Liputan6.com, Jakarta - Para ilmuwan mengembangkan vaksin COVID-19 lebih cepat daripada vaksin lain. Ada beberapa alasan yang membuat pengembangannya lebih cepat, tetapi tidak mengurangi profil keamanan vaksin.
Salah satu alasan cepatnya pengembangan vaksin COVID-19 adalah para ilmuwan tidak memulai dari awal. Dilansir dari Medical News Today, meskipun virus SARS-CoV-2 tergolong baru dalam sains, para peneliti telah mempelajari virus Corona selama beberapa dekade.
Baca Juga
Manfaat Kunyit untuk Mengobati Apa Saja? Ini 5 Keajaiban Kesehatannya yang Tak Terduga!
Dicoret Ruben Amorim dari Skuad Manchester United, Alejandro Garnacho Menangi FIFA Puskas Award 2024
Gelar Ratu Kecantikan Lady Aurellia yang Terseret Skandal Kasus Dugaan Penganiaan Dokter Koas Diolok-olok Warganet
Selain itu, karena COVID-19 telah menyebar ke seluruh benua dan menjadi pandemi, proses pengembangan vaksin pun melibatkan kolaborasi dunia yang belum pernah terjadi sebelumnya.Â
Advertisement
Faktor lain adalah banyaknya relawan yang terlibat dalam pengembangan vaksin. Peneliti juga menjalankan beberapa pengujian secara bersamaan yang memangkas banyak waktu.
Faktor-faktor ini dan lebih banyak lagi berarti bahwa vaksin dapat dikembangkan dengan cepat tanpa mengorbankan keamanan.
Simak Juga Video Berikut
Tetap Aman Digunakan
Virolog dan dosen Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung Aluicia Anita Artarini mengungkapkan bahwa dalam pengembangan vaksin COVID-19 banyak menggunakan teknologi baru, tetapi kalau vaksin itu tidak aman tidak akan diizinkan beredar.Â
“Jadi, banyak yang menjalani uji klinis. Uji klinis itu pertama yang dijalani bukan mengetahui efeknya tapi adalah aman atau tidak," kata Anita dalam diskusi terbatas secara virtual pada Senin (29/3/2021).
Anita menambahkan setelah terbukti aman baru dilakukan pengujian untuk melihat efeknya. Ia juga mengimbau masyarakat untuk ikut divaksin demi menghentikan laju pandemi COVID-19.
Di samping itu, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun menunjukkan, antara 2010 dan 2015, vaksin telah mencegah sedikitnya 10 juta kematian akibat penyakit.
Â
Penulis: Abel Pramudya Nugrahadi
Advertisement