Liputan6.com, Jakarta - Setahun COVID-19 di Indonesia, tepat pada hari ini, 2 Maret, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menyoroti protokol 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, jaga jarak) masih sebatas kampanye. Dalam hal ini, sarana prasarana 3M belum didukung dengan baik di lapangan.
Hingga saat ini, menurut Ketua Terpilih IAKMI Dedi Supratman, Pemerintah hanya mengkampanyekan 3M, tanpa dukungan sarana dan prasarana untuk masyarakat.
Advertisement
"Saya melihat belum fokus terhadap upaya pencegahan. Pemerintah hanya mengkampanyekan 3M. Ya, protokol kesehatan bagus, tapi harus didukung dengan sarana dan prasarana," kata Dedi saat berbincang dengan Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, ditulis Selasa, 2 Maret 2021.
"Kalau pemerintah suruh cuci tangan, disiapkan atau enggak sarananya, mulai sabun dan alat kebersihan lain. Lalu disuruh gunakan desinfeksi, disiapkan enggak desinfeksinya di tempat-tempat umum, seperti masjid dan sebagainya."
Ketersediaan pendukung 3M dapat diarahkan agar masyarakat menjadi sadar dan terbiasa menerapkan 3M. Kesadaran masyarakat juga perlu dibangun, salah satunya penggunaan masker.Â
"Saya lihat (ketersediaan sarana pendukung 3M) masih abai. Nah, harusnya sudah mulai diarahkan ke sana. Misalnya, masker. Orang sekarang masih mikir, pakai masker kain seperti apa," lanjut Dedi.
"Kalau di tingkat keramaian tinggi, masih umpel-umpelan (desak-desakan) itu kan tetap harus menggunakan masker yang lebih baik, yakni masker medis."
Â
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Jaga Jarak Kurang, Butuh Pengawasan Mandiri Berbasis Masyarakat
Dalam hal jaga jarak, kata Dedi Supratman, masyarakat juga masih sulit melaksanakannya. Ia mencontohkan setiap kali salat jumat, yang mana jaga jarak diabaikan. Masyarakatlah yang sebenarnya perlu ikut mengawasi jalannya protokol 3M.
"Jaga jarak saat salat jumat, misalnya, sangat susah melaksanakan protokol kesehatannya. Ini yang masih kurang, terlebih lagi kalau tidak diawasi dengan baik dan mengandalkan petugas polisi, Satpol PP ya enggak bisa (berjalan baik)," ujarnya.
"Harus ada upaya pelayanan pengatur pengawasan mandiri berbasis masyarakat. Ini yang Saya lihat masyarakat belum melakukan secara serius, yakni upaya pengawasasn secara mandiri di lingkungannya."
Contoh pengawasan yang baik, seperti di DKI Jakarta dengan program demam berdarah dengue (DBD). Ketika ada kasus DBD di satu kelurahan yang tinggi kasus, maka daerah itu akan dikasih rapor merah. Upaya DBD ini perlu digali dalam hal partisipasi masyarakat.
"Pengawasan 3M yang Saya lihat belum optimal. Lagi pula masyarakat sudah cukup lelah mental. Ya, gimana enggak lelah, sudah setahun harus pakai makser. Selama COVID-19 belum berakhir kan mau enggak mau tetap harus menggunakan masker dan terapkan protokol kesehatan," pungkas Dedi.
"Pemerintah harus mendorong ketersediaan sabun, disinfektan, dan sebagainya. Itu mesti tersedia murah, mudah, dan terjangkau masyarakat serta tersedia di mana-mana. Kalau kita lihat sekarang, tempat cuci tangan rata-rata airnya kosong, sabunnya enggak ada padahal kan harus diurus dengan baik di masa pandemi saat ini."
Advertisement
Satgas COVID-19 Catat Tingkat Kepatuhan 3M Membaik
Perihal protokol 3M, Satuan Tugas Penanganan COVID-19 mencatat, kepatuhan terhadap protokol kesehatan terlihat mengalami perkembangan baik setelah penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali dan PPKM mikro.
Juru Bicara Satgas Nasional Wiku Adisasmito mengatakan, data per 21 Februari 2021, peta zonasi memperlihatkan tingkat kepatuhan di atas 60 persen.
"Kabupaten/kota yang sudah patuh memakai masker melebihi 75 persen (284 kabupaten/kota). Namun, masih ada 99 kabupaten/kota dengan kepatuhan dikisaran 61-75 persen. Bahkan 71 kabupaten/kota kurang dari 60 persen," kata Wiku di Media Center COVID-19, Graha BNPB, Jakarta, Kamis (25/2/2021).
"Lalu kepatuhan menjaga jarak dan menghindari kerumunan, didominasi kabupaten/kota dengan tingkat kepatuhan melebihi 75 persen, yaitu 275 kabupaten/kota. Meski begitu, masih ada kabupaten/kota dengan tingkat kepatuhan 61-75 persen (105 kabupaten/kota) serta 74 kabupaten/kota dengan tingkat kepatuhan di bawah 60 persen."
Jika menyandingkan peta zonasi kepatuhan protokol kesehatan dan perkembangan kasus positif COVID-19. Pada 3 minggu pertama penerapan PPKM, grafiknya terus meningkat. Namun, grafik menurun pada minggu PPKM mikro meskipun sedikit meningkat pada minggu kedua.
Hal ini sejalan dengan grafik kepatuhan memakai masker, yang mana grafik terlihat menurun sebelum PPKM hingga minggu keempat PPKM. Selanjutnya grafik, terus meningkat hingga saat ini atau minggu kedua PPKM mikro.
Grafik Kepatuhan 3M Meningkat Sejak PPKM Mikro
Pada grafik kepatuhan menjaga jarak dan menghindari kerumunan terlihat terus meningkat sejak PPKM hingga minggu kedua PPKM mikro, yang mana terus meningkat selama 4 minggu berturut-turut.
"Hal ini menunjukkan pada umumnya, ketika terjadi penurunan pada kepatuhan protokol kesehatan. Maka, penambahan kasus positif COVID-19 cenderung meningkat," terang Wiku Adisasmito.
"Jika semakin banyak yang tidak patuh, maka potensi penularan virus Corona semakin tinggi. Kemungkinan penambahan kasus positif juga semakin tinggi."
Wiku berpesan kepada masyarakat agar memperhatikan beberapa hal. Misal, kelompok usia produktif yang imunitasnya kuat dan masih beraktivitas di luar rumah. Walaupun sudah menerapkan protokol kesehatan yang ketat, maka setibanya di rumah harus segera berganti pakaian dan membersihkan diri.
Hindari langsung kontak dengan anggota keluarga kelompok usia rentan. Ini Karena potensi penularan masih tetap ada. Protokol kesehatan yang ketat tidak hanya dilakukan di luar rumah, melainkan ketika di lingkungan rumah.
"Dengan begitu, potensi penularan dapat ditekan dengan meminimalisir kemungkinan kita menjadi carrier atau pembawa virus bagi orang-orang di sekitar," pesan Wiku.
Advertisement