Liputan6.com, Jakarta - Beberapa negara mempertimbangkan untuk memberi suntikan ketiga atau booster vaksin COVID-19 guna melindungi masyarakatnya dari infeksi virus SARS-CoV-2. Terlebih dengan adanya temuan bahwa efikasi (tingkat kemanjuran) vaksin COVID-19 menurun setelah beberapa waktu atau ketika dihadapkan pada varian-varian baru yang kini mulai bermunculan.
Vaksin COVID-19 yang diproduksi Sinovac misalnya, diketahui mengalami penurunan efikasi sekitar enam bulan setelah dosis kedua disuntikkan. Para ilmuwan pun sepakat bahwa suntikan ketiga atau vaksin booster akan sangat membantu dalam mengatasi serangan virus Corona penyebab COVID-19.
Rencana mengenai vaksinasi booster juga dipertimbangkan oleh Indonesia. Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menyampaikan rencana vaksin COVID-19 booster berbayar untuk masyarakat umum pada 2022 dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI, Rabu, 25 Agustus 2021. Budi Gunadi menyebut, vaksinasi booster atau suntik vaksin ketiga itu akan dilaksanakan jika vaksinasi yang saat ini tengah berjalan telah rampung.
Advertisement
Baca Juga
"Rencananya kapan Pemerintah akan melakukan suntik ketiga (booster)? Kalau kita semakin cepat (laju vaksinasi), diharapkan mungkin Januari (2022) sudah bisa selesai semua. Di awal tahun depan kita sudah mulai melakukan suntik ketiga," ungkap Budi Gunadi saat Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.
Sebelumnya, Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) juga telah mengkaji rencana pemberian dosis vaksin COVID-19 booster pada masyarakat umum. Menurut kajian ITAGI, dosis ketiga vaksin COVID-19 bisa diberikan pada 2022.
"Sesuai rekomendasi ITAGI, memang pada monitoring titer antibodi terjadi penurunan untuk vaksin Sinovac. Maka, bisa direncanakan untuk pemberian booster setelah 12 bulan dari vaksinasi pertama, itu artinya di 2022," ucap Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 dr Siti Nadia Tarmizi pada awal Agustus 2021.
Meski demikian, ITAGI menyarankan bahwa vaksinasi booster COVID-19 pada masyarakat umum perlu direncanakan tersendiri mengingat masalah logistik dan sumber daya manusia.
Jika Herd Immunity Tidak Tercapai
Rencana vaksin booster juga sebagai antisipasi jika upaya herd immunity tidak tercapai. Seperti disampaikan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI, Rabu, 25 Agustus 2021, jika kekebalan kelompok tak tercapai dalam target 208 juta penduduk Indonesia maka perlu ada vaksin booster bagi masyarakat umum.
Merujuk pada jurnal terkait vaksinasi yang dikeluarkan oleh Australia, Wakil Ketua Umum PB IDI Slamet Budiarto menjelaskan bahwa rata-rata efikasi vaksin menuju herd immunity dihitung berdasarkan persentase target populasi penduduk.
"Bahwa dengan vaksin yang efikasinya 95 persen itu untuk mencapai herd immunity minimal adalah 63 populasi yang divaksin. Kalau efikasi vaksinnya 90 persen, minimal 66 persen populasi."
Selanjutnya, bila efikasi vaksin 80 persen, minimal 75 persen populasi harus tervaksin. Efikasi vaksin 70 persen, 86 persen populasi harus tervaksin.
"Kalau efikasi vaksinnya 50 persen itu ya tidak pernah terbentuk herd immunity," lanjut Slamet.
Diketahui, efikasi vaksin Sinovac sebesar 70 persen, berarti 86 persen jumlah penduduk Indonesia harus dilakukan vaksinasi untuk mencapai herd immunity. IDI juga menilai penurunan efikasi vaksin terhadap varian virus berdampak antibodi bisa ikut menurun.
"Apabila (herd immunity) tidak tercapai, bulan Januari, Februari, Maret, April (tahun depan) perlu dilakukan booster, karena antibodinya sudah turun," imbuh Slamet.
Advertisement
Gratis bagi Kelompok Masyarakat Tertentu
Perihal rencana vaksin booster berbayar, Budi Gunadi mengaku sudah berdiskusi dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Vaksin booster berbayar diperkirakan akan dihargai 7 hingga 8 dollar atau setara Rp100.000 - Rp150.000. Menurutnya, perkiraan harga Rp100 ribu akan membuka peluang bagi masyarakat umum dapat memilih, mau booster atau tidak.
"Harga suntikannya mungkin 7 dollar AS atau 8 dollar AS satu kali suntik. Itu sekitar ya enggak sampai Rp100.000 atau Rp150.000-an, sehingga bisa langsung dilakukan oleh yang bersangkutan," terangnya.
"Menurut pendapat saya, kita akan juga buka secara terbuka vaksin-vaksin yang masuk, jadi rakyat yang ingin mendapatkan booster bisa memilih. Yang memiliki uang mau menyuntik Rp100.000 atau Rp150.000 bisa memilih (untuk booster).
Walau demikian, Budi Gunadi juga menyampaikan bahwa vaksin booster tak berbayar atau gratis akan tersedia bagi kelompok masyarakat tertentu. Kelompok masyarakat yang dimaksud, yakni Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan.
