Liputan6.com, Jakarta Tiga orang ibu dari anak dengan kondisi cerebral palsy mengajukan uji materil terhadap pembatasan penggunaan narkotika golongan I untuk kesehatan. Hal ini setelah mereka tak bisa mendapatkan akses ganja untuk tujuan terapi bagi anak-anaknya di Indonesia.
Dengan didampingi beberapa lembaga lain, Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Murhayanti, telah melakukan Permohonan Uji Materil terhadap Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika ke Mahkamah Konstitusi.
Baca Juga
Pembatasan penggunaan Narkotika Golongan I untuk kesehatan, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika, dinilai membuat ketiganya tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan, yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan hidup anak-anaknya.
Advertisement
Kuasa hukum pemohon Erasmus Abraham T. Napitupulu mengatakan bahwa pemohon I Dwi Pertiwi, yang memiliki putra dengan kondisi cerebral palsy, pada 2016 sempat berupaya memberikan terapi minyak ganja pada anaknya saat berada di Victoria, Australia.
Setelah mendapatkan pengobatan ganja, kondisi anak pemohon I menjadi lebih baik, rileks, dan fokus. Selain itu, kondisi otot dan tulang menjadi lebih lembut dan gejala kejangnya berhenti total.
"Pemohon I akhirnya memutuskan untuk menghentikan pengobatan dengan menggunakan ganja kepada anak pemohon I di Indonesia, dikarenakan adanya ketentuan yang melarang penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan," kata Erasmus dalam sidang perkara yang juga disiarkan secara daring di Youtube Mahkamah Konstitusi RI pada Rabu (16/12/2020).
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Pendam Keinginan Gunakan Ganja
Erasmus mengatakan, masih masuknya ganja ke dalam narkotika golongan I di Indonesia, telah mencerminkan kerugian konstitusional pemohon I secara aktual.
Selain itu, Pemohon II Santi Warastuti, di mana anaknya mengalami cerebral palsy dan menderita Japanese encephalitis, juga sempat ditawari minyak ganja untuk terapi pengobatan dari luar negeri, ketika ia berdomisili di Bali.
"Kendati terdapat keinginan yang kuat untuk menggunakan minyak tersebut, namun karena pemohon menyadari bahwa di Indonesia penggunaan ganja masih dilarang, sampai dengan saat ini pun tidak ada akses yang sah untuk mendapatkan minyak cannabis tersebut, sehingga pemohon II mengurungkan niatnya."
Santi, yang juga tergabung di satu komunitas dengan Dwi, juga pernah mendengar manfaat terapi dengan ganja untuk anak dengan cerebral palsy, meski kondisi penyakitnya berbeda.
Pemohon III Nafiah Murhayanti, seorang ibu dengan anak perempuan dengan kondisi cerebral palsy, juga sempat mendengar bagaimana anak dari pemohon I usai melakukan terapi ganja. Namun, keinginannya terpaksa dipendam.
Â
Advertisement
Hilangnya Hak Pemohon
Kuasa hukum pemohon yang lain Ma'ruf di sidang tersebut juga mengungkapkan beberapa alasan permohonan uji materi Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika.
Yang pertama adalah ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika, telah mengakibatkan hilangnya hak para pemohon untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, sebagaimana diatur dalam pasal 28 H ayat (1) UUD 1945.
Kedua, pelarangan narkotika golongan 1 menegasikan pemanfaatan narkotika golongan 1 untuk kepentingan pelayanan kesehatan, sebagaimana dijamin dalam pasal 28 H ayat (1) UUD 1945.
Ketika, Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika dinilai mengakibatkan hilangnya hak para pemohon, untuk mendapatkan manfaat dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berupa manfaat kesehatan dari narkotika golongan 1 sebagaimana diatur dan dijamin Pasal 28 C ayat (1) UUD 1945.
Nafiah, dalam sidang tersebut, juga berharap agar permohonan mereka dapat diterima oleh MK.
"Agar anak saya bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal untuk kesehatan dan perkembangannnya. Saya ingin anak-anak sehat dan anak-anak Indonesia bisa menerima manfaat baik dari permohonan ini," kata Nafiah menutup sidang tersebut.
INFOGRAFIS: Deretan Kandidat Obat Covid-19
Advertisement