Liputan6.com, Jakarta - Sebuah studi baru menemukan gangguan mental Skizofrenia mungkin menjadi salah satu faktor risiko penyumbang kematian tertinggi akibat COVID-19, nomor dua setelah usia.
Studi sebelumnya menemukan risiko lebih tinggi pada orang dengan penyakit mental, terutama depresi dan skizofrenia, suatu kondisi yang menyebabkan distorsi dalam pemikiran dan persepsi, untuk terinfeksi SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19.
Baca Juga
Tetapi saat itu masih belum jelas apakah gangguan mental juga dikaitkan dengan risiko kematian akibat COVID-19.
Advertisement
Dalam studi baru ini, para peneliti melihat catatan kesehatan dari 260 klinik rawat jalan dan empat rumah sakit di seluruh New York City. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh catatan kesehatan elektronik New York University, dari 26.540 pasien yang diuji (setelah sebelumnya, sekitar 4.500 pasien dikeluarkan karena berbagai alasan), sebanyak 7.348 orang dewasa dinyatakan positif COVID-19 dalam selang waktu 3 Maret hingga 31 Mei.
Peneliti kemudian membagi pasien yang memiliki gangguan kejiwaan menjadi tiga kategori, spektrum skizofrenia, gangguan mood atau gangguan kecemasan, dan membandingkannya dengan pasien COVID-19 yang tidak didiagnosis dengan gangguan kejiwaan. Peneliti pun menyesuaikan temuan mereka untuk jenis kelamin, usia, ras dan faktor risiko COVID-19, seperti tekanan darah tinggi, diabetes, kondisi jantung, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit ginjal kronis, merokok dan kanker.
Ditemukan lebih dari 7.000 orang dewasa yang dites positif terkena virus korona selama waktu itu, 75 pasien memiliki riwayat skizofrenia; 564 memiliki riwayat gangguan mood; dan 360 memiliki riwayat gangguan kecemasan. Secara keseluruhan, 864 dari pasien COVID-19 meninggal atau dipulangkan ke rumah sakit dalam waktu 45 hari sejak didiagnosis.
Para peneliti tidak menemukan hubungan antara kecemasan atau gangguan mood dan kematian akibat COVID-19. Tetapi mereka menemukan bahwa orang dengan skizofrenia sekitar 2,7 kali lebih mungkin meninggal karena COVID-19 daripada orang tanpa gangguan mental, menjadikannya faktor risiko tertinggi kedua setelah usia.
"Sebagai perbandingan, pasien berusia antara 45 dan 54 tahun 3,9 kali lebih mungkin meninggal akibat COVID-19 daripada pasien yang lebih muda (dan risiko itu meningkat dua kali lipat setiap 10 tahun setelah usia 54 tahun), terlepas dari apakah mereka memiliki gangguan mental atau tidak. Penderita gagal jantung atau diabetes memiliki risiko masing-masing 1,65 kali dan 1,28 kali lebih tinggi untuk meninggal akibat COVID-19," tulis peneliti, seperti dikutip Livescience.
Â
Simak Video Berikut Ini:
Mengapa penyakit mental dikaitkan dengan risiko kematian akibat COVID-19?
"Keduanya sudah disangka-sangka tetapi masih saja mengejutkan," kata penulis senior Dr. Donald Goff, sekaligus seorang profesor psikiatri di NYU School of Medicine. Penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa penderita skizofrenia telah memperpendek usia harapan hidup rata-rata sebanyak 20 tahun; dan banyak yang meninggal lebih awal karena pneumonia dan penyakit virus, katanya.
Tetapi penurunan harapan hidup itu dianggap sebagian besar peneliti merupakan cerminan dari faktor risiko medis dan perilaku lainnya yang biasanya menyertai skizofrenia, termasuk obesitas, penyakit jantung, dan merokok. Dalam penelitian ini, penderita skizofrenia masih memiliki risiko kematian yang lebih tinggi, meskipun penulis telah menyesuaikan dengan kondisi tersebut.
"Sepertinya ada sesuatu tentang penyakit skizofrenia atau mungkin pengobatan yang menyebabkan mereka berada pada risiko kematian yang sangat tinggi," kata Goff, dikutip dari LiveScience. Misalnya, mungkin penyakit atau obat-obatan tersebut mengganggu sistem kekebalan, katanya. Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa orang dengan skizofrenia dapat mengubah respons imun dan variasi gen yang mengatur respons imun tubuh terhadap infeksi.
"Ini adalah studi yang sangat menarik, terutama yang berkaitan dengan peran sistem kekebalan," kata Dr. Norbert Müller, seorang profesor psikiatri di Ludwig Maximilian University di Munich, Jerman, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut. Beberapa psikiater berspekulasi bahwa skizofrenia dikaitkan dengan aktivasi sistem kekebalan dan molekul sinyal pro-inflamasi yang dikenal sebagai sitokin, katanya. Penyebab umum kematian COVID-19 adalah reaksi berlebihan dari sitokin tersebut, yang juga dikenal sebagai badai sitokin.
"Mekanisme seperti itu juga dapat berperan dalam skizofrenia dan skizofrenia menjadi jalur umum dan fatal dalam COVID-19," kata Muller. Tetapi gen yang menginstruksikan dan mengatur respon imun juga bisa berperan, tambahnya. Namun, penelitian tersebut dibatasi oleh rendahnya jumlah pasien skizofrenia, dan juga oleh kurangnya data tentang obat psikosis pasien (yang juga disebutkan oleh penulis), katanya.
Namun, perlu dicatat bahwa data ini hanya mencakup pasien yang memiliki akses ke pengobatan di sistem perawatan kesehatan NYU, dan dikumpulkan selama wabah puncak di New York City ketika sebagian besar orang yang berisiko tinggi dan bergejala sedang diuji.
"Saat itu tingkat (penularan) sangat tinggi, dan seluruh sistem hampir kewalahan dan perawatannya tidak seefektif perawatan sekarang," kata Goff. Sejak itu, "tingkat kematian absolut telah menurun secara keseluruhan, tetapi kami pikir ini terus berlanjut, kemungkinan besar benar bahwa orang dengan skizofrenia berada pada risiko yang lebih tinggi."
Goff dan timnya kini melakukan lebih banyak penelitian untuk mencari tahu apakah ada alasan biologis mengapa pasien skizofrenia memiliki risiko lebih tinggi. Namun untuk saat ini, "kami pikir penting untuk menyampaikan hal ini kepada orang-orang (khalayak umum)," kata Goff. Orang dengan skizofrenia harus termasuk di antara mereka yang "diprioritaskan untuk mendapatkan vaksin," tambahnya.
Penemuan ini dipublikasikan pada 27 Januari di jurnal JAMA Psychiatry .
Advertisement