Liputan6.com, Jakarta Data WHO November 2020 menunjukkan bahwa sekarang ini ada 202 kandidat vaksin COVID-19, 155 diantaranya masih dalam tahap pre klinik, artinya masih uji coba di laboratorium dan hewan. Sejumlah 47 kandidat vaksin sudah masuk uji klinik, 10 diantaranya dalam tahap uji klinik fase tiga, 7 masih di fase dua dan sisanya di uji klinik fase satu atau fase satu/dua.
Ke-10 kandidat vaksin yang sudah masuk fase tiga adalah BioNTech/Fosun Pharma/Pfizer yang beberapa hari yang lalu mengumunkan efektifitasnya lebih dari 90 persen berdasar data interim/sementara, Sinovac yang diuji klinik di Bandung, dan juga sedang dihentikan sementara untuk di evaluasi di Brasil, Sinopharm Wuhan Institute dan Sinopharm Beijing Institute, Cansino, (ke empat terakhir ini dari China), vaksin produksi University of Oxford/AstraZeneca, Moderna, Gamaleya Research Institute, Janssen Pharmaceutical dan Novavax.
Baca Juga
[Kolom Pakar] Prof Tjandra Yoga Aditama: Hari PPOK Sedunia & Check Up Gratis dari Pemerintah
Guru Besar FKUI Singgung 5 Tantangan Air dan Sanitasi Dunia di Tengah Tugas Baru Retno Marsudi
Guru Besar FKUI Ingatkan Makan Bergizi Gratis Prabowo-Gibran agar Terapkan Gizi Seimbang dan Perhatikan Higienitas
Dari 10 kandidat vaksin COVID-19 ini, 3 diantaranya (semuanya dari China) dibuat melalui platform vaksin yang inaktivasi, 4 menggunakan platform “Non-Replicating Viral Vector”, 1 dengan Sub Unit Protein serta 2 lainnya (dari Amerika Serikat) dengan platform RNA, termasuk vaksin Pfizer yang banyak dibicarakan sekarang ini. Sembilan dari sepuluh kandidat vaksin ini harus diberikan 2 kali dengan rentang waktu bervariasi antara 14,21,28 dan 56 hari, serta satu kandidat vaksin (CanSino) diberikan satu kali saja.
Advertisement
Semua kandidat vaksin yang sudah masuk uji klinik fase tiga dan dua disuntikkan melalui cara intra muskuler, seperti suntikan biasa yang kita kenal. Sementara itu, dan 20 kandidat vaksin COVID-19 yang masih di tahap uji klinik fase satu atau fase satu/dua, selain suntikan intra muskuler maka ada juga yang disuntikkan di dalam kulit (intra dermal), di bawah kulit (sub kutan) dan bahkan ada dua kandidat vaksin yang bentuknya di minum (oral), tanpa disuntik. Dalam hal ini tentu yang masih uji klinik fase awal maka prosesnya masih akan panjang dan belum tentu semuanya akan masuk ke uji klinik fase tiga.
Simak Video Berikut Ini:
Hasil sementara
Seperti diketahui bahwa beberapa hari yang lalu perusahaan Pfizer mengumumkan bahwa hasil sementara vaksin mereka (kodenya BNT162b2) punya efektifitas lebih dari 90 persen. Angka ini tentu amat menggembirakan, tapi ada tiga hal penting yang masih perlu di antisipasi.
Pertama, vaksin ini yang dibuat dengan cara modern lewat RNA sintetis ternyata harus disimpan dalam suhu yang amat sangat rendah, minus 70 derajat Celsius, sama seperti suhu di kutub pada musim dingin. Vaksin-vaksin untuk penyakit lain disimpan dalam suhu 2ºC sampai dengan 8ºC untuk vaksin sensitif beku (tidak boleh beku), dan pada suhu -15ºC sampai dengan -25 ºC untuk vaksin yang sensitif panas.
Jadi vaksin COVID-19 produksi Pfizer ini harus disimpan di suatu tempat dengan suhu 50 derajat Celsius lebih rendah dari yang biasa kita lakukan dalam program imunisasi di Indonesia dan juga di dunia, hal ini tentu perlu teknologi khusus yang amat rumit. Harus diingat bahwa vaksin COVID-19 nantinya harus diberikan ke penduduk kita yang umumnya tanggal di cuaca panas, apalagi yang tinggal di daerah-terpencil yang butuh ber jam-jam atau ber hari-hari untuk mencapainya.
Kedua, para ahli masih menunggu publikasi ilmiah hasil vaksin ini, yang beberapa hari yang lalu disampaikan masih berupa ringkasan secara umum, belum data rinci secara ilmiah. Para ahli misalnya mempertanyakan data rinci tentang bagaimana vaksin ini mencegah penyakit berat dan atau kematian, berapa lama kekebalan dapat terjaga serta apakah keamanan vaksin pada uji klinik beberapa ribu orang ini akan benar-benar tetap aman kalau diberikan pada jutaan dan bahkan milyaran penduduk dunia.
Ketiga, sekarang ini memang penelitian belum sepenuhnya selesai, laporan keberhasilan efektifitas lebih dari 90% diperlukan untuk kemungkinan dikeluarkannya izin edar sementara dalam situasi mendesak (Emergency Use of Authorization – EUA). Tentu izin sementara ini akan terus dipantau sampai seluruh penelitian uji klinik fase tiga selesai dilakukan, dan bahkan mungkin diteruskan dengan uji klinik fase empat dan atau kegiatan “post marketing surveillance”.
Harus diakui bahwa kini semua orang menunggu adanya vaksin COVID-19 yang diharapkan dapat menjadi “game changer” pandemi sekarang ini. Laporan awal efektifitas lebih dari 90% beberapa hari yang lalu bahkan menyebabkan nilai saham perusahaan tersebut meningkat, dan kabarnya juga saham hiburan rumah (seperti Netflix dll) dan moda komunikasi virtual (seperti Zoom dll) juga terpengaruh karena orang berharap amat tinggi terhadap vaksin. Tetapi sebaiknya kita perlu memahaminya secara lebih lengkap, termasuk tiga antisipasi di atas.
Kita memang boleh berharap, tetapi kita masih harus tunggu hasil uji klinik sampai selesai dan juga evaluasi sesudah itu, dan jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan efektivitas dan keamanan suatu vaksin. Yang jelas, sekarang kita tetap harus lakukan protokol kesehatan sebagai bagian dari pola hidup sehari-hari.
Penulis
Prof Tjandra Yoga Aditama,
Guru Besar Paru FKUI, Mantan Direktur WHO SEARO dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes
Advertisement