Liputan6.com, Jakarta Tenaga medis termasuk dokter rentan terkena Corona COVID-19. Penyakit ini pun menyerang dokter spesialis bedah sebuah rumah sakit di Wonogiri, Jawa Tengah, Sriyanto. Tak hanya batuk, penyakit komorbid diabetes yang sebelumnya ia miliki membuat kondisinya saat sakit COVID-19 menjadi kritis.
Bukan cuma dirinya, anak semata wayangnya yang juga terinfeksi COVID-19. Di saat bersamaan, sang ayah mertua yang juga dokter bedah berada di ICU RS Karyadi Semarang karena COVID-19.
Baca Juga
Hal ini berawal pada 18 November 2020 ketika hasil tes swab PCR menunjukkan positif COVID-19. Segera saja, ia dan anaknya berangkat ke RS Moewardi untuk mendapat perawatan dengan kondisi demam dan batuk.
Advertisement
"Sepanjang perjalanan antara Wonogiri ke Solo, tubuh saya terus menggigil," ceria Sriyanto.
Sampai di ruang isolasi RS Moewardi, kondisi Sriyanto memburuk. "Setiap hari saya menggigil kedinginan dan bahkan setiap 6 jam sekali harus mengkonsumsi obat pamol agar tidak menggigil akut," katanya mengutip keterangan yang diterima Health-Liputan6.com.
Hari keempat isolasi, tak cuma batuk, Sriyanto mengeluhkan badannya terasa sakit. Batuk yang tadinya biasa menjadi batuk 'ngekel', begitu orang Jawa menyebutnya.
"Setiap bergerak juga batuk seperti ketika sholat yang banyak gerakan, dari ruku' ke sujud, atau dari sujud ke berdiri, maka otomatis akan batuk. Saya sangat tersiksa dan rasanya sulit sekali untuk bernapas lega," tuturnya.
Perjuangannya melawan COVID-19 belum usai di situ. Hari-hari berikutnya, ada tantangan tapi juga mukzizat hadir.
Â
Â
Â
Â
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Nasi Terasa Keras
Hari keenam, kondisinya makin parah. Indera penciumannya tidak berfungsi. Bahkan, mengunyah pun tak bisa. Nasi jatah makan terasa keras.
"Saya berusaha mengunyah tapi gagal. Kerongkongan terasa sangat sakit. Berkali-kali berusaha mengunyah nasi, tapi tak bisa sampai akhirnya saya muntahkan kembali nasi yang masih utuh itu."
Saking kesalnya, Sriyanto sampai protes ke bagian gizi rumah sakit kenapa bisa menyajikan nasi bertekstur keras.
"Betapa kagetnya ketika mendapat penjelasan bahwa itu sebetulnya nasi tersebut lunak seperti biasa. Ketika pasien lain bisa mengunyah nasi dengan baik, nasi itu terasa keras bagi saya," ceritanay kaget.
Saat itu, Sriyanto sadar virus SARS-CoV-2 rupanya menyebabkan nasi terasa keras sehingga sulit untuk mengunyah sekaligus menelan. Mungkin cairan kelenjar tidak keluar sehingga fungsi saraf menelan terganggu. Virus ini mengganggu semua fungsi mulut dan tenggorokan.Â
Advertisement
Kondisi Kritis
Penderitaan tak berhenti di situ. Dia hampir menyerah ketika penyakit komorbid diabetes mulai bereaksi terhadap virus tersebut. Tak sedikit pasien dengan komorbid diabetes meninggal dunia bila terinfeksi COVID-19.
Namun, Sriyanto merasa malah malam itu penuh mukzizat. Ada kiriman plasma dari Jakarta yang beberapa hari sebelumnya sudah dia pesan. Selain itu ia juga minta mendapatkan suntikan tosilizumab seharga Rp8 juta.
Usahanya untuk tetap berpikir logis saat menderita membuahkan hasil tosiluzumab bekerja dengan baik.
"Hanya selang 6 jam pasca suntikan, saya sudah bisa makan pisang. Padahal sebelum disuntik saya tidak bisa menelan, semuanya terasa begitu keras sampai membuat saya frustrasi."
Hari kedelapan, injeksi plasma dia dapatkan lagi. Sriyanto bisa tidur 12 jam dengan badan terpasang alat EKG, oksigen 5 liter dan infus dua jalur.
"Begitu terbangun, badan terasa lebih ringan dan segar. Batuk juga sudah berkurang banyak dan demam perlahan menurun."
Di hari kesembilan kondisinya mulai stabil. Tak lagi demam dan batukberkurang hingga 75 persen. Sriyanto pun merasa badan lebih ringan dan hati bahagia.
"Terlewati sudah pertarungan antara hidup dan mati. Di hari ini saya sudah bisa merasakan empuknya nasi, tidak keras lagi seperti kemarin."
Â
COVID-19 Terkalahkan
Setelah 12 hari mendapatkan perawatan, kini Sriyanto sedang masa pemulihan di rumahnya di Wonogiri. Anak semata wayangnya juga sudah sehat. Bahkan kini mereka bisa bersepeda di sekitar rumah.
Menurut Sriyanto, selain niat kuat sembuh dari penyakit ini, iringan doa dari kerabat dan sahabat begitu bermakna baginya.
"Betapa sebuah doa di saat kondisi kritis membuat saya sangat bahagia. Terlebih lagi melihat kiriman video santri-santri TPQ dari berbagai daerah yang mengirimkan doa hingga beberapa hari"."
Satu lagi, pelajaran berharga dari pengalamannya, Sriyanto mengatakan sikapnya untuk percaya kepada pengobatan medis membuahkan hasi.
"Bahwa ketika kondisi kritis, tetap percayakan pengobatan kepada medis. Bahwa obat medis sudah teruji. Sedangkan pengobatan alternatif baru sebatas coba-coba. Kita harus tetap rasional."
Â
Advertisement