Sukses

Merokok Bikin Beban Ekonomi Sistem Kesehatan Indonesia Capai Rp27 Triliun

Kebiasaan merokok menyebabkan beban ekonomi sistem kesehatan di Indonesia mencapai Rp27,7 triliun pada 2019.

Liputan6.com, Jakarta - Kebiasaan merokok menyebabkan beban ekonomi sistem kesehatan di Indonesia mencapai Rp27,7 triliun pada 2019.

Angka ini naik lebih tinggi dari perhitungan sebelumnya yang dilakukan Soewarta Kosen dkk. (2017) di angka Rp13,7 triliun atau setara Rp15,7 triliun pada 2019 setelah memperhitungkan inflasi.

Data ini merupakan temuan dari studi terbaru Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI). Studi ini mengidentifikasi biaya yang dikeluarkan untuk mengobati penyakit-penyakit mematikan, tapi dapat dicegah, yang disebabkan konsumsi rokok.

Biaya rawat inap dan perawatan rujukan menjadi komponen pembiayaan tertinggi dengan cakupan mencapai 86,3 hingga 87,6 persen dari keseluruhan beban biaya yang harus ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Dengan demikian, BPJS Kesehatan perlu mengalokasikan setidaknya antara Rp10,5 hingga 15,5 triliun untuk menambal beban biaya kesehatan akibat penyakit yang ditimbulkan rokok. Angka tersebut merepresentasikan sekitar 61,76 hingga 91,8 persen dari total defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2019.

Simak Video Berikut Ini

2 dari 4 halaman

Akan Semakin Membesar

Chief Strategist CISDI, Yurdhina Meilissa mengatakan, konsumsi rokok menyebabkan risiko tinggi terhadap kesehatan populasi nasional, sumber daya manusia, dan pembangunan ekonomi.

Di sisi lain, aktivitas merokok merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Kematian akibat penyakit terkait rokok setidaknya mencapai 21 persen dari total penyakit kronis di Indonesia.

Dengan jumlah perokok di usia muda yang terus naik, penelitian ini menyebut pada masa depan beban biaya kesehatan akan semakin membesar.

3 dari 4 halaman

Akibat Kurangnya Data

Yurdhina menambahkan, studi ini dilakukan dengan metodologi standar yang dipakai Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menghitung pengeluaran biaya kesehatan langsung yang terkait perilaku merokok (smoking attributable direct expenditure/SDE).

“Kami menggunakan data terkini dari Riskesdas (2018), Susenas (2018-2019), dan data administratif BPJS Kesehatan (2019). Sayangnya, data yang tersedia di Indonesia tidak memungkinkan kami untuk mendapatkan angka relative risk untuk Indonesia sehingga kami harus merujuk ke beberapa angka dari negara lain, seperti India dan Amerika Serikat,” ujar Yurdhina mengutip keterangan pers Selasa (15/6/2021).

Ia menambahkan, apabila BPJS Kesehatan mencantumkan data kebiasaan merokok pada data peserta BPJS dan Badan Pusat Statistik (BPS), maka institusi riset atau pemerintah akan lebih mudah menghasilkan perhitungan yang tepat untuk pengambilan keputusan.

Hal lain yang dapat membantu adalah jika Kementerian Kesehatan melengkapi data survei nasional dengan variabel terkait kebiasaan merokok individu termasuk merek rokok yang dikonsumsi, harga rokok, dan jumlah konsumsi rokok harian.

“Semoga data mengenai variabel-variabel tersebut bisa tersedia untuk publik di masa depan,” pungkasnya.

4 dari 4 halaman

Infografis Merokok Sambil Berkendara Didenda Rp750 Ribu