Sukses

Epidemiolog: Sel Dendritik Tidak Cocok untuk Mengatasi Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 bersifat massal sedangkan sel dendritik yang digunakan Vaksin Nusantara bersifat individu.

Liputan6.com, Jakarta Teknologi sel dendritik yang digunakan dalam pembuatan Vaksin Nusantara gagasan Terawan Agus Putranto disebut tidak cocok untuk mengatasi pandemi COVID-19.

Sebab, pengembangan sel dendritik bersifat individu, sedangkan pandemi COVID-19 yang diakibatkan penularan Virus Corona bersifat massal.

Penjelasan tersebut disampaikan Ahli Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono dalam sebuah diskusi daring pada Sabtu, 1 Mei 2021.

Menurut Pandu, sel dendritik lebih cocok digunakan untuk terapi penyakit tertentu, seperti kanker dengan kategori berat.

"Itu juga masih banyak percobaan, seperti sel kanker yang bersar itu yang jadi makanan sel-selnya. Tidak semua kanker bisa diatasi dengan cara itu," kata Pandu.

Hal senada pernah diungkap Ahli Virologi Universitas Udayana Bali, I Gusti Ngurah Kade Mahardika, yang menyebut bahwa sel dendritik tidak layak digunakan untuk mengatasi pandemi COVID-19.

"Teknologi ini memang hanya untuk misalnya tumor, kanker, mungkin gejala tertentu bisa dikembangkan. Tapi, sekali lagi, tidak bisa dikembangkan untuk massal," katanya.

Kade Mahardika, menyebut, ada dua hal yang menyebabkan sel dendritik tidak bisa digunakan untuk mengatasi pandemi. Pertama, karena sel dendritik dikembangkan secara individual.

Kedua, penggunaan sel dendritik untuk massal membutuhkan waktu lama sehingga akan memakan banyak biaya.

"Untuk sekarang ini yang kita perlukan adalah vaksin yang bisa diberikan secara massal. Tidak bisa vaksin yang diberikan secara individual karena kalau secara individual biayanya akan sangat besar sekali," ujarnya.

 

Simak Video Berikut Ini

2 dari 3 halaman

Cerita Soal Vaksin Nusantara

Lebih lanjut Pandu mengatakan bahwa uji klinik fase I pengembangan sel dendritik untuk Vaksin Nusantara belum memenuhi standar Good Manufacturing Practice (GMP).

Pandu pun menceritakan awal mula munculnya ide pengembangan sel dendritik untuk mengatasi COVID-19. Dia menyebut bahwa ide tersebut dibawa Taruna Ikrar, dokter dan ilmuwan Indonesia yang pernah bekerja di Aivita Biomedical Inc.

"Waktu itu dokter Ikrar membantu Terawan selama menjadi Direktur RSPAD. Sehingga waktu dia mendapat pesan dari Aivita, mungkin waktu itu dia magang di Aivita atau kenal sama dokter Hans kemudian dibawa ke Terawan sehingga Terawan tertarik mengembangkan itu," kata Pandu.

Setelah mendapatkan ide dari Taruna Ikrar, lanjut Pandu, mantan orang nomor satu di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia periode 2019 hingga 2020 membuat proposal pengembangan sel dendritik untuk COVID-19.

Menurut Pandu, selama perencanaan pengembangan sel dendritik dilakukan, Terawan tidak pernah membangun komunikasi dengan Kemenristek BRIN maupun konsorsium vaksin COVID-19 Merah Putih.

"Tapi dia diam-diam saja melakukan karena dia ingin, nggak tahu motivasinya apa," ujar nya.

 

3 dari 3 halaman

Proposal Pengembangan Vaksin Nusantara Sempat Ditolak?

Menurut Pandu, Terawan sempat mengajukan proposal pengembangan sel dendritik ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan. Namun, proposal tersebut ditolak Balitbangkes karena tidak sesuai dengan standar Good Manufacturing Practice.

"Proposal itu ditolak Komite Etik Balitbangkes sehingga Ketua Balitbangkesnya satu organisasi dibekukan karena berani menolak perintah dari Pak Menteri (Terawan). Akhirnya, Komite Etiknya dialihkan ke RSPAD," Pandu menjelaskan.

Pandu menyebut bahwa semula ada tiga universitas di Indonesia yang bersedia bekerja sama dalam pengembangan sel dendritik untuk COVID-19. Namun, belakangan hanya Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. Kariadi, Semarang, yang melakukan penelitian tersebut.

Sementara itu, lanjut Pandu, pengembangan sel dendritik untuk COVID-19 tidak dilakukan oleh tim peneliti dari RSUP dr. Kariadi. Melainkan dilakukan sepenuhnya oleh tim peneliti dari Aivita Biomedical Inc.

"Jadi, ada sembilan orang dari Aivita datang ke Indonesia bekerja di RS Kariadi, saya punya daftar namanya dan foto-fotonya ada. Memang betul mereka bekerja di sana dan ini yang menggagalkan upaya sebagai nama vaksin karya anak bangsa. Kalau pakai karya anak bangsa itu semuanya menjadi batal, bisa dinegasikan," katanya.

Penulis : Titin Supriatin / News Liputan6.com