Liputan6.com, Jakarta - “Ada tiga kasus pasien saya yang menunda pengobatan hepatitis B saat pandemi COVID-19. Padahal, selama ini, bertahun-tahun terkontrol dengan obat hepatitis B.” Sepenggal cerita tersebut disampaikan perwakilan Komite Ahli Hepatitis Kementerian Kesehatan Irsan Hasan.
Sayangnya, ketiga pasien Irsan meninggal dunia. Mereka tidak mendapatkan pengobatan hepatitis B dengan segera dan obat yang harus diminum terputus. Alasannya, mereka cemas takut tertular COVID-19 dan terkendala akses ke rumah sakit yang biasa dituju.
Advertisement
Baca Juga
“Pasien saya, khawatir ke rumah sakit (takut tertular virus Corona). Lalu yang lain, kebetulan pasien biasa berobat ke Singapura. Dia tidak dapat akses, enggak bisa ke Singapura, sehingga obat putus dan mungkin dia tidak percaya dokter Indonesia,” tutur Irsan saat temu media virtual, ditulis Minggu (19/9/2021).
“Jadinya, dia tidak berobat. Itu mungkin ya. Ketiganya, mengalami reaktivasi--peradangan hati--dan tragisnya tiga-tiganya kemudian meninggal. Hanya masalah sepele pengobatan putus. Sebenarnya, pengobatan penyakit ini sudah ada obatnya.”
Hepatitis B dibagi menjadi dua tipe, yaitu akut dan kronis. Hepatitis B akut, pasien dipantau gejala dan tes darah secara rutin untuk menentukan, apakah virus masih berada pada tubuh pasien atau tidak. Pada hepatitis B kronis, ada obat antivirus yang membantu mengurangi gejala dan mencegah kerusakan hati.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
#sudahdivaksintetap3m #vaksinmelindungikitasemua
Menunda ke RS, Pengobatan Jadi Terganggu
Dampak COVID-19 terhadap penatalaksanaan hepatitis kronik, terutama perihal kontrol ke rumah sakit terjadi di sejumlah negara. Di Amerika, dilaporkan bahwa banyak pasien hepatitis takut ke rumah sakit. Mereka cemas bertemu dengan pasien COVID-19.
“Takut masuk ke rumah sakit yang udaranya dipenuhi oleh COVID-19. Kalau (pasien) datang berobat ke saya, ada yang tanya dulu, ruang perawatan COVID-19 jauh enggak dari ruangan dokter,” jelas Irsan Hasan.
“Mereka ingin ruang perawatan COVID-19 itu beda gedung sama gedung praktik dokter. Pasien memang cemas takut tertular COVID-19.”
Data yang dihimpun Irsan menunjukkan, 6 sampai 7 dari 10 pasien hepatitis B dan C menunda kunjungan rawat jalan selama pandemi COVID-19. Pada tahun 2020, lebih dari 50 persen pasien hepatitis menunda ke rumah sakit sampai selesai pandemi, baru ke rumah sakit.
“Sekarang, mau enggak mau karena (pandemi COVID-19) enggak selesai-selesai, mereka akhirnya memberanikan diri datang ke rumah sakit. Dikatakan juga penundaan membuat pengobatannya menjadi terganggu,” katanya.
Selanjutnya, ada 3 dari 10 pasien hepatitis B dan C mengalami keterlambatan skrining. Yakni skrining Anti-HCV, HBsAg (hepatitis B surface antigen), dan HCV-RNA mengalami keterlambatan. Semestinya pengobatan hepatitis harus dipantau, misal, pasien hepatitis kronik harus USG setiap 6 bulan untuk mendeteksi kanker liver atau tidak.
“Kalau dia datang skrining berkala ya bisa kecolongan muncul kanker. Pasiennya saja enggak tahu kapan muncul, dokternya juga ya enggak tahu juga nanti,” lanjut Irsan.
Disebutkan hepatitis kronik merupakan salah satu komorbid. Posisinya masih di bawah diabetes, penyakit autoimun, hipertensi, obesitas dan lain-lain. Studi mencatat kasus hepatitis B dan C berujung terhadap timbulnya sirosis hati. Pasien hepatitis yang terkena COVID019, derajat keparahan penyakit bisa 10 kali lipat berat.
“Lebih sering mengalami perawatan di ICU dan 6 kali lipat lebih sering mengalami kematian,” imbuh Irsan.
