Sukses

Vaksin Pertama Dianggap Efektif, Ilmuwan Berdebat Soal Taktik Dosis Kedua

Para ilmuwan terjebak dalam perdebatan sengit untuk memutuskan tindakan seperti apa yang lebih bijaksana, apakah menahan dosis kedua yang dibutuhkan semua orang tapi dapat menjangkau masyarakat lebih luas, atau memilih jalan lain?

Liputan6.com, Jakarta Saat pemerintah di seluruh dunia terburu-buru ingin segera memvaksinasi warganya dalam melawan lonjakan virus Corona, para ilmuwan terjebak dalam perdebatan sengit untuk memutuskan tindakan seperti apa yang lebih bijaksana, apakah menahan dosis kedua yang dibutuhkan semua orang tapi dapat menjangkau masyarakat lebih luas, atau memilih memberikan dosis kedua namun untuk mencapai imunitas kelompok atau herd immunity akan butuh waktu lebih lama.

Ide tersebut atas dasar suntikan pertama tampaknya sudah memberikan perlindungan terhadap COVID-19, sehingga beberapa ahli percaya bahwa rute terpendek untuk menahan virus adalah dengan menyebarkan suntikan pertama seluas mungkin sekarang.

Para pejabat di Inggris telah memilih untuk menunda dosis kedua dan memilih memperluas cakupan pemberian dosis pertama vaksin yang dibuat oleh perusahaan farmasi AstraZeneca dan Pfizer sebagai cara untuk mendistribusikan perlindungan parsial, dilansir dari NYTimes.

Sementara pejabat AS dengan tegas menentang gagasan tersebut. Menurut ahli penyakit menular terkemuka di negara itu, Dr. Anthony S. Fauci, "Saya tidak akan mendukung itu. Kami akan terus melakukan apa yang kami lakukan," katanya, dikutip dari NYTimes.

Tetapi pada hari Minggu (3/1/2021), penasihat ilmiah Operation Warp Speed, Moncef Slaoui, mengupayakan untuk mempercepat pengembangan dan pendistribusian vaksin, sehingga beberapa warga AS mendapat dua setengah dosis vaksin Moderna, cara yang lebih mungkin untuk mendapat kekebalan lebih luas dari pasokan vaksin negara yang terbatas.

Ahli vaksin dari Yale University, Saad Omer, menanggapi perihal vaksin Moderna yang menawarkan dosis lebih, dengan mengatakan “Kami memiliki masalah dengan distribusi, bukan jumlah dosisnya. Menggandakan jumlah dosis tidak menggandakan kapasitas untuk memberikan dosis.”

Perdebatan tersebut rupanya mencerminkan rasa frustasi pemerintahan mereka karena jumlah warga AS yang mendapatkan dosis pertama jauh di bawah jumlah yang diharapkan pemerintah hingga akhir tahun 2020. Namun kontroversi itu sendiri membawa risiko di negara mereka, selain langkah-langkah kesehatan telah dipolitisasi dan masih banyak yang tetap ragu untuk menerima vaksin.

Distribusinya juga tidak merata. Ada yang di satu kota, para lansia mengantri untuk vaksinasi sampai ada yang kembali karena kehabisan, bahkan sampai sistem telepon Departemen Kesehatan mereka mengalami gangguan karena lonjakan penelepon saat pembukaan hari pertama klini vaksinasi gratis untuk umum. Sementara menurut Gubernur Mike DeWine, pekerja panti jompo di Ohio memilih menolak vaksinasi. Padahal, menurut Walikota Eric Garcetti dari Los Angeles yang sekarang menjadi pusat pandemi sudah memperingatkan bahwa distribusi vaksin bergerak terlalu lambat disana, sementara jumlah pasien yang dirawat inap terus meningkat lebih dari dua kali lipat di California selama sebulan terakhir.

