalah melihat kebutuhan apa yang harus dipenuhi untuk anak dan melihat keadaan fisik, mental, dan lingkungan anak.
“Lihat kebutuhan anak saat itu apa, butuh perlindungan atau butuh makanan kah? Penuhi saat itu juga, utamakan yang paling penting. Kalau anak dibully dan luka ya jangan dinasihati, jangan diajak berdoa tapi bawa ke fasilitas kesehatan setempat atau obati kalau mampu.”
Tahap ketiga adalah mendengarkan. Dalam tahap mendengarkan, pemberi DPA perlu betul-betul mendengarkan setiap keluhan anak tanpa memberi nasihat terlebih dahulu.
“Dengarkan dulu apa yang mau dia bicarakan.”
Tahap keempat adalah menghubungkan. Pemberi DPA harus mengetahui Batasan yang dimiliki, jika mampu maka bisa dibantu dan jika tidak maka bisa dihubungkan dengan pihak yang tepat.
“Ketahui akses penghubungnya ke mana, ke fasilitas kesehatan kah, tenaga ahli, atau lembaga lain yang sesuai tergantung kondisi anak,” pungkasnya.
Advertisement