Liputan6.com, Jakarta Seseorang bisa saja terinfeksi COVID-19 sekaligus tuberkulosis (TBC) dalam waktu bersamaan. Pada kondisi tersebut, tubuh mengalami serangan hebat dari infeksi kedua penyakit, yang berujung timbulnya perfect storm.
Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas YARSI, Tjandra Yoga Aditama mengatakan, tanpa penanganan program-program tuberkulosis sekarang, bisa saja orang terinfeksi COVID-19.Â
Advertisement
Baca Juga
"Kalau infeksi COVID-19 ada yang namanya badai sitokin. Kematian COVID-19 bisa terjadi ya karena ada badai sitokin--semacam bahan untuk pertahanan tubuh, tapi kalau kebanyakan menimbulkan 'badai' namanya," jelas Tjandra dalam acara Eliminasi Penyakit Tuberkulosis, Rabu (29/9/2021).
"Bila dua-duanya orang kena TBC dan COVID-10, dia punya gangguan imunologi gara-gara badai sitokin serta suatu 'badai' dari infeksi TBC. Kedua 'badai' ini pun bergabung sebagai perfect storm."
Istilah perfect storm yang disampaikan Tjandra mengacu jurnal berjudul, Pathology of TB/COVID-19 Co-Infection: The phantom menace, yang dipublikasikan di Elsevier Public Health Emergency. Jurnal ini terbit pada 17 November 2020.
Dari sudut pandang imunologis, koinfeksi TB/COVID-19 berpotensi menyatu dalam "perfect storm". Gangguan yang disebabkan oleh masing-masing patogen terhadap imunomodulasi cenderung menyebabkan respons inflamasi tidak seimbang, yang dapat mendorong perkembangan dan perburukan kedua penyakit, tulis peneliti dalam jurnal.
Â
** #IngatPesanIbuÂ
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
#sudahdivaksintetap3m #vaksinmelindungikitasemua
Perburukan Infeksi COVID-19 dan TBC
Tjandra Yoga Aditama menambahkan, dampak infeksi COVID-19 sekaligus TBC juga dikaji dalam studi berjudul, Tuberculosis and COVID-19 interaction: A review of biological, clinical and public health effects.
Jurnal yang terbit di Pulmonology periode Maret-April 2021 membahas bagaimana dampak biologis dan klinik dari TBC dan COVID-19 satu sama lain. Tjandra memberikan poin penting dalam jurnal tersebut.
"Pertama, kalau kena dua-duanya, maka COVID-19 menjadi berat, begitu juga kondisi TBC-nya. Artinya, punya dampak buruk bagi keduanya," jelasnya.
"Kedua, ternyata infeksi COVID-19 terjadi bisa saja saat TBC seseorang belum ada atau sedang terjadi ataupun sesudah TBC didiagnosis. Ketiga, masih butuh penelitian, apakah COVID-19 bisa membuat TBC yang sudah 'tidur' ya, sudah tenang, bisa jadi reaktivasi kembali atau memburuk kembali."
Keempat, perlu dinilai bagaimana dampak dari infeksi TBC kalau seseorang terkena COVID-19. Penelitian di dalam laboratorium menunjukkan, bila kena COVID-19 dan TBC bisa menghambat kemampuan tubuh untuk melawan virus Corona itu sendiri.
COVID-19 dapat terjadi kapan saja selama perjalanan pasien TB, dengan hasil yang lebih buruk bagi pasien yang terkena penyakit TB paru aktif. Diperlukan lebih banyak bukti untuk memahami potensi COVID-19 untuk mendukung reaktivasi infeksi TB yang sudah ada.
Tanda dan gejala spesifik yang umum pada COVID-19 dan TB dapat memfasilitasi akses cepat ke layanan pencitraan (rontgen dada dan/atau tomografi terkomputerisasi) yang dapat menunjukkan tanda-tanda TB yang sudah ada sebelumnya, tulis peneliti.
Advertisement