Sejauh ini, vaksin yang diizinkan pendistribusiannya di AS diproduksi oleh Pfizer-BioNTech dan Moderna. Inggris memberi lampu hijau pada vaksin Pfizer-BioNTech dan Oxford-AstraZeneca.

Sementara di Indonesia tengah mendistribusikan vaksin Sinovac dan masih menunggu vaksin Novavax (diperkirakan sampai di Indonesia pada Juni 2021), Moderna, AstraZeneca (diperkirakan sampai di Indonesia pada kuartal kedua 2021) dan Pfizer (diperkirakan sampai di Indonesia pada kuartal ketiga 2021).

Semua vaksin COVID-19 tersebut mengandalkan strategi perlindungan berjenjang dengan pemberian dosis terjadwal dengan ketat. Adapun suntikan pertama mengajarkan sistem kekebalan untuk mengenali patogen baru dengan menunjukkan versi tidak berbahaya dari beberapa fitur virus yang paling menonjol. Setelah tubuh memiliki waktu untuk mempelajari materi ini, sehingga saat suntikan kedua, seolah membantu sel-sel kekebalan memasukkan pelajaran tersebut ke dalam ingatan, dengan maksud meningkatkan potensi dan daya tahan kekebalan.

 

Simak Video Berikut Ini:

2 dari 4 halaman

Kekhawatiran ahli

Uji klinis yang dilakukan oleh Pfizer-BioNTech dan Moderna menunjukkan bahwa vaksin tersebut sangat efektif dalam mencegah kasus Covid-19 saat diberikan dalam dua dosis yang dipisahkan oleh tiga atau empat minggu.

Beberapa perlindungan tampaknya bekerja setelah suntikan pertama vaksin, meskipun tidak jelas seberapa cepat kerja vaksin itu bisa berkurang. Namun, beberapa ahli kini merasa yakin bahwa menyebarkan vaksin dosis pertama untuk menjangkau populasi lebih banyak mungkin menyelamatkan lebih banyak nyawa daripada memastikan setengah dari jumlah individu menerima kedua dosis sesuai jadwal.

Namun hal tersebut akan menyimpang dari rencana awal yang menjanjikan suntikan kedua sesuai jadwal untuk orang yang telah mendapatkan suntikan pertama. Selain itu, meskipun pejabat kesehatan Inggris mengatakan vaksin Astra Zeneca 73 persen efektif pada peserta uji klinis tiga minggu setelah dosis pertama diberikan dan sebelum dosis kedua diberikan (dalam kasus peserta yang tidak pernah menrima dosis kedua, interval berakhir 12 minggu setelah dosis pertama diberikan).

Tetapi beberapa peneliti khawatir pendekatan dosis tertunda bisa menjadi bencana, terutama di Amerika Serikat, sama seperti di Indonesia, di mana peluncuran vaksin sudah terhalang oleh rintangan logistik dan pendekatan tambal sulam untuk memprioritaskan siapa yang mendapat suntikan pertama. Sehingga menurut beberapa peneliti, menyebarluaskan lebih banyak dosis pertama tidak akan menyelesaikan masalah.

Ahli biologi matematika di Georgetown University, Shweta Bansal, dan yang lainnya juga menyuarakan keprihatinan tentang dampak sosial dan psikologis dari penundaan dosis kedua. “Semakin lama durasi antar dosis, semakin besar kemungkinan orang lupa untuk kembali. Atau orang-orang mungkin tidak ingat vaksin mana yang mereka dapatkan, dan kami tidak tahu dampak dari mencampur-adukkan vaksin baru," katanya.

Direktur Center for Biologics Evaluation and Research di Food and Drug Administration (FDA), Dr. Peter Marks menyatakan dalam email bahwa ia hanya mendukung rejimen dua dosis yang dijadwalkan secara ketat yang telah diuji dalam uji klinis vaksin. Menurutnya, kedalaman atau durasi perlindungan setelah satu dosis vaksin, tidak bisa ditentukan dari penelitian yang dipublikasikan sejauh ini.

