Liputan6.com, Jakarta - Putu Eka Prayastiti, 29 tahun, adalah seorang dokter keluarga yang rela menyulap garasi rumahnya sebagai fasilitas kesehatan (faskes) permanen.
Pasien pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) boleh berobat ke tempat praktik yang beralamat di Jalan Tendean, BTN Tanah Bang Permai, Alam Villa Residen Nomor 3 Kediri, Tabanan, Bali.
Baca Juga
Sejak 2015, Putu resmi berprofesi sebagai Dokter Keluarga. Rasa suka ketika melihat para dokter dalam menyembuhkan pasien membawa wanita yang akrab disapa Dokter Fani melangkah sejauh ini.
Advertisement
Dia bercerita bahwa sebenarnya menjadi dokter bukanlah cita-citanya sejak kecil. Namun, rasa suka yang muncul di relung hatinya tersebut mendorong Fani untuk memelajari dunia kedokteran lebih dalam lagi.
Dia pun coba mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (FK UNUD), Bali, dan dengan mudah menyelesaikan pendidikan Strata 1 (S1).
"Dulu saya ingin jadi guru. Kedua orangtua saya juga guru. Saya melihat potensi guru untuk mencetak dan menumbuhkan karakter generasi itu sepertinya seru banget, tapi akhirnya jadi dokter," kata Fani saat berbincang dengan Health Liputan6.com melalui sambungan telepon pada Senin, 25 Januari 2021.
Sebelum akhirnya membuka praktik sendiri di rumahnya, Fani yang merupakan ibu dari tiga orang anak sempat menjadi dosen di salah universitas swasta.
“Saya sekarang buka praktik mandiri bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) melayani peserta BPJS,” ujarnya.
Selain melayani peserta BPJS, Fani juga melayani pasien umum di sekitar rumahnya. Dengan membuka praktik di rumah, kata Fani, dia dapat bekerja secara maksimal dalam melayani masyarakat sekitar.
“Bahkan, pas awal-awal pandemi saya buka 24 jam. Pasien datang jam berapa saja saya jabanin, ya karena hanya praktik di satu tempat," Fani menambahkan.
Selama masa pandemi Virus Corona, Fani cukup sering mendapatkan pasien suspek COVID-19 dan langsung dirujuk untuk melakukan swab test PCR. Namun, kunjungan pasien tercatat menurun selama kasus COVID-19 meningkat pesat. Alhasil, Fani jadi putar otak, dan akhirnya memaksimalkan layanan telemedicine.
Simak Video Berikut Ini:
Kerja Sama dengan Suami
Keberhasilan wanita kelahiran 23 September 1991 dalam membuka tempat praktik yang selama empat tahun menyandang status 'semi permanen' tidak lepas dari peran sang suami.
Fani, mengatakan, dia dan suami adalah tipe orang yang suka bekerja dengan gaya sendiri,“Mau kita cepat secepat apa, mau kita liburan suka-suka, jadi kita ya sudah buka sendiri, merintis berdua di rumah.”.
Sang suami sebetulnya tidak memiliki latar belakang ilmu kesehatan tapi dapat memegang urusan manajemen.
“Jadi, pada akhirnya kita saling mengisi. Dari sisi manajemen, suami, dan dari sisi klinis, saya,” kata Fani.
Sebelum membuka praktik, keduanya mendirikan komunitas Sadar Sehat pada 2015. Komunitas ini bertujuan mengedukasi masyarakat sekitar tentang pentingnya menjaga kesehatan.
Fani, menegaskan, banyak penyakit yang sebetulnya bisa dicegah. Namun, masyarakat cenderung mengabaikan gaya hidup sehat dan masih memiliki kebiasaan merokok.
Lewat Sadar Sehat, Fani dan suami menyerukan pentingnya menjaga kesehatan. Sampai pada akhirnya mereka dapat melatih kepekaan terkait masalah-masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat.
Advertisement
Suka Duka Jadi Dokter Keluarga
Ketika ditanya tentang suka duka menjadi Dokter Keluarga, Fani menjawab bahwa dia suka jika melihat orang tertolong dan sembuh. Sebelumnya, dia menjelaskan bahwa dokter keluarga dan dokter umum pada dasarnya sama.
“Kalau dukanya, saya lebih menganggap ini seni ya bukan duka. Seninya itu ketika kita berhadapan dengan masyarakat yang beragam. Kadang ada pasien yang bawel, ada yang to the point, ada yang pendidikan rendah,” kata Fani.
Dalam menghadapi berbagai karakter pasien, kemampuan penyesuaian komunikasi sangat diperlukan, katanya. Kesabaran juga perlu ditingkatkan agar kuat menghadapi setiap pasien yang datang.
Hal ini berkaitan pula dengan dua jenis pengobatan yang diberikan yaitu farmakologi atau dengan obat dan non-farmakologi atau pemberian informasi terkait penyakitnya.
“Bagi yang baru divonis misalnya kena kencing manis, kita itu harus menjelaskan lebih kurang hingga 30 menit untuk satu pasien supaya dia paham,” Fani menjelaskan.
Hal lainnya yang cukup menantang bagi Fani adalah sulitnya kerja sama antara pihak swasta dan pemerintahan seperti Puskesmas dan BPJS Kesehatan.
“Itu administrasinya kadang cukup membutuhkan sumber daya sehingga banyak pihak swasta yang enggan bekerja sama,” ujarnya.
Contoh, lanjutnya, jarang ada tempat praktik mandiri yang menyediakan layanan imunisasi karena persyaratan yang harus dipenuhi sangat rumit.
Infografis Kunci Hadapi COVID-19 dengan Iman, Aman dan Imun.
Advertisement