Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan bahwa jumlah temuan kasus tuberkulosis (TB) di Indonesia mengalami penurunan di tahun 2020. Hal ini juga sebagai dampak dari pandemi COVID-19.
Siti Nadia Tarmizi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes mengatakan kasus tuberkulosis biasa di Indonesia diperkirakan mencapai 845 ribu, dengan estimasi TB resisten obat mencapai 24 ribu.
Baca Juga
"Di situasi pandemi, kita melihat capaian di tahun 2020, dari 845 ribu kasus yang kita temukan, tapi ternyata hanya 350 ribu atau 349 ribu kasus TBC yang kita temukan," kata Nadia.
Advertisement
Sementara untuk kasus TB resisten obat Kemenkes hanya menemukan 8.060 kasus dari perkiraan 24 ribu. Selain itu kasus TB anak juga masih ditemukan dan kasus TB-HIV ditemukan sebanyak sekitar 8 ribu.
"Kalau melihat jumlah kematian dilaporkan selama tahun 2020 ada 12.800 kasus kematian selama pengobatan tuberkulosis," kata Nadia dalam temu media virtual terkait Hari Tuberkulosis Sedunia pada Selasa (23/3/2021).
Simak Juga Video Menarik Berikut Ini
Kasus Dikhawatirkan Meningkat di 2021 dan 2022
Nadia menyebutkan, insiden tuberkulosis di 2019 sesungguhnya ada di angka 316 per 100 ribu penduduk. Sementara menurut Global TB Report tahun 2020, angkanya berada di 312 per 100 ribu penduduk.
"Ini yang mungkin menjadi tantangan karena pada tahun 2020 kita hanya menemukan kurang lebih 30 persen dari kasus. Artinya jangan-jangan insiden kita di tahun 2021 atau 2022 kembali meningkat," ujarnya.
"Di tahun 2018 dan 2019 itu sudah 60 persen kasus estimasi yang ditemukan. Tetapi ternyata di 2020 malah kebalikannya, hanya 30 persen kasus yang ditemukan, yang bisa kita laporkan," Nadia menjelaskan.
Menurut Nadia laporan ini menjadi alarm agar di tahun 2021, Indonesia bisa segera mengembalikan jumlah temuan kasus sesuai estimasi.
Nadia mengatakan, biasanya penelusuran kontak TB dilakukan ke 10 hingga 15 orang di sekitar pasien. Namun pandemi COVID-19 membuat kegiatan ini menjadi terhambat.
"Tentunya selain dengan diawal pandemi ada penerapan PSBB, dilanjutkan PPKM, dan tentunya upaya melakukan investigasi kontak ini harus betul-betul dilakukan seiring dengan penerapan protokol kesehatan," kata Nadia.
Tantangan lain adalah tingginya drop-out pengobatan akibat tertundanya pengambilan obat, diagnosa yang terlambat akibat tertundanya pengiriman sputum (dahak) atau penggunaan TCM untuk COVID-19, tugas ganda petugas, serta pengalihan anggaran TB untuk COVID-19.
"Kalau tidak segera kita kembalikan pada jalur yang sudah menjadi rencana awal kita, akan malah menambah jumlah kasus, menambah beban kasus, meningkatkan penularan yang terjadi di masyarakat, dan tentunya meningkatkan angka kematian."
Advertisement