Advertisement
Pengobatan Hepatitis C di 18 Provinsi
Pengobatan hepatitis C berupa Direct Acting Antiviral (DAA), yang merupakan jenis obat melawan infeksi virus secara langsung. Pasien hepatitis C bisa disembuhkan, bahkan obat DAA ini sudah cukup ideal.
“Karena sesungguhnya (obat DAA) gampang diminum, walaupun harus diakui, obat ini mahal. Pada awal-awal keluar itu satu pil harganya 1.000 dolar AS, ya dikali Rp14.000, bayangkan berapa satu pilnya. Padahal, harus diminum selama 12 minggu atau 3 bulan,” Irsan Hasan menerangkan.
“Sehingga bisa Rp1 miliar untuk pengobatan 3 bulan. Waktu itu, kami di Indonesia menyikapinya dengan memasukkan obat menjadi obat program dan dibantu dengan beberapa kemudahan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) agar masyarakat bisa mengakses dalam program Kemenkes.”
Untuk pengobatan hepatitis C menggunakan DAA baru dimulai 2017 dengan 6 provinsi dan 28 rumah sakit. Lalu 2021 sudah 18 provinsi dan 40 rumah sakit yang menyediakan obat DAA dengan fasilitas pemeriksaan sampai pengobatan gratis. Artinya, pasien tidak mengeluarkan biaya untuk cek lab dan pembelian obat.
Pengobatan DAA memberikan hasil baik. Berdasarkan data Kemenkes, terkait pengobatan DAA hepatitis C tahun 2017-2021, pasien yang melakukan tes ulang, sebanyak 96,06 persen sembuh. Sementara itu, pemeriksaan Anti-HCV--pemeriksaan darah untuk mendeteksi keberadaan antibodi terhadap virus hepatitis C--sempat turun.
“Kalau kita lihat Januari-Juni 2020 dibandingkan Januari-Juni 2021, ada penurunan tes Anti-HCV. Turunnya 22 persen,” papar Irsan.
Data Kemenkes mengenai Pemeriksaan Anti-HCV pada Kelompok Berisiko Tahun 2021 dibandingkan 2020 menunjukkan, pasien tes Anti-HCV 61.522 (2020) menurun 48.123. Pada April-Juni 2021 terlihat ada peningkatan tes, dari 8.291 pasien naik 10.198. Ada peningkatan pasien mulai berani lagi datang untuk melakukan skrining dan pengobatan hepatitis.
Deteksi Hepatitis B Sasar Ibu dan Anak
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi menerangkan, pendeteksian hepatitis, terutama menyasar kepada ibu dan anak. Ini karena ada 18 juta penduduk terinfeksi hepatitis B, yang dari orang yang terinfeksi, lantas menjadi sakit kuning itu 50 persen berakhir kronis.
Dari 50 persen yang menjadi kronis, berisiko sirosis dan kanker hati. Upaya pencegahan dari hepatitis B yang paling gampang adalah dengan melakukan vaksinasi, sehingga angka kejadian prevalensi hepatitis B menurun. Kejadian paling besar hepatitis B adalah penularan dari ibu ke anak sebesar 90-95 persen. Maka, sangat penting melakukan vaksinasi hepatitis pada anak.
“Target program tahun 2030, kita harus mencapai eliminasi hepatitis b, terutama dari ibu ke anak. Kita lihat bahwa angkanya adalah 1,09 persen pada tahun 2024. Untuk mencapai eliminasi hepatitis B, harus kurang dari 1 persen. Ini sebagai eliminasi program pencegahan hepatitis dari ibu ke anak,” terang Nadia.
“Anak diberikan imunisasi hepatitis B itu tiga dosis. Saat ini, seluruh anak usia bayi diberikan sampai usia 9 bulan imunisasi wajib hepatitis B. Salah atau upaya ya pemberian imunisasi hepatitis lengkap.”
Bagi ibu yang positif hepatitis, usai persalinan, anak diberikan imunisasi hepatitis kurang dari 24 jam. Kemudian semua ibu hamil yang melakukan deteksi dini hepatitis b, bayi dipantau, baik setelah kelahiran dan terakhir pemberian Hepatitis B immunoglobulin (HBIg) kepada bayi yang lahir, yang diikuti pemberian vaksin hepatitis.
