Sukses

Thailand Legalkan Aborsi Trimester Awal Kehamilan Remaja

Namun, diberlakukan hukuman penjara bagi wanita di Thailand yang aborsi setelah lewat trimester awal

Liputan6.com, Bangkok - Thailand secara resmi melegalkan prosedur aborsi yang dilakukan pada trimester awal kehamilan. Meski begitu, hukuman penjara bagi yang wanita yang melakukan aborsi setelah lewat trimester awal masih diberlakukan.

Seperti dimuat Newsweek365 pada Sabtu, 30 Januari 2021, hasil voting anggota parlemen setempat pada Senin, 25 Januari 2021, yaitu 166 banding tujuh suara sehingga mengubah undang-undang yang sebelumnya memberlakukan hukuman penjara hingga tiga tahun bagi siapapun yang melakukan aborsi, dan lima tahun penjara bagi mereka yang menjadi tenaga penolongnya. Versi yang sekarang berlaku memungkinkan wanita manapun bisa mengakhiri kehamilan dalam 12 minggu pertama.

"Ini adalah awal yang baik tetapi masih belum cukup. Karena dalam versi yang sekarang berarti siapapun di Thailand yang melakukan aborsi setelah 12 minggu, kecuali dalam kondisi yang ditetapkan oleh Dewan Medis negara itu, masih menghadapi potensi denda dan hingga enam bulan penjara," ujar para advokat.

Dewan Medis mengatakan kehamilan dapat diakhiri setelah 12 minggu oleh seorang profesional yang berkualifikasi, itupun jika akibat dari serangan seksual atau menimbulkan ancaman bagi kesehatan fisik atau emosional ibu. Aborsi juga diperbolehkan jika janin diketahui memiliki kelainan.

Banyak wanita di Thailand menemukan cara untuk melakukan aborsi meskipun dengan undang-undang sebelumnya. Tetapi negara tersebut masih memiliki tingkat kehamilan remaja yang tinggi. Sekitar 1,5 juta bayi lahir dari ibu remaja di Thailand antara 2000 dan 2014, menurut angka pemerintah yang dianalisis oleh United Nations Population Fund (UNFPA) dan hampir 14 persen dari semua kehamilan pada 2016 terjadi di kalangan remaja.

 

Simak Video Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Kata Aktivis

Seorang aktivis Tamtang (sebuah kelompok advokasi aborsi di Thailand), Supecha Baotip, mengatakan ia khawatir aborsi yang tak terdata akan terus berlanjut. “Saya tidak ingin wanita dengan kehamilan lebih dari 12 minggu khawatir bahwa mereka tidak dapat menjalani prosedur dan karenanya tidak mencarinya secara legal,” katanya.

Supecha mengatakan, akan mengamati apakah Kementerian Kesehatan Thailand bisa memperluas layanan aborsi dini dan menekan dokter untuk mematuhi aturan baru tersebut.

“Rumah sakit mana pun bisa menyediakan layanan ini, tapi karena sikap dokter, mereka tidak melakukannya,” tambahnya.

Beberapa elemen budaya Thailand yang didominasi Buddha bersifat konservatif secara sosial. Namun Thailand juga memiliki kebijakan yang relatif progresif tentang masalah gender.

Wakil direktur sementara Divisi Hak-Hak Perempuan di Human Rights Watch, Heather Barr, minggu ini menulis bahwa undang-undang aborsi yang baru di Thailand adalah sebuah langkah maju, tetapi pembatasan jangka panjang masih menimbulkan risiko kesehatan. “Ketika pemerintah membatasi aborsi, (pada kenyataannya) perempuan masih melakukan aborsi, mereka justru melakukan aborsi yang lebih berbahaya,” tulisnya.

Barr mengatakan, undang-undang aborsi di Asia Tenggara masih tambal sulam, mulai dari pelarangan total hingga dekriminalisasi penuh. Namun ia mengatakan melihat kemajuan baik di Thailand maupun di Korea Selatan, yang pengadilannya memutuskan dua tahun lalu bahwa undang-undang anti-aborsi tidak konstitusional.

“Kami berharap kasus pengadilan ini akan membantu pemerintah lain di kawasan ini, dan seterusnya, untuk menyadari bahwa pembatasan pilihan melanggar hukum hak asasi manusia internasional, dan seringkali juga hukum domestik, dan harus direformasi,” kata Barr.

3 dari 3 halaman

[INFOGRAFIS] Sehat Sejak dalam Kandungan