Sukses

Cerita Doni Monardo Suarakan Bahaya Merkuri, Tertarik Trembesi hingga Terinspirasi Filsuf Tiongkok

Cerita Doni Monardo pernah suarakan bahaya merkuri, tertarik pohon trembesi hingga terinspirasi filsuf Tiongkok.

Liputan6.com, Jakarta Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo rupanya pernah menyuarakan bahaya merkuri yang bisa merenggut kesehatan manusia. Bahaya merkuri mengakibatkan gangguan otak dan mental, tremor, radang dan pembengkakan gusi.

Ketika makanan yang mengandung merkuri masuk ke tubuh, seseorang bisa mengalami gangguan perut dan ginjal serta perkembangan otak janin pada wanita hamil. Merkuri juga mengakibatkan bengkak, kebas, kesemutan pada tangan dan kaki, serta bisa kulit tubuh terkelupas.

Cerita bermula saat Doni diminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Siti Nurbaya mengatasi kerusakan lingkungan akibat penambangan emas liar di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku. Ia pun langsung meminta anggotanya mengambil sampel ikan dan biota laut di sekitar pulau tersebut. 

“Sesaat sebelum berangkat ke Maluku untuk menjadi Pangdam XVI/Pattimura, saya dipesan oleh Menteri LHK, Ibu Siti Nurbaya agar bisa membantu mengatasi kerusakan lingkungan akibat penambangan emas liar di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku,” tutur Doni sebagaimana termaktub dalam naskah orasi ilmiah usai dirinya dianugerahi gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) University, ditulis Mimggu, 4 April 2021.

“Langkah-langkah yang Saya lakukan adalah meminta tim Kesdam XVI/Pattimura di bawah pimpinan Kolonel Agus untuk mengambil sampel ikan dan biota laut di Teluk Kayaeli, Pulau Buru. Hasilnya, beberapa sampel ditemukan kadar merkuri dan sianida yang melebihi ambang batas.

Selain sampel ikan dan biota laut, Doni Monardo juga minta dilakukan pemeriksaan darah terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Botak. Hasil pemeriksaan cukup mengejutkan, kadar merkuri dalam darah dialami sebagian besar masyarakat.

“Saya juga meminta dilakukan pemeriksaan darah terhadap warga di sekitar Gunung Botak dan di lokasi pengolahan tambang merkuri di Negeri Lha dan Negeri Luhu, Seram bagian barat. Hasilnya, sebagian besar penduduk yang diambil darahnya juga memiliki kadar merkuri melebihi ambang batas,” lanjutnya.

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:

2 dari 7 halaman

Akibat Merkuri, Ternak Mati dan Indonesia Ratifikasi Konvensi Minamata

Selama upaya mengatasi kerusakan lingkungan dan pengolahan tambah merkuri, Doni Monardo menemukan, sejumlah ternak mati di sekitar Gunung Botak, seperti kambing, kerbau, dan sapi. Bahkan hewan peliharaan, salah satunya anjing ikut mati.

Ada juga laporan temuan buaya mati di sungai dan pantai. “Saya juga mendapatkan laporan bahwa lebih dari 2.500 orang meninggal akibat longsor dan pertikaian selama periode 2010-2015,” kata Doni, yang menerima gelar Honoris Causa dari IPB pada 27 Maret 2021.

“Sampai akhirnya Gunung Botak berhasil ditutup pada tanggal 14 November 2015 berkat kerjasama tim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pemerintah daerah, polda, dan masyarakat, serta media.”

Laporan bahaya merkuri, Doni sampaikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahwa dampak tersebut akan mengganggu kesehatan masyarakat di sekitar Gunung Botak dan pengolahan tambah merkuri dalam jangka panjang.

“Saya juga melaporkan kepada Presiden Jokowi tentang bahaya merkuri bila dibiarkan. Sebab limbah merkuri bermuara ke laut. Ikan dan biota laut lainnya akan tercemar dan tentunya berbahaya buat mereka yang mengonsumsinya,” ujarnya.

