Liputan6.com, Jakarta Varian Delta atau B.1617.2 dari virus corona penyebab COVID-19 dilaporkan memiliki penularan yang lebih cepat jika dibandingkan beberapa varian lainnya. Namun hingga saat ini, apakah mereka juga mampu meningkatkan keganasan masih belum dapat dikonfirmasi.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Profesor Tjandra Yoga Aditama mengatakan bahwa World Health Organization (WHO), hingga 8 Juni 2021, masih menyatakan bahwa peningkatan keganasan pada varian Delta masih "not confirmed."
Baca Juga
Namun, dalam pernyataan tersebut WHO juga mengatakan bahwa kemungkinan ada peningkatan risiko untuk masuk rumah sakit.
Advertisement
"Jadi memang ada beberapa laporan yang mengatakan dia lebih berat, ada beberapa laporan yang bilang beratnya sama saja," kata Mantan Direktur WHO SEARO ini saat dihubungi Health Liputan6.com pada Selasa (15/6/2021).
Tjandra mengatakan bahwa terkait kecepatan penularan, WHO biasanya hanya mengutip kepustakaan yang ada. Sehingga, belum ada angka pasti mengenai berapa kali varian Delta bisa lebih cepat menular dibandingkan varian-varian lainnya.
"Dari data yang dia bilang adalah 60 persen lebih mudah menular dari pada varian Alpha. Kedua, kenaikannya dalam seminggu itu tinggi. Jadi minggu sebelumnya 29 ribu kasus di Inggris, minggu berikutnya 42 ribu, jadi naik 70 persen dalam seminggu," kata Tjandra.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Berdampak pada Kemanjuran Vaksin?
Tjandra pun mengatakan bahwa saat ini, sebagian besar kasus di Inggris adalah varian Delta.
"Kalau di Amerika memang masih kecil sekitar 6 persen," kata Tjandra menambahkan. Namun, mengingat varian ini terbilang baru, maka belum bisa disimpulkan apakah vaksinasi yang angkanya hampir mencapai 60 persen di Amerika Serikat juga berpengaruh atau tidak.
Terkait efektivitas vaksin COVID-19 yang ada saat ini terhadap varian Delta, Tjandra menyebut bahwa berbagai angka yang muncul soal efektivitas beberapa vaksin memang berdasarkan studi yang dilakukan.
"Hampir semua penelitian hasilnya sama, yang Delta efektivitasnya (vaksin) lebih rendah ketimbang yang Alpha. Cuma, penurunan itu sejauh ini, sampai sekarang tampaknya masih bisa dipakai untuk melindungi orang terhadap penyakit," katanya.
Namun, Tjandra mengakui bahwa penelitian terkait efektivitas vaksin terhadap varian Delta lebih banyak dilakukan di Inggris. Hal ini mengingat mereka sudah memiliki banyak varian tersebut.
"Dan Inggris hanya menggunakan Pfizer dan AstraZeneca. Jadi kalau ada pertanyaannya 'Sinovac bagaimana?' Belum ada jawabannya."
Â
Advertisement
Langkah Pencegahan Masih Sama dan Harus Ketat
Tjandra menegaskan bahwa langkah-langkah pencegahan COVID-19 yang sudah dilakukan selama ini, masih menjadi cara yang harus dilakukan untuk mencegah varian Delta.
"Patokan umum sama saja. Cuma sama itu artinya kita mesti tetap sangat ketat. Karena kalau sama seperti sekarang bagaimana. Sekarang masalahnya tidak ketat (diterapkan)," kata Mantan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan itu.
"Jadi kalau pakai masker yang benar. Saya baru masuk rumah, di jalan saja orang masih banyak yang pakai masker tidak benar," katanya sembari memberikan contoh.
Sementara untuk pemerintah, Tjandra menegaskan yang terpenting data harus dipastikan terlebih dulu.
"Datanya mesti konkret dulu. Jumlah yang diperiksa mesti tambah banyak. Jumlah yang diperiksa whole genome sequencing harus tambah banyak supaya kita tahu persis," kata Tjandra.
"Jadi sekarang nomor satu whole genome sequencing-nya ditingkatkan supaya datanya lengkap. Kalau datanya lengkap baru diambil langkah apa yang bisa dilakukan sesuai data yang lengkap itu."
Infografis Awas Lonjakan Covid-19 Libur Lebaran
Advertisement