Liputan6.com, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam temuan perlindungan anak korban eksploitasi per Januari hingga April 2021 menunjukkan bahwa mulai usia 12, anak rentan kena eksploitasi di bidang prostitusi.
Seperti disampaikan Komisioner KPAI Ai Maryati Solihah. Menurutnya, usia anak korban prostitusi paling rendah adalah 12 hingga 17 tahun (98 persen). Sedangkan eksploitasi ekonomi terjadi pada anak umur 16 hingga 17 tahun dan perdagangan anak biasanya terjadi pada bayi.
Baca Juga
Meningkat Cepat, Malaysia Catat Adanya 327 Kasus Penemuan Virus HMPV
Profil Patrick Kluivert, Mantan Striker Ajax, AC Milan, dan Barcelona yang Jadi Calon Pelatih Timnas Indonesia Pengganti Shin Tae-yong
Ucapan Selamat Jalan kepada Shin Tae-yong dari Para Netizen: Terima Kasih, Coach! Penghormatan Tertinggi untuk STY
“Hal ini menjadi pengingat pada peran orangtua bahwa usia rentan anak masuk dan terlibat dalam jaringan prostitusi bukan lagi usia remaja akhir jelang 18 tahun, melainkan fase remaja awal.”
Advertisement
Dari sisi pendidikan, 67 persen korban eksploitasi dan pekerja anak adalah anak yang masih aktif sekolah. Sedang, 33 persennya adalah anak-anak yang putus sekolah.
“Hal ini menunjukkan pintu kontrol dan pengawasan pendidikan harus ditingkatkan, baik pencegahan dalam hal edukasi kesehatan reproduksi dan internet sehat maupun kuratif dengan mentoring, penjangkauan, dan perlindungan yang terhubung dengan pihak berwenang bekerja sama dengan orangtua.”
KPAI juga menekankan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mendorong dinas pendidikan provinsi hingga tingkat kabupaten untuk proaktif menjamin tetap terpenuhinya pendidikan korban, tambah Ai.
Simak Video Berikut Ini
Medium Eksploitasi
Di 2021 tren penggunaan medium eksploitasi anak lebih banyak mengarah ke teknologi elektronik atau sosial media.
Data KPAI menunjukkan, 60 persen korban eksploitasi seksual ditawarkan pada lelaki hidung belang melalui jejaring media sosial. Sedang, 40 persen secara konvensional yakni didatangkan, diajak, dan direkrut secara fisik.
“Dalam aksinya, pelaku (mucikari/germo) memasang iklan anak, menjajakan layanan hubungan intim disertai harga, di antaranya memanipulasi usia, dan ajakan-ajakan yang sifatnya open booking. Semuanya difasilitasi dan berinteraksi menggunakan transaksi elektronik di media sosial.”
Hal ini secara efektif memudahkan proses rekrutmen hingga eksekusi yang dilakukan jaringan dalam menyasar anak-anak di bawah umur, tambah Ai.
Dalam konteks penegakan hukum, KPAI mendorong kepolisian dan unit siber untuk menindak maraknya kejahatan siber pada anak, deteksi dini operasi, tindak lanjut dan proses hukum.
“Kemudian menggunakan aturan perundangan sesuai proses yang berlaku,” tutup Ai.
Advertisement