Liputan6.com, Jakarta Korban kekerasan seksual bisa mendapat berbagai dampak negatif baik secara fisik maupun psikologis. Proses pemulihan kondisi korban pun membutuhkan waktu yang relatif lama.
Menurut psikolog klinis dari Yayasan Pulih, Noridha Weningsari, proses pemulihan psikologis korban kekerasan seksual bagaikan naik wahana roller coaster.
Baca Juga
“Proses pemulihan psikologis bagi individu yang mendapat kekerasan dalam relasi intim, kalau aku bilangnya kayak naik roller coaster,” ujar Noridha dalam webinar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), ditulis Senin (7/12/2020).
Advertisement
“Naik turun, diombang-ambing, dipontang-panting. Kadang kepala di bawah kaki di atas, pokoknya pemulihan psikologis adalah suatu proses yang sangat dinamis,” tambahnya.
Ini bukan berarti psikolog menakut-nakuti, lanjut Noridha, namun masyarakat perlu realistis bahwa korban kekerasan bisa saja tidak hanya mendapat kekerasan saat ini dari pasangannya tapi juga dari “mungkin” orangtuanya di masa lalu.
Proses pemulihan psikologis menjadi sangat panjang karena korban tidak hanya perlu memahami bahwa dirinya sedang dalam relasi kekerasan namun juga ia harus memahami apa yang terjadi dengan dirinya.
“Sehingga dia dapat terhindar dari relasi berkekerasan ketika ia menjalin relasi lain.”
Simak Video Berikut Ini:
Waktu Pemulihan Setiap Orang Berbeda
Setiap orang akan memerlukan waktu yang bervariasi dalam proses pemulihan psikologis. Hal ini tergantung pada pribadi korban dan banyaknya dukungan yang didapatkan.
“Kita perlu pahami bahwa sangat mungkin sekali lingkungannya justru menyalahkan korban sehingga ia tidak mendapat dukungan. Maka proses pemulihan psikologisnya akan lebih sulit lagi,” kata Noridha.
Hal penting yang dapat dilakukan untuk memperlancar proses pemulihan psikologis adalah dengan membebaskan diri dari stigma.
Korban dapat termakan oleh omongan pelaku yang menyebut bahwa korban pun salah karena mengizinkan kekerasan seksual itu terjadi. Dengan demikian, korban bisa saja menyalahkan diri sendiri. Tekanan semakin bertambah karena adanya stigma masyarakat yang menganggap korban pun bersalah.
“Kita yang ada dalam komunitas si korban berperan penting untuk membebaskan korban dan diri kita dari stigma.”
Noridha sendiri sempat memiliki stigma bahwa perempuan itu harus begini dan begitu. Namun, dengan mendengarkan sudut pandang korban dan belajar dari korban-korban sebelumnya, stigma itu pun akhirnya dapat dihilangkan.
Advertisement