Sukses

Dianggap Biasa padahal Mematikan, Ini Tantangan Penanganan Malaria di Indonesia

Malaria dianggap penyakit yang biasa bagi sebagian masyarakat. Padahal, penyakit ini bisa mematikan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam penanganan malaria di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Malaria dianggap penyakit yang biasa bagi sebagian masyarakat. Padahal, penyakit ini bisa mematikan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam penanganan malaria di Indonesia.

“Menjadi tantangan kita bersama terutama di daerah endemis, masyarakat itu masih menganggap bahwa malaria itu penyakit yang biasa,” ungkap Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik (P2PTVZ) Kementerian Kesehatan Dr. drh. Didik Budijanto, M.Kes dalam konferensi pers virtual Hari Malaria Sedunia 2021, ditulis Sabtu (24/4/2021).

“Jadi memang sepertinya sudah terbiasa hidup dengan malaria sehingga perlu diberikan informasi kepada masyarakat. Meskipun malaria bisa dicegah, tetapi kalau tidak diobati dapat menyebabkan kematian,” tambah Didik.

Didik menyebut, pencegahan jauh lebih bagus dilakukan antara lain dengan meningkatkan penemuan kasus, salah satunya dengan melakukan pemeriksaan darah secara massal. Selain itu, dapat dilakukan pengendalian vektor dengan mengurangi tempat pembiakan nyamuk atau menyemprot rumah.

Simak Juga Video Berikut

2 dari 3 halaman

Pentingnya Tata kelola Kasus Malaria

Tata kelola kasus sebagai bagian dari penanganan malaria tak kalah penting. Didik menerangkan, dalam menangani pasien malaria, pengobatannya menggunakan standar artemisinin based combination therapy (ACT) dan dilengkapi dengan primakuin. Namun, untuk malaria yang berat menggunakan artesunate injeksi.

“Untuk pengobatan tetap kita lakukan sesuai standar dan itu kita evaluasi, kita monitor,” kata Didik.

Ia menambahkan, ketersediaan obat malaria di tengah pandemi ini masih cukup. Pemantauan obat di lapangan termonitor dalam Aplikasi Sistem Informasi Surveilance Malaria atau disebut e-sismal. 

“Dalam e-sismal ini kebutuhan obat di lapangan itu bisa kita monitor, sehingga ketika stok obat di lapangan menipis dan teman-teman di lapangan bersurat, maka kita segera kirim untuk persediaan temen-temen di lapangan,” jelas Didik.

Didik juga menyampaikan bahwa peningkatan kemampuan tenaga kesehatan juga penting, terkhusus pada pemeriksaan laboratorium mikroskopis. Pasalnya, baik malaria, demam berdarah, maupun COVID memiliki gejala yang sama, yaitu demam, sehingga perlu pemeriksaan diagnosis dini yang lebih tepat.

“Oleh karena itu, tenaga laboratorium mikroskopis ini sangat menentukan, demamnya ini apakah dia malaria, apakah dia DBD,” ujarnya.

 

Penulis: Abel Pramudya Nugrahadi

3 dari 3 halaman

Infografis Beda DBD dan Malaria