Liputan6.com, Jakarta Saat kebanyakan negara menghadapi jumlah kematian akibat virus Corona COVID-19, di Jepang justru menghadapi jumlah kasus bunuh diri yang melampaui jumlah kematian akibat COVID-19.
Jepang merupakan salah satu dari sedikit negara ekonomi raksasa yang memiliki data bunuh diri secara real time, menurut data nasional AS pada 2018. Data ini pun lantas menjadi acuan negara lain karena dampak pandemi terhadap kesehatan mental cukup mengkhawatirkan.
Baca Juga
"Kami bahkan tidak melakukan lockdown, dan dampak COVID-19 sangat minim dibandingkan dengan negara lain, tapi kami masih melihat peningkatan besar dalam jumlah kasus bunuh diri," kata pakar bunuh diri, Profesor Michiko Ueda dari Waseda University di Tokyo, seperti dilansir CNN.
Advertisement
Menurut laporan Kementerian Kesehatan Jepang, Negeri Sakura tersebut memang mengalami peningkatan pada jumlah kasus bunuh diri sejak bulan lalu (Oktober 2020) dibandingkan jumlah kematian akibat COVID-19. Menurut laporan Japan's National Police Agency, jumlah kasus bunuh diri melonjak pada Oktober hingga mencapai 2.153 kematian. Sedangkan menurut menteri kesehatannya, jumlah meninggal akibat COVID-19 hingga Jumat kemarin mencapai 2.087 jiwa.
Padahal tahun-tahun sebelumnya, jumlah orang yang bunuh diri terus berkurang. Adapun total per bulan tertingginya masih ditempati pada bulan Mei 2015.
Para ahli telah memperingatkan bahwa pandemi dapat menyebabkan krisis kesehatan mental. Pengangguran massal, isolasi sosial, dan kecemasan membuat orang-orang menderita secara global.
Salah satu orang yang terdampak secara mental misalnya, Eriko Kobayashi empat kali mencoba bunuh diri karena stres akibat kerja.
Pertama kali saat ia berusia 22 tahun karena ia bekerja penuh waktu namun gajinya tidak cukup untuk membayar sewa tempat tinggal dan uang belanja di Tokyo. "Saya sangat miskin waktu itu," kata Kobayashi.
Ia mengatakan bahwa tiga hari tidak sadarkan diri di rumah sakit setelah kejadian.
Kini usianya 43 tahun dan telah menulis buku tentang perjuangannya dengan kesehatan mental dan memiliki pekerjaan tetap di NGO (LSM). Tetapi virus corona mengembalikan stres yang dulu ia rasakan. Dari gajinya yang dipotong, hingga krisis yang terus menerus berdatangan hingga ia khawatir akan kembali miskin.
Simak Video Berikut Ini:
Banyak terjadi pada wanita
Menurut World Health Organization (WHO), Jepang sejak lama menjadi salah satu negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia. Pada 2016, Jepang memiliki angka kematian akibat bunuh diri 18,5 per 100.000 orang, nomor dua setelah Korea Selatan di kawasan Pasifik Barat dan hampir dua kali lipat rata-rata global tahunan 10,6 per 100.000 orang.
Sementara alasan bunuh dirinya sangat beragam dan rumit. Bisa karena jam kerja yang panjang, tekanan sekolah, isolasi sosial dan stigma budaya seputar masalah kesehatan mental.
Menurut Kementerian Kesehatan setempat, selama 10 tahun menjelang 2019, jumlah bunuh diri telah menurun di Jepang, turun menjadi sekitar 20.000 pada tahun lalu, dan menjadi nilai terendah yang mereka miliki sejak mulai pecatatan kasus tahun 1978.
Namun pandemi tampaknya telah membalikkan tren dengan peningkatan kasus bunuh diri, terutama pada wanita. Meskipun mereka mewakili proporsi yang lebih kecil dari total kasus bunuh diri daripada pria, jumlah wanita yang bunuh diri meningkat.
Pada bulan Oktober, kasus bunuh diri di kalangan wanita di Jepang meningkat hampir 83 persen dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya. Sebagai perbandingan, kasus pada pria meningkat hampir 22 dalam periode waktu yang sama.
Adapun beberapa hal berpotensi menjadi pemicunya, yaitu persentase yang lebih tinggi pada wanita pekerja paruh waktu di hotel, layanan makanan dan industri ritel (tempat PHK besar-besaran telah terjadi). Kobayashi juga cukup khawatir, sebab banyak temannya telah di-PHK. "
Jepang selama ini mengabaikan wanita. Tempat dimana orang-orang lemah disingkirkan terlebih dahulu ketika sesuatu yang buruk terjadi," katanya.
Dalam studi global terhadap lebih dari 10.000 orang, yang dilakukan oleh organisasi bantuan internasional nirlaba CARE, 27 persen wanita melaporkan peningkatan masalah kesehatan mental selama pandemi, dibandingkan dengan 10% pria.