Pada Agustus 2017, atas permintaan Menteri LHK dan atas izin Panglima TNI, Doni Monardo diundang mengikuti rapat bersama Komisi VII DPR RI, yang membahas Rancangan Undang-undang (RUU) pengesahan Minamata Convention on Mercury. 

Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut menandatangani Konvensi Minamata pada 10 Oktober 2013 di Jepang dengan 128 negara lainnya. Hanya saja, saat itu Indonesia belum meratifikasinya.

“Saya hadir sebagai satu-satunya perwira militer aktif dan memberikan masukan dengan menyampaikan hasil penelitian yang kami lakukan serta dampak penggunaan merkuri terhadap masyarakat,” kenang Doni.

“Akhirnya, pada tanggal 13 September 2017, Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Minamata melalui UU Nomor 11 tahun 2017 Tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury."

3 dari 7 halaman

Doni Monardo Tertarik dengan Trembesi

Selain menyuarakan bahaya merkuri, Doni Monardo mengungkapkan, dirinya tertarik dengan pohon trembesi. Ketika bertugas di Paspampres mulai tahun 2001 dari era kepemimpinan Presiden Gus Dur, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono, ia banyak berkunjung ke berbagai daerah. 

“Saya amati, di sekitar bangunan pemerintah peninggalan Belanda, setidaknya ada tiga jenis pohon, yaitu trembesi, asam, dan beringin. Diperkuat dengan hasil penelitian Dr. Endes N. Dahlan, Dosen Fakultas Kehutanan IPB, yang mengatakan, pohon trembesi adalah penyerap polutan terbaik,” kata Doni yang membacakan naskah orasi ilmiah di hadapan rektor IPB juga tamu undangan.

“Satu pohon trembesi yang lebar kanopinya telah mencapai 15 m, mampu menyerap polutan atau gas CO2 sebanyak 28,5 ton per tahun. Pohon ini termasuk jenis tanaman die hard. Dapat tumbuh di tempat yang tandus, lembab atau basah.”

Di daerah tropis, pohon trembesi tumbuh hingga ketinggian 600 meter di atas permukaan laut. Oleh karena itu, sangat cocok untuk penghijauan kota. Tak hanya trembesi, Doni juga membudidayakan pohon endemik langka Indonesia lainnya, seperti ulin, eboni, torem, palaka, rao, cendana, dan pule yang sudah sulit ditemukan.

“Pohon palaka saya jumpai di Maluku. Usia pohonnya diperkirakan 400 tahun, dengan keliling banir sekitar 30 rentang tangan orang dewasa, dan ketinggiannya mencapai 40 meter. Demikian juga pule yang saya temukan di Markas Lantamal Ambon,” ujarnya.

“Diameter batangnya lebih dari 3 meter, dengan ketinggian sekitar 30 meter. Pohon ini mungkin menjadi salah satu saksi sejarah kejadian gempa dan tsunami yang melanda Ambon pada tahun 1674 sesuai dengan tulisan Rumphius--ahli botani asal Jerman.”

Berkat pengetahuan tentang tanaman, Doni terbantu tatkala kini ditugaskan sebagai Kepala BNPB. Untuk mitigasi daerah longsor dengan kemiringan lereng di atas 30 derajat, jenis pohon berakar kuat, misal sukun, aren, alpukat, dan kopi dapat ditanam.

Untuk lahan rawan longsor dengan kemiringan yang lebih curam, bisa ditanam vetiver atau akar wangi. Menghindari kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan bisa tanam pohon laban, sagu, dan aren. Sementara itu, mereduksi dampak tsunami, pohon palaka, beringin, butun, nyamplung, bakau, waru, jabon, ketapang dan cemara udang yang memiliki akar kuat ditanam.

4 dari 7 halaman

Doni Monardo Berkomitmen Lestarikan Tanaman

Pengalaman bertahun-tahun berlatih di hutan dan penugasan operasi militer di beberapa daerah membuat Doni Monardo mengenali banyak jenis tanaman. Sejak saat itu, ia berkomitmen menanam, merawat dan melestarikan tanaman di mana pun berada.

