Liputan6.com, Jakarta - Beberapa minggu lalu tersebar iklan kontroversial dari salah satu penyedia jasa pernikahan terkait promosi perkawinan anak atau pernikahan dini.
Promo penyedia jasa pernikahan tersebut mendapat tanggapan serius dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).
Baca Juga
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 menunjukkan angka rata-rata nasional kasus perkawinan anak adalah 10,82 persen. Sedang, pada 2019 sebanyak 22 provinsi memiliki proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum usia 18 dengan jumlah di atas rata-rata nasional.
Advertisement
Deputi Menteri PPPA Bidang Tumbuh Kembang Anak, Lenny N. Rosalin mengatakan bahwa perkawinan anak memiliki banyak dampak negatif. Dampak tersebut dapat meliputi berbagai aspek seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lainnya.
Dari sisi ekonomi, untuk menghidupi keluarga maka anak terpaksa harus bekerja. Hal ini dapat meningkatkan angka pekerja anak di Indonesia. Pada akhirnya, negara dapat dituduh melakukan atau mengesahkan pekerja anak yang melanggar konvensi anak internasional.
Padahal, anak-anak itu sendiri yang terpaksa harus bekerja menghidupi keluarganya karena pernikahan dini. Walaupun, anak-anak itu bekerja, tapi penghasilan atau upah yang didapat pasti rendah karena mereka hanya lulusan sekolah dasar (SD).
“Kemarin di iklan wedding itu, 12 tahun kawin, berarti kan lulus SD. Ya kalau lulus SD pasti upahnya rendah dan memunculkan kemiskinan baru. Kemiskinan ini yang dapat menjadi kemiskinan struktural seperti lingkaran setan,” ujar Lenny dalam seminar daring Kemen PPPA, ditulis Kamis (18/2/21).
Simak Video Berikut Ini
Dampak Pendidikan
Pernikahan dini juga dipastikan dapat memengaruhi kehidupan pendidikan anak dan kesehatan reproduksi ibu dan bayi yang dilahirkan.
“Yang pasti ini berdampak pada pendidikan, anak bisa putus sekolah.”
Selain putus sekolah, anak juga memiliki risiko gangguan kesehatan reproduksi. Menurut beberapa penelitian, 7 tahun setelah anak hamil maka ia sangat berisiko mengidap kanker serviks hingga kematian.
Sedang, bagi anak yang dilahirkan, risiko angka kematian bayi (AKB) tinggi. Jika bayi bertahan, maka risiko stuntingnya lebih tinggi ketimbang anak lain, kasus berat badan lebih ringan (BBLR) juga dapat ditemukan, kata Lenny.
Belum lagi dampak-dampak lainnya, lanjut Lenny, seperti munculnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan terhadap anak, gangguan kesehatan mental, pola asuh salah, identitas anak tidak terpenuhi seperti pembuatan akta kelahiran.
“Semua terenggut dari anak-anak kita karena perkawinan dini ini,” tutupnya.
Advertisement