Liputan6.com, Jakarta World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa jam kerja yang panjang menjadi penyebab 745 ribu kematian akibat stroke dan penyakit jantung iskemik di tahun 2016. Angka ini meningkat 29 persen dari tahun 2000.
Estimasi WHO dan International Labour Organization yang di Environment International beberapa waktu lalu menyebutkan, di 2016, 398 ribu orang yang meninggal karena stroke dan 347 ribu orang yang meninggal karena sakit jantung, bekerja setidaknya 55 jam dalam sepekan.
Baca Juga
Manfaat Kunyit untuk Mengobati Apa Saja? Ini 5 Keajaiban Kesehatannya yang Tak Terduga!
Miliano Jonathans, Wonderkid Belanda Keturunan Depok Resmi bergabung dengan FC Utrecht, Berpotensi Bela Timnas Indonesia
Federasi Sepak Bola Kamboja Selidiki Dugaan dalam Pengaturan Skor Melawan Singapura di Piala AFF 2024, Sebut Ada Keterlibatan Pemain
Dilansir dari laman WHO, Senin (14/6/2021), antara tahun 2000 hingga 2016, jumlah kematian akibat penyakit jantung karena jam kerja yang panjang meningkat 42 persen, sementara peningkatan stroke sebesar 19 persen.
Advertisement
Beban penyakit terkait pekerjaan ini dilaporkan signifikan pada pria (72 persen), orang yang tinggal di wilayah Pasifik Barat atau Asia Tenggara, serta pekerja paruh baya atau lebih tua.
Sebagian besar kematian yang tercatat ada di antara orang-orang yang meninggal pada usia 60 sampai 79 tahun, yang telah bekerja selama 55 jam atau lebih dalam sepekan di antara usia 45 hingga 74 tahun.
Studi itu juga menyimpulkan, bekerja 55 jam atau lebih dalam seminggu, terkait dengan perkiraan risiko stroke 35 persen lebih tinggi dan risiko kematian akibat penyakit jantung iskemik 17 persen lebih tinggi, dibandingkan dengan bekerja 35 hingga 40 jam seminggu.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Masalah di Pandemi COVID-19
Selain itu, jumlah orang yang bekerja selama berjam-jam dilaporkan meningkat dan mencapai 9 persen dari total populasi secara global. Menurut WHO, tren ini menempatkan lebih banyak orang pada risiko kecacatan terkait pekerja serta kematian dini.
Analisis baru muncul di saat pandemi COVID-19. Mereka menyoroti pengelolaan jam kerja, di mana pandemi mempercepat perkembangan yang dapat menambah tren peningkatan waktu kerja.
"Pandemi COVID-19 telah mengubah cara kerja banyak orang secara signifikan," kata Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO.
Menurut Tedros, teleworking atau kerja jarak jauh sudah menjadi norma di banyak industri. Hal ini sering mengaburkan batas antara rumah dan pekerjaan.
"Selain itu, banyak bisnis terpaksa mengurangi atau menutup operasi untuk menghemat uang, dan orang-orang yang masih digaji akhirnya bekerja lebih lama," ujarnya.
Advertisement
Saran WHO
"Tidak ada pekerjaan yang sebanding dengan risiko stroke atau penyakit jantung. Pemerintah, pengusaha, dan pekerja perlu bekerja sama untuk menyepakati batasan untuk melindungi kesehatan pekerja," kata Tedros.
Maria Neira, Direktur dari Departemen Lingkungan, Perubahan Iklim, dan Kesehatan WHO menyebut bahwa sudah saatnya semua pemerintah, pengusaha, dan pekerja sadar bahwa jam kerja yang panjang dapat menimbulkan kematian dini.
"Bekerja 55 jam atau lebih per minggu adalah bahaya kesehatan yang serius," ujarnya.
Adapun, beberapa tindakan yang dapat dilakukan pemerintah, pengusaha, dan pekerja untuk melindungi kesehatan pekerjanya adalah:
- Pemerintah dapat memperkenalkan, menerapkan, dan menegakkan hukum, aturan, dan kebijakan yang melarang lembur wajib serta memastikan batas maksimal waktu kerja,
- Perjanjian kerja bersama atau bipartit antara pengusaha dan serikat pekerja dapat mengatur waktu kerja menjadi lebih fleksibel, sekaligus menyepakati jumlah jam kerja,
- Karyawan dapat berbagi jam kerja untuk memastikan bahwa jumlah jam kerja tidak naik di atas 55 atau lebih per minggu.
Infografis Menanti Sosialisasi Naskah UU Cipta Kerja
Advertisement