Liputan6.com, Jakarta - Ketua Prodi Magister Kedokteran Kerja sekaligus Pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI, Dewi Soemarko, mengungkapkan 83 persen tenaga kesehatan di Indonesia berada pada kategori burn out. Burn out merupakan situasi lelah mental dan fisik akibat stres berkepanjangan.
"Mereka mengaku sebenarnya dalam keadaan burn out yang tingkat sedang. Kalau tingkat sedang itu sebenarnya orang sudah bilang ini warning, tolong dong. Ini belum jatuh ke burn out tingkat berat,"Â kata Dewi dalam diskusi virtual yang disiarkan melalui kanal YouTube BNPB pada Senin, 11 Januari 2021.
Baca Juga
Dokter yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Okupasi Indonesia (Perdoki) ini menyebut bahwa data tersebut berdasarkan hasil riset pada Agustus 2020. Riset dilakukan kepada 1.400 responden yang merupakan dokter, dokter spesialis, perawat, bidan, dokter gigi hingga farmasi.
Advertisement
Riset dilakukan secara daring karena Indonesia sedang menghadapi pandemi COVID-19.
Dewi menyebut bahwa mayoritas tenaga kesehatan yang mengalami burn out merupakan dokter umum.
"Kita bilang keletihan emosi, jadi mentalnya capek banget. Kasarnya kalau nyuruh orang ini ndableg, jadi hatinya capek. Itu dialami tenaga-tenaga kesehatan kita," Dewi menambahkan.
Â
Simak Video Berikut Ini
Tenaga Kesehatan Butuh Pertolongan
Tak hanya mental, tenaga kesehatan juga mengalami mengalami gangguan percaya diri. Berangkat dari hasil riset tersebut, Dewi menyimpulkan bahwa tenaga kesehatan di Indonesia membutuhkan pertolongan.
"Jadi, rasa percaya diri mulai goyang nih di tenaga kesehatan. Untuk kita itu bahaya. Bahayanya kenapa? Karena tenaga kesehatan harus eksekutor, harus percaya diri. Kalau mereka mulai ragu, itu sebenarnya perlu ditolong," kata Dewi menjelaskan.
Dewi, menambahkan, FKUI juga melakukan penelitian soal tingkat kecemasan tenaga kesehatan di tengah pandemi COVID-19. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tenaga kesehatan yang bertugas di ruang Intensive Care Unit (ICU) rumah sakit mengalami kecemasan kategori sedang.
"Jadi, artinya sebenarnya mereka cemas. Secara manusiawi iya lah. Dan, kita juga lihat risiko mereka untuk jadi cemas itu lebih besar pada orang yang sudah pernah ikut dikarantina. Misal, orang sudah pernah Covid, itu kecemasannya jauh lebih besar,"Â Dewi menekankan.
Titin Supriatin/Merdeka.com
Advertisement