Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyikapi maraknya isu mengenai pilihan hidup 'childfree marriage' atau keinganan untuk tak memiliki anak setelah menikah di kalangan milenial. Hasto menyampaikan, BKKBN memandang isu yang viral di media sosial itu sebagai hal yang bisa mendorong publik untuk lebih mengenal hak-hak reproduksi baik pria maupun wanita, serta tanggung jawab suatu pasangan dalam satu keluarga.
Fenomena tersebut, menurut Hasto tentunya tidak bisa lepas dari perspektif sosial dan budaya yang terbentuk di masyarakat, di mana umumnya mereka telah memasuki usia dewasa akan menikah, dan selanjutnya memiliki anak.
“Di sinilah pentingnya setiap pasangan calon pengantin sebaiknya melakukan perencanaan pernikahan agak memiliki visi dan misi pernikahan yang sama,” kata Hasto Wardoyo.
Advertisement
Baca Juga
Hasto menekankan, melalui perencanaan pernikahan yang kuat, termasuk dengan mengikuti kursus pranikah, calon pasangan dapat mengetahui konsep ideal pernikahan, mulai dari usia pernikahan ideal, kesiapan finansial, fisik, mental dan emosi, hubungan antarpribadi (interpersonal), keterampilan hidup (life skill), sampai dengan kesiapan intelektual.
“Berbagai bekal dalam perencanaan pernikahan melalui kursus pranikah itu dapat menjadi modal dalam pengambilan keputusan untuk memiliki anak atau tidak, serta hal-hal lain saat menjalani kehidupan berkeluarga. Namun, keputusan untuk memiliki anak atau tidak merupakan hak dan pilihan dari masing-masing pasangan,” kata dokter spesialis kebidanan dan kandungan lulusan Universitas Gadjah Mada itu.
Hasto menguraikan, penyebab seseorang atau suatu pasangan tidak ingin memiliki anak, dapat digolongkan dalam dua kluster besar.
Pertama, adalah pilihan atau keinginan sendiri. Kedua, karena suatu akibat, misalnya karena faktor kesehatan, atau faktor lain yang tidak diketahui sehingga tidak dapat memiliki anak.
“Kedua penyebab ini, meliputi berbagai aspek, mulai dari kondisi fisik, psikologis, ekonomi, sosial, dan budaya.
Selain itu, ketakutan akan proses kehamilan ataupun melahirkan, dapat juga mendorong orang untuk mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak,” ungkap Kepala BKKBN ini, seperti disampaikan melalui pernyataan resmi yang diterima Liputan6.com.
Dampak Childfree Marriage
Hasto mengingatkan, dampak childfree akan berpengaruh pada struktur penduduk di suatu negara. Kondisi tersebut juga akan berdampak pada rasio ketergantungan atau rasio beban tanggungan (dependency ratio) yaitu angka yang menyatakan perbandingan antara banyaknya penduduk usia non produktif (penduduk di bawah 15 tahun dan penduduk di atas 65 tahun) dengan banyaknya penduduk usia produktif (penduduk usia 15 – 64 tahun).
“Semakin tinggi dependency ratio menggambarkan semakin berat beban yang ditanggung oleh penduduk usia produktif karena harus mengeluarkan sebagian pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan penduduk usia non produktif, dan sebaliknya. Keadaan ini tentu saja dapat menjadi indikator maju atau tidaknya ekonomi suatu negara,” papar pria yang pernah mendapat penghargaan sebagai dokter teladan tahun 1992 dari Presiden RI itu.
Hasto melanjutkan, apabila banyak pasangan memutuskan untuk tidak memiliki anak, maka akan berpengaruh pada jumlah penduduk usia non produktif yang meningkat beberapa tahun kemudian dan menyebabkan tingginya rasio ketergantungan.
“Tingginya rasio ketergantungan dapat menjadi faktor penghambat pembangunan di negara berkembang termasuk di Indonesia, karena sebagian dari pendapatan yang diperoleh dari golongan produktif, terpaksa harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan kelompok yang belum dan sudah tidak produktif,” terang peraih Satyalencana Bidang KB oleh Presiden RI pada 2010 ini.
Hasto juga menjelaskan tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab perceraian, secara umum faktor utama penyebabnya bukan karena tidak memiliki anak.
“Namun faktor-faktor lain seperti perselingkuhan, ekonomi, ketidakstabilan emosi, kurangnya rasa hormat terhadap pasangan, dan lain-lain,” pungkasnya.
Advertisement