Dalam hal ini, vaksin booster untuk masyarakat kurang mampu dari kelompok PBI akan dibayar negara. Sementara itu, bagi masyarakat umum lain yang mampu dipatok berbayar, dengan kisaran harga Rp100.000 sekali suntik.
"Diskusi juga dengan Bapak Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah diputuskan oleh Beliau. Bahwa ke depan, yang akan dibayari negara kemungkinan besar hanya PBI saja," ungkap Budi Gunadi.
"Sedangkan yang lainnya, kalau toh biayanya juga tidak terlalu mahal akan dimasukkan ke skema yang umum. Bisa beli langsung diri sendiri atau melalui mekanisme BPJS Kesehatan."
Sementara itu detail mengenai vaksin booster berbayar seperti target dan sasarannya belum diketahui. Seperti disampaikan Juru Bicara Vaksin COVID-19 Kementerian Kesehatan, dr Siti Nadia Tarmizi bahwa rencana vaksin 2022 tersebut belum final dan masih perlu dimatangkan.
“Kalau (vaksin booster) 2022 ini belum final ya masih dimatangkan,” ujar Siti Nadia kepada Health Liputan6.com melalui pesan singkat, Kamis (26/8/2021).
Mekanisme Vaksin Booster Berbayar
Opsi kemungkinan program vaksin mandiri bagi masyarakat yang ingin mendapat vaksin booster juga disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati.
Sri Mulyani menjelaskan merek dan harga vaksin mandiri nantinya akan ditentukan oleh Menteri Kesehatan bersama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
"Mekanismenya akan dibahas kedua pihak tersebut dan mereka akan menentukan mana vaksin yang untuk mandiri dan yang akan gratis," tuturnya dikutip dari Antara, Kamis (26/8/2021).
Kendati demikian, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut berharap pada tahun 2022 vaksin Merah Putih sudah bisa diproduksi, sehingga bisa mendukung peningkatan pengadaan vaksin di dalam negeri.
Selain itu, Sri Mulyani menegaskan tetap mencadangkan anggaran pengadaan vaksin sebesar Rp 35 triliun hingga Rp36 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022.
"Kalau COVID-19 masih dalam posisi wabah pandemi dan kita harus mencapai kekebalan komunitas atau herd immunity, kami akan memenuhi untuk menggunakan APBN dan itu gratis," ujar Sri Mulyani.
Advertisement
Ketersediaan Vaksin
Terkait rencana vaksin booster berbayar tahun depan, apakah stok vaksin COVID-19 yang tersedia mencukupi? Juru Bicara PT Bio Farma Bambang Heriyanto menanggapi, estimasi stok vaksin untuk rencana booster tahun depan belum ada diskusi lebih lanjut.
Dalam hal ini, belum ada pembahasan mengenai perluasan akses vaksin merata (untuk booster) kepada Bio Farma. Walau begitu, Bio Farma mendukung penuh kebijakan Pemerintah.
"Pada prinsipnya, kami akan support (dukung) atas kebijakan yang akan disiapkan oleh Pemerintah," kata Bambang saat dihubungi Health Liputan6.com melalui pesan singkat, Kamis (26/8/2021).
"Sampai saat ini, belum ada pembahasan terkait akses vaksin yang merata bagi seluruh masyarakat sesuai target Pemerintah hingga Januari 2022."
Vaksin COVID-19 yang sudah masuk ke Indonesia, baik bahan baku (bulk) yang akan diproduksi oleh Bio dan vaksin jadi. Dari sisi bahan baku, yang sudah diterima Bio Farma sebesar 144,7 juta dosis.
Saat Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR kemarin, Direktur Utama PT Bio Farma Honesti Basyir menyampaikan, dari total bahan baku vaksin, yang diolah berjumlah 131,5 juta dan sudah menjadi vaksin 107,12 juta. Kemudian yang dirilis 86 juta dosis, sisanya masih proses yang akan keluar dalam waktu seminggu sampai dua minggu ke depan.
"Vaksin jadi yang juga sudah kami terima di angka 45,5 juta. Untuk sumber kedatangan vaksin, kami ada yang kerja sama secara bilateral to bilateral (B to B), yang mana Bio Farma langsung berkontrak dengan AstraZeneca," terang Honesti.
"Kami juga ada kontrak dari COVAX ataupun hibah dan donasi dari negara-negara. Misalnya, Sinopharm yang bentuk donasi dari Emirat Arab 500.000 dosis dan juga Moderna serta Pfizer yang baru masuk."
Sebagian besar vaksin yang diterima Bio Farma pun sudah didistribusikan ke 34 provinsi di Indonesia.
"Kami mengelola hampir semua vaksin yang masuk ke Indonesia, kecuali Pfizer yang sifatnya kontak langsung antara Pfizer Global dengan Kementerian Kesehatan. Untuk distribusi langsung dipegang oleh Pfizer Indonesia," jelas Honesti.
"Sementara kedatangan vaksin yang sifatnya donasi atau COVAX didistribusikan oleh Bio Farma langsung. Karena kami juga nanti akan mendapatkan hibah Ultra Cold Chain (UCC)--untuk penyimpanan Pfizer--dari Kementerian Kesehatan."