Menurut penelitian tersebut, masalah mental pada wanita semakin diperparah dengan beban biaya perawatan yang meroket. Ditambah beban wanita pekerja sekaligu sebagai ibu yang menjemput anaknya pulang dari sekolah atau pusat penitipan anak, serta tugas rumah tangga. Mereka juga mencemaskan kesehatan dan kesejahteraan anak-anak, terutama saat pandemi.
Seorang wanita lain yang tertekan akibat COVID-19 adalah Akari (nama samaran), 35 tahun. Ia sampai mencari bantuan profesional akibat cemas berlebihan sejak anaknya yang prematur dirawat di rumah sakit selama enam minggu.
"Saya sangat khawatir selama 24 jam. Saya tidak memiliki riwayat penyakit mental sebelumnya, tetapi saya dapat melihat diri saya sangat, sangat cemas sepanjang waktu. Saya merasa tidak ada harapan, saya merasa seperti selalu memikirkan skenario terburuk," kata Akari kepada CNN.
Kecemasannya kian memburuk ketika pandemi meningkat dan ia khawatir putranya akan tertular COVID-19.
Pada bulan Maret, Koki Ozora, seorang mahasiswa berusia 21 tahun, memulai hotline kesehatan mental 24 jam yang disebut Anata no Ibasho (Tempat untuk Anda), yang merupakan organisasi nirlaba yang didanai oleh sumbangan pribadi. Sejak dibuka, ia menerima rata-rata lebih dari 200 panggilan setiap hari, dan sebagian besar penelepon adalah wanita, katanya kepada CNN.
"Mereka kehilangan pekerjaan, dan mereka perlu membesarkan anak-anak mereka, tetapi mereka tidak punya uang, jadi, mereka mencoba bunuh diri," kata Ozora.
Sebagian besar panggilan datang sepanjang malam, mulai pukul 10 malam sampai jam 4 pagi. 600 relawan nirlaba dari seluruh dunia dalam zona waktu yang berbeda, siap menjawabnya. Tetapi jumlahnya masih belum cukup untuk menjawab sejumlah besar pesan, kata Ozora.
Mereka memprioritaskan teks yang paling mendesak, mencari kata kunci seperti bunuh diri atau pelecehan seksual. Dia mengatakan mereka menanggapi 60% teks dalam lima menit, dan relawan menghabiskan rata-rata 40 menit dengan setiap orang.
Tidak seperti kebanyakan hotline kesehatan mental di Jepang, yang menerima permintaan melalui telepon, Ozora mengatakan banyak orang, terutama generasi muda, lebih nyaman meminta bantuan melalui teks dan secara anonim.
Pada bulan April, dia mengatakan pesan yang paling umum berasal dari para ibu yang merasa tertekan karena membesarkan anak-anak mereka, dengan beberapa di antaranya mengaku berpikir untuk membunuh anak mereka sendiri. Akhir-akhir ini pesan dari wanita yang kebanyakan membahas tentang kehilangan pekerjaan dan kesulitan keuangan serta kekerasan dalam rumah tangga.
"Saya telah menerima pesan, seperti 'Saya diperkosa oleh ayah saya' atau 'Suami saya mencoba membunuh saya,'" kata Ozora.
"Wanita mengirim SMS semacam ini hampir setiap hari. Dan jumlahnya terus meningkat." Dia menambahkan, lonjakan pesan itu karena pandemi. Mungkin kehilangan tempat pelarian yang sebelumnya ada, seperti sekolah, kantor, atau rumah teman.
Advertisement
Tekanan pada anak-anak
Sebagai negara G-7 (organisasi antar pemerintah 7 negara dengan ekonomi raksasa untuk memengaruhi tren global dan mengatasi masalah yang saling berkaitan), Jepang memiliki kasus bunuh diri sebagai penyebab utama kematian bagi kaum muda berusia 15 hingga 39 tahun.
Pembatasan saat pandemi membuat anak-anak keluar dari sekolah dan situasi sosial, mereka menghadapi pelecehan, kehidupan rumah tangga yang penuh tekanan dan stres akibat tugas dan pekerjaan rumah yang menumpuk, kata Ozora.
Beberapa anak berusia lima tahun pernah mengirim pesan ke hotline tersebut, lanjut Ozora.
Menurut Naho Morisaki National Center for Child Health and Development, penutupan sekolah selama pandemi di musim semi telah berkontribusi pada menumpuknya pekerjaan rumah; anak-anak juga kurang memiliki kebebasan untuk melihat teman, yang juga menyebabkan stres. Mereka baru-baru ini melakukan survei internet terhadap lebih dari 8.700 orang tua dan anak-anak dan menemukan bahwa 75 persen anak sekolah Jepang menunjukkan tanda-tanda stres akibat pandemi.
