Liputan6.com, Jakarta - Satu dari empat orang di dunia atau hampir 2,5 miliar orang diprediksi akan hidup dengan gangguan pendengaran pada tingkat tertentu di 2050. Hal ini diungkap Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam World Report on Hearing pertama yang dirilis pada hari ini, Selasa, 2 Maret 2021.
Menurut laporan tersebut, sedikitnya 700 juta dari orang-orang dengan gangguan pendengaran itu akan membutuhkan akses perawatan pendengaran dan layanan rehabilitasi lainnya kecuali ada tindakan yang diambil.
Baca Juga
Dalam sebuah rilis, direktur Jenderal WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, kemampuan pendengaran sangatlah berharga. Gangguan pendengaran akan memengaruhi aktivitas sehari-hari bahkan kesehatan mental seseorang.
Advertisement
“Gangguan pendengaran yang tidak diobati dapat berdampak buruk pada kemampuan orang untuk berkomunikasi, belajar dan mencari nafkah. Itu juga dapat berdampak pada kesehatan mental orang dan kemampuan mereka untuk mempertahankan hubungan,” katanya.
"Laporan baru ini menguraikan skala masalah, tetapi juga menawarkan solusi dalam bentuk intervensi berbasis bukti,” tambah Tedros.
Ia mendorong semua negara untuk mengintegrasikan temuan dan solusi dalam laporan ini ke dalam sistem kesehatan tiap-tiap negara sebagai upaya menuju cakupan kesehatan universal. Laporan yang dirilis menjelang Hari Pendengaran Sedunia pada 3 Maret, menggarisbawahi kebutuhan untuk segera meningkatkan upaya pencegahan dan penanganan gangguan pendengaran dengan berinvestasi dan memperluas akses ke layanan perawatan telinga dan pendengaran.
WHO menyebut investasi dalam perawatan telinga dan pendengaran terbukti hemat biaya, Menurut WHO, pemerintah dapat mengharapkan pengembalian hampir 16 dollar US untuk setiap 1 dollar US yang diinvestasikan.
Simak juga video berikut
Kurang pengetahuan, minim kemampuan
Laporan ini menemukan kurangnya informasi yang akurat dan sikap stigmatisasi terhadap penderita penyakit telinga dan gangguan pendengaran seringkali membatasi orang untuk mengakses perawatan untuk kondisi ini.
Hal ini diperburuk dengan minimnya kemampuan penyedia layanan kesehatan untuk memberikan perawatan yang diperlukan. Banyak penyedia layanan kesehatan yang belum memiliki pengetahuan cukup tentang pencegahan, identifikasi awal, dan pengelolaan gangguan pendengaran dan penyakit telinga.
Di sebagian besar negara, mengakses layanan perawatan merupakan tantangan bagi mereka yang menderita penyakit telinga dan gangguan pendengaran. Banyak negara yang belum mengintegrasikan perawatan telinga dan pendengaran ke dalam sistem kesehatan nasional.
Kesenjangan yang paling mencolok dalam kapasitas sistem kesehatan ada pada sumber daya manusia. Namun, kesenjangan ini dapat ditutup melalui integrasi perawatan telinga dan pendengaran ke dalam perawatan kesehatan primer melalui strategi seperti pembagian tugas dan pelatihan.
Di antara negara-negara berpenghasilan rendah, sekitar 78 persen memiliki kurang dari satu spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) per satu juta penduduk dan 93% memiliki kurang dari satu audiolog per satu juta. Sementara itu, hanya 17 persen yang memiliki satu atau lebih ahli terapi wicara per satu juta dan 50% memiliki satu atau lebih guru untuk tuna rungu per sejuta.
Penulis: Abel Pramudya Nugrahadi
Advertisement