"Meskipun itu adalah pertanyaan yang cukup masuk akal untuk mempelajari rejimen dosis tunggal dalam uji klinis di masa depan, saat ini kami tidak memiliki data ini," katanya.

Dr. Slaoui dari Operation Warp Speed juga memberikan pernyataan serupa melalui emailnya, "pendekatan yang dilakukan beberapa negara untuk menunda suntikan penguat dapat menjadi bumerang dan dapat menurunkan kepercayaan pada vaksin," tulisnya.

 

3 dari 4 halaman

Pendapat pembuat vaksin

1. Vaksin Oxford-AstraZeneca

Saat uji coba vaksin pada sukarelawan di Inggris, awalnya memang diberikan dua dosis dengan jarak antar dosis empat minggu, tetapi beberapa peserta yang divaksin akhirnya menerima dosis dengan selang waktu beberapa bulan, dan ternyata masih memperoleh perlindungan terhadap COVID-19.

Menurut wakil presiden eksekutif penelitian dan pengembangan biofarmasi di AstraZeneca, Menelas Pangalos, kesenjangan yang berkepanjangan antara dosis memberi lebih banyak fleksibilitas dalam cara mengelola vaksin, tergantung pada pasokan yang dimiliki suatu negara. Menurutnya juga, pemberian dosis yang tertunta dapat membantu negara untuk mengimunisasi sebagian besar populasi mereka untuk melindungi mereka dengan cepat.

2. Vaksin Pfizer

Juru bicara Pfizer, Steven Danehy, memberikan pernyataan yang jauh lebih konservatif. Menurutnya, meskipun perlindungan parsial dari vaksin tampaknya dimulai paling cepat 12 hari setelah dosis pertama, dua dosis vaksin diperlukan untuk memberikan perlindungan maksimal terhadap penyakit, untuk mencapai kemanjuran vaksin sebesar 95 persen. Selain itu tidak ada data yang menunjukkan seberapa besar perlindungan setelah dosis pertama dipertahankan setelah 21 hari.

3. Moderna

Juru bicara Moderna, Ray Jordan, tidak berkomentar maupun memberi pernyataan terkait perubahan rencana pemberian dosis.

Diantara semua pendapat para ahli dan pihak pembuat vaksin, tidak ada perselisihan terkait pemberian dosis kedua harus diberikan mendekati dosis pertama. Maka dari itu, mereka yang pro dengan perubahan rencana ini memiliki prinsip "mengekspos sistem kekebalan pada saat sistem masih mengenali bahan yang merangsang kekebalan dalam vaksin". Sementara mereka yang kontra karena tidak mau bertaruh tanpa data pendukung yang kuat dan lebih khawatir jika menunda dosis kedua akan memberi peluang lebih besar bagi virus corona untuk berkembang biak dan bermutasi pada orang yang sebagian terlindungi (orang yang telat mendapat dosis kedua).

Seorang ahli vaksin di Cornell University, Dr. Dean dan John Moore, sepakat rejimen yang memilih menunda dosis kedua demi menjangkau populasi lebih luas menunjukkan penyimpangan dari yang sudah diuji secara ketat dalam uji klinis. Dr.Moore mencatat, setengah dosis yang memunculkan respons kekebalan yang tampak mirip dengan yang dipicu oleh dosis penuh mungkin pada akhirnya tidak memberikan perlindungan yang diharapkan terhadap virus corona.

Memang tidak salah jika setiap orang kini mencari solusi karena ada kebutuhan yang mendesak sementara jumlah vaksin yang telah diproduksi tidak mencukupi untuk seluruh populasi, tapi menurut Dr. Dean, gagasan menunda dosis kedua dirasa belum tepat untuk kondisi yang belum normal seperti saat ini.

4 dari 4 halaman

Urutan Penerima Vaksin Covid-19 di Indonesia