Sukses

Kritik Epidemiolog UI soal Vaksin Gotong Royong: Prioritas Bukan Berdasarkan Pemulihan Ekonomi

Pandu Riono mengatakan, vaksinasi mandiri berpotensi menciptakan ketidakadilan, terutama bagi perusahaan yang bisa membeli vaksin COVID-19.

Liputan6.com, Jakarta - Vaksin Gotong Royong yang dilakukan pemerintah guna mempercepat vaksinasi COVID-19 di Indonesia tidak hanya memunculkan dukungan, tapi juga kritik. Salah satunya terkait kesetaraan vaksin.

Pandu Riono, epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia mengatakan, vaksinasi seharusnya didasarkan pada prioritas.

Dalam hal ini, yang ia maksud prioritas adalah diberikan dahulu untuk tenaga kesehatan, lansia, serta boleh dikombinasikan dengan wilayah di mana penularan penyakit tinggi.

"Prioritas itu berdasarkan pandemi, bukan berdasarkan pemulihan ekonomi," kata Pandu saat dihubungi Health Liputan6.com pada Minggu (28/2/2021).

Menurut Pandu, yang juga salah satu pembuat petisi daring menolak vaksinasi mandiri, vaksinasi COVID-19 harus tetap menjadi tanggung jawab pemerintah dan prioritasnya tidak berdasarkan pekerjaan.

"Kalau karyawan swasta, buruh swasta, itu ditangani oleh swasta, itu salah, (itu) tanggung jawab pemerintah. Kalau swasta ingin membantu, bantulah pemerintah," ujarnya.

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Simak Juga Video Menarik Berikut Ini

2 dari 5 halaman

Jangan Hanya Pikirkan Karyawan Saja

Pandu mengatakan, pihak swasta di sini tidak boleh memikirkan karyawan dan keluarganya saja.

"'Saya hanya mau beli vaksin untuk karyawan. Kalau saya beli vaksin untuk karyawan saya sudah membantu Indonesia', tidak. Itu malah menciptakan ketidakadilan, terutama yang bisa beli," kata Pandu.

"Kalau perusahaan yang tidak bisa beli, ya tanggung jawab pemerintah lagi," ia menambahkan. Pandu bahkan menyebut bahwa cara semacam ini "memotong antrean" kelompok yang harusnya diprioritaskan.

Pandu juga menyebut, dengan efikasi vaksin COVID-19 yang digunakan saat ini, target herd immunity 70 persen pun menjadi tidak mungkin dicapai.

"Jadi harus lebih dari 80 persen mungkin. Karena itu kan ada kekurangan stok vaksin, (swasta) bantu. Nanti dengan demikian karyawannya dapat dan juga rakyat Indonesia dapat. Ini harus memikirkan rakyat, jangan memikirkan karyawannya saja."

3 dari 5 halaman

Minta Vaksin Gotong Royong Dibatalkan

Dalam petisi daring di laman Change.org, Pandu, bersama Irma Handayani dan Sulfikar Amir mengatakan, apabila ingin melibatkan swasta, pemerintah dapat mengajak mereka membantu distribusi vaksin, bukan melakukan vaksinasi secara mandiri.

Hingga artikel ini ditulis, sebanyak 2.326 orang telah menandatangani petisi ini.

"Setiap rakyat Indonesia, baik yang bekerja atau tidak bekerja berhak mendapatkan vaksin yang disediakan oleh pemerintah," tulis petisi tersebut.

"Pihak swasta sebaiknya ikut membantu pemerintah agar semua rakyat mendapatkan haknya untuk divaksinasi sesuai prioritas yang sudah ditetapkan," lanjut mereka.

Dengan tegas, Pandu pun meminta agar pemerintah membatalkan program Vaksin Gotong Royong yang beberapa waktu telah diteken oleh Menteri Kesehatan tersebut.

"Batalkan," kata Pandu kepada Health Liputan6.com. "Diperbaiki."

4 dari 5 halaman

Vaksinasi Gotong Royong Tak Pakai Vaksin Pemerintah

Pemerintah sendiri melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) menerbitkan aturan terkait program Vaksin Gotong Royong.

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi mengatakan program Vaksin Gotong Royong tidak menggunakan jenis vaksin COVID-19 yang telah didapatkan oleh pemerintah.

Dalam sambutannya di acara vaksinasi petugas sektor pariwisata dan transportasi, serta peluncuran Grab Vaccine Center di Bali, Menkes menyebut ada empat vaksin corona dari pemerintah: Sinovac, AstraZeneca, Pfizer, dan Novavax.

Budi mengatakan bahwa alasan vaksin corona dalam program Vaksin Gotong Royong berbeda adalah agar tidak terjadi persaingan atau rebutan suplai.

"Sengaja dibuat mereknya tidak boleh sama, supaya tidak terjadi saingan, rebutan, suplainya," kata Budi, mengutip siaran dari Youtube Kementerian Kesehatan pada Minggu (28/2/2021).

"Jadi dipastikan ini adalah suplai tambahan dari sumber-sumber produsen vaksin dari seluruh dunia, di luar yang empat pemerintah sudah dapatkan," kata Budi.

Ia juga menegaskan bahwa bahwa vaksinasi COVID-19 tersebut bukan bertujuan untuk bisnis.

"Ini adalah kegiatan sosial, teman-teman swasta sangat paham," kata Budi melanjutkan. "Karena kalau kita bisa sukses, yang dapat manfaat kita semua."

5 dari 5 halaman

Infografis Kejahatan Vaksin Covid-19 Palsu di China