Liputan6.com, Jakarta Pejabat Australia membatalkan pesanan 51 juta dosis vaksin COVID-19 yang sedang dikembangkan perusahaan lokal karena menyatakan positif HIV secara keliru pada sukarelawan.
Dari lusinan vaksin COVID-19 yang diuji di seluruh dunia, vaksin COVID-19 Australia yang sedang dikembangkan oleh The University of Queensland (UQ) dan CSL Ltd--sebuah perusahaan bioteknologi lokal, menjadi yang pertama kali ditinggalkan. Meskipun menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam uji coba awal, namun peneliti menemukan bahwa vaksin tersebut menyebabkan hasil positif yang palsu pada tes HIV.
Baca Juga
Pada Jumat (11 Desember), pejabat Australia mengatakan mereka telah membatalkan pesanan vaksin tersebut sekitar $ 750 juta (sekitar Rp 10,5 triliun), seperti dikutip dari The New York Times.
Advertisement
Menurut pernyataan dari CSL, vaksin tersebut tampaknya aman dan menghasilkan respons kekebalan yang kuat terhadap COVID-19 dalam uji coba awal dengan 216 peserta. Tetapi beberapa sukarelawan salah dites positif HIV, yang membuat para pejabat khawatir itu akan merusak kepercayaan pada vaksin.
Vaksin tersebut mengandung fragmen kecil protein HIV, yang membantu menstabilkan vaksin. Beberapa peserta mengembangkan antibodi terhadap fragmen ini, dan antibodi ini memicu hasil positif palsu pada beberapa tes HIV. Namun perlu dicatat bahwa vaksin ini tidak akan menyebabkan infeksi HIV karena mengandung fragmen virus yang sudah tidak berbahaya, seperti dilansir dari LiveScience.
CSL menyatakan peserta uji coba telah diberi tahu bahwa mereka mungkin menghasilkan beberapa antibodi terhadap fragmen kecil protein HIV, tetapi mereka tidak menyangka bahwa tingkat [antibodi] yang diinduksi akan mengganggu tes HIV.
Baik CSL maupun UQ mengatakan akan memakan waktu sekitar satu tahun untuk memperbaiki kekurangan tersebut, sehingga mereka memutuskan untuk mengentikan uji coba.
"Itu [Vaksin] sepertinya berhasil. Tetapi kami tahu bahwa kami tidak ingin memiliki masalah dengan tingkat kepercayaan, dan tes positif palsu ini mungkin menyebabkan kebingungan dan kurangnya kepercayaan," kata Brendan Murphy, sekretaris Departemen Kesehatan Australia, seperti dikutip dari BBC.Â
Co-lead vaksin Paul Young tentu merasa keputusan tersebut seperti sia-sia setelah 11 bulan hidup dan bernapas menjalani proyek tersebut. Vaksin mereka yang berbasis protein telah memiliki rekam jejak yang lebih panjang daripada beberapa vaksin COVID-19 pesaing yang menggunakan pendekatan baru yang didasarkan pada gen virus atau yang disebut adenovirus.
"Meskipun ini adalah keputusan yang sulit untuk diambil, kebutuhan mendesak akan vaksin harus menjadi prioritas semua orang," katanya.
Â
Simak Video Berikut Ini:
Realita pengembangan vaksin
Pakar medis lainnya juga memuji keputusan "realistis" ini untuk meninggalkan vaksin UQ, dengan mengatakan itu mencerminkan realitas pengembangan vaksin.
"Secara umum, sekitar 90% vaksin tidak pernah berhasil dipasarkan. Sebagai komunitas global, kami dimanjakan dengan kecepatan dan kesuksesan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam pengembangan vaksin Covid-19," kata pakar penyakit menular Sanjaya Senanayake dari Australian National University.
Untuk mengkompensasi hilangnya 51 juta dosis pesanan, pemerintah Australia pun berencana mengalihkannya untuk meningkatkan pesanan vaksin COVID-19 lainnya, termasuk vaksin yang dibuat oleh AstraZeneca dan Novavax. Pemerintah telah menyatakan rencananya untuk mulai menginokulasi warga pada Maret 2021.
Sementara itu, Amerika Serikat bergerak selangkah lebih dekat dengan panel ahlinya yang mendorong Badan Pengawas Makanan dan Obat-Obatan (FDA) untuk mendukung persetujuan vaksin Pfizer yang sudah digunakan di Inggris.
Australia telah mengendalikan virus setelah berada di puncak wabah dalam beberapa bulan terakhir. Namun pemerintah optimis akan ada cakupan populasi penuh dari vaksin pada tahun 2021.
"Kami tidak memerlukan persetujuan darurat, kami dalam posisi yang baik karena kami telah mengendalikan virus. Jadi saya sangat yakin tentang keberhasilan strategi vaksinasi yang akan kami hadapi tahun depan," kata prof. Murphy.
Perdana Menteri Scott Morrison mengatakan memfokuskan upaya manufaktur Australia pada vaksin lain berarti mereka telah bersiap untuk situasi tersebut dan telah mengambil risiko dengan berbagai kesepakatan untuk vaksin. Mereka telah memiliki prinsip "lebih baik memiliki seluruh penduduk divaksinasi lebih awal daripada nanti."
Adapun vaksin Oxford/AstraZeneca telah terbukti aman dan efektif menurut para peneliti, tinggal menunggu persetujuan dari regulator di seluruh dunia. Sehingga pada awal tahun 2021 vaksin tersebut menjadi daftar pertama untuk dijadwalkan diberikan kepada warga Australia.
Sementara vaksin berbasis protein terkemuka lainnya, yaitu Novavax yang berbasis di Maryland, sedang berada dalam uji coba Fase 3, dan satu lagi dari Clover Biopharmaceuticals of China yang berada dalam uji coba Fase 1.
Menteri Kesehatan Australia, Greg Hunt, mengatakan kepada wartawan bahwa negara itu masih memiliki akses ke 140 juta unit vaksin virus korona, lebih dari cukup untuk menutupi populasi sekitar 25 juta orang.
Australia yang memiliki jumlah penduduk 25 juta jiwa, hanya tercatat satu kasus penularan lokal dalam seminggu terakhir. Negara tersebut telah melaporkan 908 kematian dan 28.000 kasus sejauh ini selama pandemi, jauh lebih sedikit daripada banyak negara.
Kecepat-tanggapan mereka dipuji, dengan cepat memutuskan penutupan perbatasan, tindakan penguncian, dan upaya pelacakan kontrak yang agresif. Mereka belajar dari kegagalan atas kematian warganya.
Advertisement