Liputan6.com, Jakarta - Sektor keuangan berada di posisi puncak terkait pemasalahan paling krusial yang dihadapi para ibu selama pandemi COVID-19.
Hal ini diketahui dari hasil survei yang dilakukan Teman Bumil pada pertengahan Oktober 2020.
Aplikasi untuk ibu milenal tersebut menggandeng platform riset pasar di Indonesia, Populix, guna mencari tahu aspek paling berat terdampak pandemi COVID-19 di keluarga.
Advertisement
Ada pun hasilnya, sebanyak 60 persen ibu rumah tangga yang mengikuti survei bertajuk Dampak Pandemi Terhadap Kondisi Kesehatan Mental mengaku mengalami masalah keuangan di keluarga akibat pandemi COVID-19.
Berdasarkan rilis yang diterima Health Liputan6.com pada Sabtu, 21 November 2020, dari 1.230 orang yang ikut berpartisipasi, hanya 1.192 yang masuk kriteria untuk dianalisis.
Sebanyak 54 persen adalah ibu rumah tangga yang sudah menikah dengan satu hingga dua orang anak, dan 43 persen sudah menikah tapi belum dikaruniai momongan.
Hasilnya menunjukkan bahwa sembilan dari 10 atau sebesar 91 persen ibu rumah tangga yang mengikuti survei mengaku bahwa COVID-19 membawa dampak amat besar di hidupnya.
Baca Juga
Kemudian, sebanyak 643 orang atau 60 persen mengalami masalah terbesar di sekotr keuangan, 37 persen di sektor kesehatan terkait kecemasan terhadap Virus Corona, dan hanya tiga persen ibu rumah tangga yang bermasalah dengan pendidikan jarak jauh untuk anak-anaknya.
Untuk penyebabnya sendiri berbeda-beda. Tergantung kelompok sosial ekonomi dan wilayah domisili para ibu. Misalnya, korban pemotongan gaji lebih banyak menimpa responden kelas menengah atas. Dan, untuk kelas menengah bawah, permasalahan yang mereka hadapi berkaitan dengan PHK dan lebih sulit mencari pekerjaan.
Lalu, responden yang mengalami masalah keuangan akibat usaha sepi pembeli lebih condong dialami ibu-ibu yang tinggal di Bandung. Persentasenya mencapai 45 persen.
Kemungkinan hal ini disebabkan turunnya jumlah wisatawan yang signifikan. Maklum saja, Bandung adalah tujuan wisata akhir pekan bagi warga DKI Jakarta dan sekitarnya.
Namun, gara-gara pandemi COVID-19 yang mengharuskan orang-orang untuk bertahan di rumah saja, hanya segelintir orang yang berani memanfaatkan akhir pekan untuk jalan-jalan ke Bandung.
Pandemi COVID-19 dan Dampaknya pada Kesehatan Mental
Lebih lanjut di dalam rilis disebutkan bahwa masalah keuangan menghasilkan efek domino di aspek lainnya. Alhasil, kesehatan mental ikut terdampak dari permasalahan keuangan yang menimpa banyak keluarga selama pandemi COVID-19.
Sebanyak 56 persen responden mengaku stres dengan kondisi ini. Bahkan, 25 persen di antaranya turut memengaruhi hubungannya dengan pasangan. Gejala stres yang dialami antara lain cemas (29 persen), sulit tidur (18 persen), mudah marah (17 persen), dan kehilangan minat untuk mengerjakan apa pun.
Sayangnya, tidak ada responden yang mencoba mencari bantuan ke profesional (dokter atau psikolog). Mereka cenderung pasrah dan berserah diri (63 persen) atau minta dukungan ke suami (19 persen). Ibu rumah tangga lainnya mencoba mencari kesenangan dan hiburan diri sendiri (delapan persen).
Menanggapi hasil survei Teman Bumil dengan Populix, psikolog keluarga Anna Surti, mengatakan, tak bisa dipungkiri bahwa sektor keuangan memang menjadi aspek penting dalam keluarga.
Apa pun masalah di keluarga, kata Anna, bisa selalu berujung pada masalah keuangan. Terlebih di era pandemi COVID-19 seperti sekarang.
Anna, mencontohkan, saat ada anggota keluarga yang memiliki penyakit kronis, sektor keuangan pasti akan terdampak akibat biaya ekstra ke rumah sakit atau melakukan swab test PCR.
“Awalnya mungkin hanya masalah kesehatan, tapi berujung pada keuangan karena yang bersangkutan harus tetap bekerja demi merawat anggota keluarga yang sakit," kata Anna.
"Bisa muncul pula ketegangan dengan pasangan karena kelelahan mengurus keluarga yang sakit,” Anna menambahkan.
Lebih lanjut Anna mengatakan bahwa untungnya pelan-pelan masyarakat menjadi terbiasa dengan kondisi sulit akibat pandemi COVID-19. Dan juga mulai menunjukkan tanda-tanda mampu bertahan.