“Kita berikan juga Hepatitis B Immunoglobulin kepada bayi yang ibunya positif hepatitis. Ibunya sendiri dapat diberikan obat Tenofovir--obat generik yang digunakan untuk mengobati hepatitis B,” lanjut Nadia.
Sebagaimana data Kemenkes perihal Persentase Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Deteksi Dini Hepatitis B Tahun 2015-2021, ada 2.682.297 ibu hamil yang lakukan tes. Dari jumlah tersebut, 40.000 di antaranya, positif hepatitis B.
Data hingga Juni 2021, ada 905.307 ibu hamil yang tes hepatitis B. Dari jumlah itu, 15.403 di antaranya, positif hepatitis B. Capaian deteksi ini pun sudah 85 persen.
Advertisement
Memutus Penularan Hepatitis dari Ibu ke Anak
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, hepatitis B di Indonesia dilaporkan sebesar 7,1 persen. Penyakit hepatitis B dengan transmisi dari Ibu kepada anak perlu dijadikan perhatian.
“Ini karena dikatakan 85 persen bayi dari ibu dengan HBeAg positif akan mengalami infeksi hepatitis B kronik. Artinya, ibunya akan menularkan kepada bayinya. Status HBeAg positif hepatitis B pada ibu sangat berperan,” papar Irsan Hasan.
“Kalau ibunya positif, 70-90 persen bayinya akan positif. Di sini jumlah virus yang berperan. Bila virusnya banyak, besar kemungkinan si bayi terkena.”
Untuk mengeliminasi hepatitis B, satu-satunya cara adalah memutus penularan atau transmisi vertikal dari ibu ke anak. Inilah yang harus diperhatikan, yang membuat kasus hepatitis kronik terbilang tinggi. Pengobatan hepatitis B dengan Immunoglobulin pada awalnya menjadi tantangan tersendiri.
Bahwa satu suntikan Immunoglobulin bisa Rp2 jutaan. Masyarakat kesulitan untuk mendapatkan obat tersebut. Padahal, kalau ibunya hepatitis B, bayi harus dapat vaksin. Sementara itu, Immunoglobulin menjadi aktivitas atau kegiatan baru dalam pengobatan hepatitis B.
Upaya pengobatan hepatitis B, lanjut Irsan, dapat menekan terjadinya penyakit. Salah satunya, Taiwan adalah negara yang paling dulu melaksanakan program pencegahan transmisi vertikal hepatitis B dari ibu ke anak.
Pengamatan yang dilakukan periode 1977-1984 dan 1985-2006 diperoleh penurunan kasus transmisi vertikal hepatitis B setelah 30 tahun. Hasilnya, penyakit kanker hati, insidensi karsinoma hepatoseluler (kanker hati), sirosis, dan mortalitas terkait karsinoma hepatoseluler menurun.
Deteksi Hepatitis C terhadap Kelompok Berisiko
Untuk mendeteksi hepatitis C, dilakukan terhadap kelompok berisiko, difokuskan terutama penggunaan narkoba suntik dan pasien hemodialisa. Kemudian orang dengan HIV dan binaan kemasyarakatan.
Hepatitis C ditularkan melalui aktivitas seksual yang berisiko umum atau tidak aman, kegiatan-kegiatan penggunaan jarum suntik ataupun kegiatan-kegiatan yang menggunakan alat yang tajam. Misal, tindik dan suntik yang tidak steril. Ini juga akan menyebabkan seseorang tertular hepatitis.
Dalam pengobatan DAA hepatitis C tahun 2017-2021, yang melakukan tes ada 565.000, lalu ditemukan positif 23.000. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan tes HCV-RNA. Positif hepatitis C, ada 15.000 dari 23.000 dan yang HCV RNA positif. Kemudian mulai pengobatan 6.600 dan pengobatan lengkap ada 4.400.
“Selanjutnya, kalau kita lihat dari semua yang mempunyai pengobatan hepatitis C ini sembuh sebanyak 96,06 persen,” imbuh Siti Nadia Tarmizi.
Kemenkes berupaya meningkatkan layanan hepatitis C ke 34 provinsi dan memperkuat sistem pencatatan dan pelaporan. Jumlah rumah sakit yang melayani pengobatan hepatitis C sudah ada 40 rumah sakit di 18 provinsi. Pengembangan terus dilakukan ke provinsi lain, hingga mencapai 34 provinsi untuk memberikan akses pengobatan hepatitis C sampai akhir tahun 2024.
Advertisement