Liputan6.com, Jakarta Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan alasan Indonesia tak bisa secepat China atau negara lain dalam pengembangan vaksin COVID-19.
Dalam kegiatan Inovasi Indonesia untuk Indonesia Pulih Pasca Pandemi pada Selasa (2/3/2021), Menristek Bambang mengatakan hal ini harus dilihat dari asal muasal permasalahannya.
Baca Juga
"Kalau kita melihat bulan Desember mulai diketahui ada pandemi di Wuhan, bulan Juli Sinovac atau Sinopharm sudah mengeluarkan vaksin," kata Bambang seperti dikutip dari siaran virtual di Youtube Kemenristek/BRIN.
Advertisement
Dia mengatakan, kedua perusahaan tersebut membutuhkan hanya 8 bulan untuk sampai ke uji klinis. Menurutnya, ini berarti mereka sebelumnya telah memiliki bibit vaksin, virus yang sudah dimatikan, telah melakukan proses pembersihan, optimasi di pabrik, hingga akhirnya siap diuji klinis.
"Kenapa China bisa, kenapa kita tidak? Jawabannya adalah kita lihat background-nya," kata Bambang.
Menurut Bambang, jika berbicara mengenai vaksin, maka kunci suatu negara bisa menguasai vaksin, termasuk bisa menghasilkan vaksin dengan cepat, adalah kuatnya Research and Development (RnD) atau penelitian dan pengembangan.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Penelitian dan Pengembangan Terintegrasi Manufaktur
Bambang mengungkapkan, RnD yang ada di negara-negara penghasil vaksin dengan cepat tersebut, terintegrasi dengan industri manufakturnya.
"Justru yang bapak ibu kenal: Sinovac, Pfizer, AstraZeneca, Johnson and Johnson, itu semua manufacturer-nya. Mungkin bapak ibu tidak terlalu melihat siapa yang melakukan RnD-nya," ujarnya.
Bambang mengatakan, perusahaan-perusahaan tersebut memiliki penelitian dan pengembangannya sendiri.
"Jadi kalau pabrik menjadi satu dengan RnD, itu yang paling ideal. Kalau bicara untuk pengembangan vaksin. Karena dari awal manufacturing-nya sudah tahu, bahwa RnD-nya harus diarahkan sesuai dengan kapasitas dari manufacturing-nya."
"Kalau RnD-nya mulai duluan atau mulai sendiri, manufacturing-nya kemudian mencoba menyesuaikan di tengah atau di akhir, itu yang, mohon maaf, terjadi dengan kita. Karena memang belum ada pengalaman," ujarnya.
Maka dari itu, pandemi COVID-19 merupakan pelajaran bahwa pengembangan vaksin harus dilakukan secara mandiri dari hulu hingga hilir.
"Hilirnya mungkin kita merasa sudah punya Bio Farma, tapi hulunya kita masih harus belajar banyak, mengenai RnD vaksin, khususnya memahami berbagai macam platform yang ada dalam pengembangan vaksin," pungkas Bambang.
Selain itu, peralihan vaksin dari laboratorium ke pabrik juga harus menjadi proses yang harus dipelajari, dan membutuhkan pengalaman. "Tidak bisa ujug-ujug begitu dapat bibit vaksin, langsung kirim ke pabrik, langsung jadi."
Advertisement