Beberapa upaya Doni, yakni menanam pohon di Asrama Brigif Para Raider III/Tri Budi Sakti Kostrad yang tandus, di Kariango, Sulawesi Selatan, yang merupakan sumbangan dari mendiang Andi Tendri Onigapa, pimpinan Panin Peduli Makassar. Kemudian pembibitan trembesi, serta menanamnya di berbagai lokasi di Sulawesi Selatan, termasuk di Lapangan Karebosi dan Bandara Sultan Hasanuddin. 

Doni juga berkomitmen mencanangkan slogan yang terpampang di kebun Bibit Brigif Para Raider III/Tri Budi Sakti Kostrad Kariango pada tahun 2008, Dari Kariango Ikut Hijaukan Indonesia.

“Setelah pindah ke Paspampres di Jakarta, komitmen itu saya buktikan dengan membuat kebun bibit trembesi di Cikeas akhir November 2008, dan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 2009, bibit trembesi dibagikan di Istana Merdeka,” Doni menambahkan.

“Tahun 2010, saya mengembangkan kebun bibit di Rancamaya. Ada 100.000 bibit trembesi ditanam di wilayah Bogor, Cianjur dan Sukabumi, dan DKI Jakarta termasuk di sepanjang Kota Kudus, Jawa Tengah. Kemudian 100.000 bibit Sengon dibagikan gratis kepada masyarakat termasuk warga terdampak erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah.”

Pada 2011, Doni mendirikan Paguyuban Budiasi di Sentul di lahan pinjaman milik mendiang Ketut Masagung.  Budiasi kependekan dari Budidaya Trembesi, nama pemberian Bapak SBY, Presiden Republik Indonesia saat itu. Sampai hari ini, Paguyuban Budiasi telah memproduksi lebih dari 20 juta pohon, terdiri dari 150 jenis pohon, yang dibagikan ke berbagai daerah juga Timor Leste.

Beberapa pejabat tinggi negara dan kepala daerah sempat berkunjung ke kebun bibit Budiasi. Bahkan Jokowi yang menjabat Gubernur DKI Jakarta pada Januari 2014 pernah datang berkunjung. Selanjutnya, tahun 2017, ketika Presiden Jokowi berkunjung ke Maluku sempat menyinggung soal kebun bibit. 

“Saya jelaskan bahwa kebun bibit masih ada dan sudah berkembang. Beliau juga meminta saya membuatnya di Maluku,” imbuh Doni.

5 dari 7 halaman

Doni Monardo Terinspirasi Filsuf Tiongkok

Dalam menjalankan tugas sehari-hari, Doni Monardo terinspirasi oleh Lao Tse, seorang filsuf Tiongkok yang hidup semasa era Sun Tzu 500 tahun Sebelum Masehi. Salah satu kutipan yang diingat Doni, yaitu:

Temuilah rakyatmu. Hiduplah dan tinggalah bersama mereka. Berkaryalah dengan mereka. Mulailah dari apa yang mereka miliki. Sampai akhirnya mereka akan berkata 'kami telah mengerjakannya.

Kutipan tersebut diterapkan Doni saat menangani persoalan Sungai Citarum kala menjabat Pangdam III/Siliwangi. Usai dilantik jadi Pangdam III/Siliwangi pada 16 November 2017, ia menerima banyak laporan tentang Citarum sebagai sungai terkotor di dunia.

Pertama kali memberikan pengarahan kepada staf di Makodam III/Siliwangi, Doni sampaikan tentang nama besar “Siliwangi” di berbagai palagan penugasan, baik di dalam maupun luar negeri. Sayang, jika nama besar itu hilang karena kita saat ini tidak peduli atas persoalan yang ada di depan mata, yaitu Citarum.