Menurut Morisaki, ada korelasi besar antara kecemasan anak-anak dan orang tua mereka. "Anak-anak yang melukai diri sendiri mengalami stres, dan kemudian mereka tidak dapat berbicara kepada keluarganya karena mungkin mereka melihat bahwa ibu atau ayah mereka tidak dapat mendengarkan mereka."
Stigma pemecahan masalah
Di Jepang, masih ada stigma yang melarang mengakui kesepian dan kesusahan. Ozora sering menemukan pesan yang diawali dengan kalimat "Saya tahu itu buruk untuk meminta bantuan, tetapi dapatkah saya berbicara?"
Prof. Ueda mengatakan rasa malu berbicara tentang depresi yang dialami seseorang dengan teman atau siapapun sering kali menahan mereka. Padahal ini menjadi faktor keterlambatan dalam mencari bantuan.
Akari, ibu dari bayi prematur, setuju. Dia sebelumnya tinggal di AS, di mana dia mengatakan tampaknya lebih mudah untuk mencari bantuan.
"Ketika saya tinggal di Amerika, saya mengenal orang-orang yang menjalani terapi, dan itu hal yang lebih umum dilakukan, tetapi di Jepang sangat sulit," katanya.
Pada awal 2000-an, pemerintah Jepang mempercepat investasi dan upaya seputar pencegahan bunuh diri dan dukungan bagi penyintas, termasuk mengesahkan Basic Act for Suicide Prevention (Undang-Undang Dasar Pencegahan Bunuh Diri) pada tahun 2006 untuk memberikan dukungan kepada mereka yang terkena dampak masalah tersebut. Tapi Ozora dan Kobayashi mengatakan itu belum cukup untuk mengurangi tingkat bunuh diri yang dibutuhkan masyarakat Jepang untuk berubah.
"Kita perlu menciptakan budaya tidak apa-apa untuk menunjukkan kelemahan dan kesusahanmu," kata Kobayashi.
Ancaman gelombang ketiga COVID-19
Dalam beberapa pekan terakhir, Jepang telah melaporkan kasus COVID-19 harian tertinggi, karena dokter memperingatkan gelombang ketiga yang dapat meningkat pada bulan-bulan musim dingin. Para ahli khawatir bahwa angka bunuh diri yang tinggi akan semakin parah seiring dengan berlanjutnya kejatuhan ekonomi.
"Kami bahkan belum mengalami konsekuensi ekonomi penuh dari pandemi. Pandemi itu sendiri bisa menjadi lebih buruk, lalu mungkin ada semi-lockdown lagi. Jika itu terjadi maka dampaknya bisa sangat besar," kata Ueda.
Dibandingkan dengan beberapa negara lain, pembatasan virus corona Jepang relatif lebih longgar. Negara itu menyatakan keadaan darurat tetapi tidak pernah memberlakukan penguncian yang ketat, misalnya, dan pembatasan karantina untuk kedatangan internasional belum seketat yang ada di China.
Namun seiring meningkatnya kasus, beberapa khawatir mungkin perlu melakukan pembatasan ketat karena khawatir bagaimana itu berdampak pada kesehatan mental mereka.
Meskipun harus berurusan dengan pemotongan gaji dan ketidakamanan finansial yang terus-menerus, Kobayashi mengatakan dia sekarang jauh lebih baik dalam mengelola kecemasannya. Dia berharap dengan berbicara di depan umum tentang ketakutannya, lebih banyak orang akan melakukan hal yang sama dan menyadari bahwa mereka tidak sendiri, sebelum terlambat.
"Saya mengungkapkan kepada publik dan mengatakan bahwa saya telah sakit jiwa dan menderita depresi dengan harapan orang lain dapat terdorong untuk berbicara," kata Kobayashi. "Saya berusia 43 tahun sekarang dan hidup mulai menjadi lebih menyenangkan di usia saya ini. Jadi, saya merasa senang bahwa saya masih hidup."
***KONTAK BANTUAN***
Bunuh diri bukan jawaban apalagi solusi dari semua permasalahan hidup yang seringkali menghimpit. Bila Anda, teman, saudara, atau keluarga yang Anda kenal sedang mengalami masa sulit, dilanda depresi dan merasakan dorongan untuk bunuh diri, sangat disarankan menghubungi dokter kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan (Puskesmas atau Rumah Sakit) terdekat.
Bisa juga mengunduh aplikasi Sahabatku: https://play.google.com/store/apps/details?id=com.tldigital.sahabatku
Atau hubungi Call Center 24 jam Halo Kemenkes 1500-567 yang melayani berbagai pengaduan, permintaan, dan saran masyarakat.
Anda juga bisa mengirim pesan singkat ke 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat surat elektronik (surel) kontak@kemkes.go.id.
Advertisement