Liputan6.com, Jakarta Beberapa hari ini kasus COVID-19 meningkat tajam. Data 13 Juni 2021 menunjukkan penambahan kasus positif mencapai 9.868.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memperkirakan lonjakan ini akan mencapai puncak pada akhir Juni atau awal Juli 2021.
Baca Juga
Maka dari itu, Guru Besar Fakultas Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan bahwa analisa indikator risiko COVID-19 baik jika dilakukan.
Advertisement
Salah satu bagian dari analisa indikator risiko COVID-19 adalah pembatasan kegiatan sosial atau public health and social measure (PHSM). Pembatasan kegiatan sosial ini meliputi 5 hal yakni:
-Upaya perseorangan seperti mencuci tangan, menjaga jarak dan memakai masker yang dikenal dengan 3M.
-Penanganan lingkungan seperti kebersihan, ventilasi, dan disinfeksi.
-Surveilans dan respons termasuk kegiatan pengetesan, penelusuran kontak, isolasi dan karantina, yang dikenal sebagai 3T.
-Upaya menghindari kerumunan seperti pembatasan pertemuan publik, jaga jarak di tempat umum dan tempat kerja serta pembatasan perjalanan di dalam negeri.
-Kebijakan tentang perjalanan internasional.
Simak Video Berikut Ini
Analisis Pola Penularan
Tjandra menambahkan analisa indikator risiko COVID-19 pada prinsipnya meliputi "what’s going on, what can go wrong and what could be done”.
“Prosesnya mematrikkan pola penularan yang ada beserta potensinya, dengan kapasitas respons yang ada serta apa yang dapat atau harus ditingkatkan,” kata Tjandra melalui pesan teks ditulis Senin (14/6/2021).
Pola penularan ini dapat dibagi dalam 5 tingkatan yakni:
- Tidak ada penularan dalam 28 hari terakhir.
-Sistem cukup baik untuk mencegah penularan, atau kasus sudah mulai ada tetapi belum ada gangguan berarti pada kehidupan sosial ekonomi.
-Sudah mulai ada klaster kasus dan mulai ada risiko penularan di masyarakat, untuk ini mulai diperlukan upaya penanggulangan yang lebih baik lagi.
-Sudah terjadi penularan di masyarakat (community transmission) di mana pelayanan kesehatan sudah cukup kewalahan, sehingga dibutuhkan manajemen kesehatan di lapangan yang lebih kompleks lagi.
-Wabah sudah tidak terkendali lagi dan sistem pelayanan kesehatan praktis kolaps, sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa untuk mencegah terus melonjaknya kasus dan kematian.
Advertisement
5 Indikator Beratnya Situasi Epidemiologi
Selain pembatasan kegiatan sosial dan pola penularan, indikator risiko COVID-19 yang dapat dianalisa juga mencakup indikator beratnya situasi epidemiologi dan kapasitas respons.
Dalam menilai bagaimana beratnya situasi epidemiologi maka dapat juga dipakai 5 indikator yakni:
-Jumlah kasus baru.
-Jumlah kematian.
-Apakah ada peningkatan lebih dari 10 persen antar minggu?
-Apakah angka positif (positivity rate) di atas 10 persen?
-Apakah angka penularan (Rt) di atas 1.0?
Kapasitas Respons
Kapasitas respons juga dapat dibagi 4 bagian yakni:
-Ada sistem pelayanan kesehatan yang setidaknya dapat meliputi ketersediaan tempat tidur di rumah sakit termasuk ruang isolasi dan ICU, tenaga kesehatan, obat-obatan, peralatan kesehatan, sistem rujukan, dan lain-lain.
-Adanya sistem kesehatan masyarakat yang antara lain berupa seberapa aktifnya kegiatan tes dan pelacakan di masyarakat, surveilans, serta pendekatan kesehatan masyarakat dan sosial lainnya.
-Manajemen pengaturan (governance) yang setidaknya meliputi koordinasi lintas sektor, manajemen bencana serta kesiapan bagaimana menangani eskalasi situasi yang meningkat tidak terkendali.
-Komunikasi risiko dan pemberdayaan masyarakat (RCCE - Risk communication & Community engagement).
“Masing-masing kapasitas respons ini kemudian bisa saja dikompilasi dan dikelompokkan menjadi adanya kapasitas respons adekuat, sedang (moderate) atau terbatas (limited),” tutupnya.
Advertisement