“Selaras dengan ciri prajurit Siliwangi yang dekat dengan rakyat. Ada istilah Pastur atau Tepas Batur. Istilah ini menjadi modal saya menyampaikan kepada prajurit, kalau kita mau benahi Citarum, maka yang pertama dilakukan adalah mendekati masyarakat untuk mengubah perilaku,” Doni menuturkan.

“Sehingga para prajurit menginap dan tinggal di rumah-rumah penduduk. Kembalikan budaya luhur urang Sunda yang peduli sumber air. Air sumber kehidupan, sungai adalah peradaban bangsa. Bagaimana kita bisa dianggap sebagai bangsa yang beradab, ketika mata air kita musnahkan dan sungai kita cemari.”

Program Citarum Harum akhirnya dilahirkan Doni untuk menyehatkan sungai tersebut. Strategi diawali dengan pemeriksaan sampel air yang dipimpin oleh Kakesdam III Siliwangi, Kolonel Is Priyadi. Air Citarum mengandung logam berat, seperti timbal, kadmium, serta bakteri Salmonella, E Coli, dan Pseudomonas Aeruginosa

Sebanyak 20 orang kolonel mendata permasalahan dari hulu hingga hilir Citarum, sekaligus meminta masukan dari masyarakat bagaimana solusinya.

6 dari 7 halaman

Citarum Harum, Ikan Lokal Muncul di Jatiluhur

Nama Citarum Harum dan strategi penanganan, Doni Monardo usulkan kepada Gubernur Jawa Barat pada waktu itu, Ahmad Heryawan (Aher) dalam perjalanan dari pendopo gubernur menuju Waduk Jatigede pada 28 November 2017.

“Saya juga melaporkan kepada Presiden Jokowi tentang Citarum pada 4 Desember 2017. Presiden bertanya, “Apa yang dibutuhkan?” Saya menjawab perlunya, payung hukum agar TNI bisa tetap ikut membantu memulihkan Citarum,” ujarnya.

“Akhirnya, konsep regulasi yang dimotori oleh Dr. Dini Dewi yang didukung penuh oleh tim hukum Sekretariat Negara terbit melalui Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018, tanggal 15 Maret 2018, kurang dari sebulan setelah Presiden Jokowi mendeklarasikan program Citarum Harum pada tanggal 22 Februari 2018 di Situ Cisanti, salah satu mata air purba di Jabar.”

Doni juga bercerita, sempat bertemu dengan Presiden RI ke-5 Megawati sebelum menerima penghargaan Doktor Honoris Causa di STPDN. Ia melaporkan tentang pemulihan Citarum. Arahan dari Megawati tentang pentingnya pendekatan budaya dalam menyelesaikan masalah lingkungan.

“Berkat kolaborasi para pihak inilah, kualitas air Citarum terus membaik. Bahkan laporan Harian Kompas menyebutkan bahwa ikan-ikan lokal yang sempat hilang, mulai muncul di Jatiluhur,” katanya.

Untuk memotivasi prajurit Siliwangi yang berupaya memulihkan Citarum, Doni menyentil, salah satu 8 Wajib TNI, memuat isi, Menjadi contoh dan mempelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya

“Saya katakan, bahwa pada seragam yang dikenakan prajurit Siliwangi, ada simbol Harimau atau Maung. Jangan sampai karena kita tidak berbuat sesuatu, Maung Siliwangi berubah menjadi Meong Siliwangi,” tegasnya.

“Inilah yang membuat prajurit terbakar dan mendidih darahnya untuk bisa memberikan darma bakti terbaik rangka membantu masyarakat di Jawa Barat.”

Kodam III Siliwangi bersama tim Kemenko Marves dan Pemprov Jawa Barat, serta Polda Jabar di bawah bimbingan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan berkumpul menghimpun masukan-masukan dari segenap komponen masyarakat, tokoh agama, budayawan, relawan, pegiat lingkungan, dan media. Tiada hari libur memikirkan strategi menuntaskan masalah kerusakan ekosistem Citarum.

7 dari 7 halaman

Infografis Ancaman dan Bahaya Letusan Gunung Semeru