“Kita bisa melihat komunitas-komunitas yang saling membeli dari usaha temannya. Model kehidupan seperti ini membantu menyelamatkan mereka dari krisis dan ini harus dipertahankan,” katanya.
Dari survei Teman Bumil dan Populix ini juga terlihat bahwa sebagian kecil mulai membuka usaha kecil-kecilan (27 persen) untuk keluar dari kesulitan keuangan. Meskipun sebagian besar masih mengandalkan tabungan pribadi (45 persen).
Selain masalah keuangan, masalah terbesar kedua yang dialami para ibu rumah tangga dalam survei adalah kecemasan akan COVID-19, yaitu sebesar 37 persen.
Dua dari 10 ibu rumah tangga mengaku masih cemas dengan berita tentang COVID-19 yang mereka baca dari media sosial atau situs berita. Angka 37 persen responden yang masih peduli dan takut dengan COVID-19 menunjukkan bahwa lebih banyak masyarakat yang sudah mulai terbiasa dan beradaptasi dengan baik.
Adaptasi ditunjukkan dengan kesadaran untuk melakukan berbagai protokol pencegahan. Protokol pencegahan yang dianggap paling penting oleh responden adalah memakai masker (51 persen), diikuti membatasi pergi ke luar rumah (35 persen), dan mencuci tangan (sembilan persen).
Secara psikologis, menurut Anna, adaptasi terhadap kebiasaan baru ini adalah tanda menuju ke tahapan rekonstruksi emosi. Dia menjelaskan bahwa ada fase-fase emosional dalam kebencanaan.
Di awal pandemi, emosi akan mudah terstimulasi sehingga muncul rasa cemas dan panik. Bersamaan dengan emosi yang tersulut, muncul rasa heroik. Terlihat dari banyaknya relawan yang saling memberikan bantuan.
Ketika semua sudah dilakukan dan pandemi COVID-19 tak juga berakhir, emosi kembali jatuh ke titik terdalam. Sebagian orang mengalaminya ketika korban Virus Corona semakin banyak. Namun, seiring waktu, masyarakat mulai bisa menerima.
“Saat ini masyarakat tengah menuju emosi rekonstruksi. Artinya, masyarakat sudah terbiasa dengan kebiasaan barunya. Kita menyebutnya masa densitisasi emosi yakni tidak lagi mudah merasa cemas,” Anna menjelaskan.
Meski demikian rasa cemas tetap diperlukan. Tidak merasa cemas justru berbahaya karena menjadi abai, kata Anna. Sebaliknya cemas terlalu tinggi juga tidak baik karena beranggapan bahwa apapun yang dilakukan akan sia-sia.
Dengan menggunakan masker setiap ke luar rumah sebenarnya menunjukkan bahwa kita memiliki kecemasan (akan tertular) tapi bisa beradaptasi dengan baik.
“Bagi yang tidak menggunakannya, artinya belum beradaptasi,” ujarnya.
Nina mengingatkan bahwa nanti di Januari hingga Maret 2021, akan ada potensi terjadi lagi penurunan emosi terkait anniversary reaction. Banyak orang yang berharap setahun setelah pandemi, kondisi akan membaik.
Jika kondisi tidak seperti yang diharapkan atau pandemi masih terus berlangsung, sangat mungkin emosi masyarakat kembali jatuh. Yang harus dipertahankan, menurut Anna, adalah menghindari stres berkepanjangan.
“Ketika stres biasanya komunikasi dengan suami dan anak menjadi masalah, dan pada akhirnya saling menyakiti,” ujarnya.
Sehingga, Anna mengingatkan agar masyarakat jangan sampai lengah. Pandemi COVID-19 bisa berlangsung sangat lama.
Advertisement
Perencanaan Keuangan Selama Pandemi COVID-19
Perencana Keuangan Keluarga, Rista Zwestika, menjelaskan, pandemi COVID-19 membuktikan bahwa sebagian masyarakat kita belum melek finansial.
“Sebagian besar tidak pernah menganggarkan dana darurat. Padahal, saat terjadi kehilangan pekerjaan, dana darurat bisa menjadi penolong,” kata Rista.
Idealnya, dana darurat yang harus dipersiapkan adalah minimal enam kali pengeluaran bulanan bagi yang lajang, sembilan kali penghasilan jika menikah tanpa anak, 12 kali jika memiliki satu anak, dan seterusnya.
Oleh sebab itu, inilah saatnya untuk memerbaiki diri.
“Meskipun terlambat, mulailah menyisihkan dana darurat. Kita tidak pernah tahu sampai kapan pandemi COVID-19 berakhir. Menyisihkan dana darurat bisa dimulai dengan membuat perencanaan keuangan yang lebih baik. Bagi yang mengalami masalah keuangan, kurangi belanja karena'ingin', lebih baik prioritaskan yang memang 'wajib' dan 'butuh'," Rista mengingatkan.