Sukses

4 Fakta Soal Oseltamivir, Obat Terapi Pasien COVID-19 yang Terinfeksi Influenza

Baru-baru ini oseltamivir jadi bahan perbincangan setelah seorang penyintas mengatakan bahwa obat tersebut hampir merenggut nyawanya.

Liputan6.com, Jakarta Baru-baru ini oseltamivir jadi bahan perbincangan setelah seorang penyintas mengatakan bahwa obat tersebut hampir merenggut nyawanya.

Dalam Revisi Protokol Tatalaksana COVID-19 dari 5 Organisasi Profesi dijelaskan bahwa oseltamivir adalah obat antiviral yang digunakan untuk pengobatan dan pencegahan infeksi influenza tipe A dan B.

Obat ini bekerja dengan menghambat neuromidase yang dibutuhkan oleh virus influenza untuk merilis virus-virus baru di akhir proses replikasi. Oseltamivir diberikan secara empiris pada masa awal pandemi COVID-19 karena sulitnya membedakan gejala pasien COVID-19 dan pasien yang terinfeksi virus influenza.

Saat ini, oseltamivir dapat ditambahkan pada kondisi di mana pasien dengan COVID-19 dan diduga terinfeksi virus influenza dengan dosis 2 kali 75 miligram.

Ada sedikitnya 4 fakta terkait oseltamivir menurut pakar yang mencakup keamanan, kecocokan untuk COVID-19, waktu bereaksi, dan efek samping.

Simak Video Berikut Ini

2 dari 6 halaman

Cukup Aman Digunakan

Menurut pakar dari Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Prof Dr apt Keri Lestari, oseltamivir adalah obat antivirus yang cukup aman digunakan.

‘’Kalau toh ada efek samping juga tidak akan parah. Memang ada efek samping yang disebabkan oleh oseltamivir, tetapi bukan efek samping yang parah. Oseltamivir ini obat antivirus yang cukup aman,’’ kata Keri mengutip keterangan pers, Jumat (16/7/2021).

3 dari 6 halaman

Pemberian untuk Pasien COVID-19

Walaupun cukup aman, tapi penggunaan oseltamivir bagi pasien COVID-19 sejatinya bukan pilihan yang tepat.

Seperti disampaikan pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr apt Zullies Ikawati. Menurutnya, secara mekanisme obat, oseltamivir tidak cocok digunakan untuk COVID-19, sebab oseltamivir adalah penghambat enzim neuroaminidase.

Enzim tersebut memang ada dalam virus influeza, tetapi tidak ada dalam SARSCov-2, virus penyebab COVID-19.

“Jadi memang oseltamivir tidak bisa digunakan untuk mengobati COVID-19 karena targetnya tidak ada.”

Di awal pandemi, karena pengetahuan mengenai COVID-19 ini belum cukup memadai, para ahli masih belum bisa memastikan apakah COVID-19 ini termasuk jenis flu atau bukan.

Seiring perkembangan penyakit, kemudian diketahui bahwa COVID-19 bukan jenis flu. Oleh karena itu, dalam panduan terapi terbaru, oseltamivir hanya diberikan bila ditemukan gejala koinfeksi dengan influenza.

‘’Jadi menurut saya oseltamivir masih relatif aman untuk digunakan, jika memang ada indikasi untuk menggunakan,’’ tegas Zullies.

4 dari 6 halaman

Butuh Waktu untuk Bereaksi

Zullies menambahkan, untuk dapat memberikan efek seperti yang diharapkan, obat memerlukan waktu yang cukup apabila digunakan secara oral atau diminum seperti oseltamivir.

Berbeda dengan obat yang diberikan secara injeksi, memang akan memberikan efek yang lebih cepat.

Obat yang diminum memerlukan waktu dan proses hingga sampai ke lambung. Di lambung obat akan diuraikan, kemudian diserap oleh lambung maupun usus. Obat tersebut kemudian akan diedarkan atau didistribusikan ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah hingga sampai ke tempat aksinya untuk bekerja.

‘’Proses itu memerlukan waktu, jadi kalau dikatakan dalam waktu kurang dari 1 menit sudah terjadi reaksi yang cukup hebat seperti pusing dan muntah, maka dugaan saya bukan karena obat, mungkin karena ada faktor lain,” kata Zullies.

“Bisa jadi ada faktor psikologis atau mungkin memang ada faktor fisik, gejala COVID-19 ada yang sampai mual, muntah dan sebagainya, maka ada kemungkinan adalah karena faktor tersebut,’’ tegas Zullies.

Sebab bila terjadi dalam waktu kurang dari 1 menit, Zullies menduga, obat tersebut masih berada di lambung dan belum diserap sepenuhnya, sehingga belum memberikan efek terhadap tubuh.

5 dari 6 halaman

Efek Samping Ringan

Sebagai obat antiinfluenza, oseltamivir diketahui memiliki keamanan yang cukup baik. Efek sampingnya tidak terlalu berat, meskipun diketahui ada beberapa efek seperti mual, muntah, insomnia dan vertigo.

‘’Namun sekali lagi, kalau toh terjadi efek samping, maka tidak akan terjadi secara cepat.”

“Sekali lagi obat membutuhkan proses untuk memberikan efek. Begitupun kalau toh itu adalah reaksi alergi efek berlebihan yang mungkin berbeda dari orang lain, juga tidak akan terjadi secepat itu, tetap membutuhkan proses,’’ tutur Zullies.

Keri menambahkan, kalau memang ada efek samping harus segera dilaporkan kepada dokter atau perawat untuk dapat dipikirkan apa Langkah selanjutnya.

“Ada yang disebut dengan monitoring efek samping obat (MESO), ini akan dilaporkan ke regulator dalam hal ini BPOM bila memang terjadi efek samping obat yang hebat,’’ pungkasnya.

 

 

6 dari 6 halaman

Infografis Jangan Buang Sembarangan, Ini Cara Kelola Masker COVID-19 Bekas Pakai