Liputan6.com, Jakarta Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zullies Ikawati menerangkan terkait arti interaksi obat yang baru-baru ini jadi buah bibir akibat pernyataan kontroversial dokter Lois Owien.
Menurut Zullies, interaksi obat adalah proses yang terjadi karena adanya pengaruh suatu obat terhadap efek obat lain ketika digunakan bersama-sama pada pasien.
Baca Juga
Sebelumnya, dr Lois menyatakan bahwa interaksi obat menjadi penyebab banyaknya kematian pasien COVID-19 akhir-akhir ini. Namun, menurut Zullies interaksi obat tidak selamanya merugikan, tapi dalam beberapa kasus tertentu dapat menguntungkan terutama bagi pasien yang memang membutuhkan lebih dari satu obat.
Advertisement
Bagi pasien COVID-19, interaksi obat juga mungkin terjadi. Mengingat COVID-19 memang penyakit yang unik di mana kondisi satu pasien dengan yang lain dapat sangat bervariasi.
Pada pasien yang bergejala sedang sampai berat, misalnya, dapat terjadi peradangan paru, gangguan pembekuan darah, gangguan pencernaan, dan lain-lain.
"Karena itu, sangat mungkin diperlukan beberapa macam obat untuk mengatasi berbagai gangguan tersebut, di samping obat antivirus dan vitamin-vitamin. Justru jika tidak mendapatkan obat yang sesuai, dapat memperburuk kondisi dan menyebabkan kematian," kata Zullies kepada Health Liputan6.com melalui pernyataan tertulis.
"Dalam hal ini, dokter akan mempertimbangkan manfaat dan risikonya dan memilihkan obat yang terbaik untuk pasiennya. Tidak ada dokter yang ingin pasiennya meninggal dengan obat-obat yang diberikannya," tambahnya.
Simak Video Berikut Ini
Tak Mudah Sebabkan Kematian Pasien COVID-19
Melihat penjelasan di atas, Zullies menyimpulkan bahwa interaksi obat pada pasien COVID-19 tidak mudah menyebabkan kematian.
"Jadi, interaksi obat tidak semudah itu menyebabkan kematian. Jika ada penggunaan obat yang diduga akan berinteraksi secara klinis, maka pemantauan hasil terapi perlu ditingkatkan," tegas Zullies, yang ikut terlibat dalam penanganan COVID-19 dan vaksin.
"Sehingga, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat interaksi obat, dapat segera dilakukan tindakan yang diperlukan, misal menghentikan atau mengganti obatnya."
Pemberian terapi obat kepada pasien memerlukan kerja sama antar tenaga kesehatan (dokter, perawat, apoteker dan lainnya) supaya dapat memantau terapi dengan lebih cermat. Agar tidak berdampak membahayakan bagi pasien.
“Dengan demikian, jika ada yang menyebutkan bahwa kematian pasien COVID-19 adalah semata-mata akibat interaksi obat, maka pernyataan itu tidak berdasar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan," kata Zullies.
Advertisement
Interaksi Obat yang Merugikan
Interaksi obat pada pasien COVID-19 cenderung menguntungkan karena dapat mengatasi berbagai gangguan yang dialami pasien terutama dengan komorbid.
Sedang, interaksi obat dapat merugikan jika adanya suatu obat dapat menyebabkan berkurangnya efek obat lain yang digunakan bersama, lanjut Zullies.
Bisa pula jika ada obat yang memiliki risiko efek samping yang sama dengan obat lain yang digunakan bersama, maka akan semakin meningkatkan risiko total efek sampingnya.
"Jika efek samping tersebut membahayakan, tentu hasil akhirnya akan membahayakan. Seperti contohnya obat azitromisin dan hidroksiklorokuin yang dulu digunakan untuk terapi COVID-19 atau azitromisin dengan levofloksasin.”
"Mereka sama-sama memiliki efek samping mengganggu irama jantung. Jika digunakan bersama, bisa terjadi efek total yang membahayakan," katanya.
Selain itu, interaksi obat dapat meningkatkan efek terapi obat lain. Pada tingkat tertentu, peningkatan efek terapi suatu obat akibat adanya obat lain dapat menguntungkan, tetapi juga dapat berbahaya jika efek tersebut menjadi berlebihan.
Misalnya, efek penurunan kadar gula darah yang berlebihan akibat penggunaan insulin dan obat diabetes oral, bisa menjadi berbahaya, tutup Zullies.
Infografis Alur Telemedicine dan Obat Gratis untuk Pasien Isoman COVID-19
Advertisement