Liputan6.com, Jakarta Sepanjang Juni 2020 hingga September 2021, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI telah menemukan sebanyak 72 produk berbahaya yang beredar di pasaran. 18 diantaranya merupakan produk kosmetik yang mengandung bahan terlarang atau berbahaya.
Produk-produk tersebut dijual dengan iming-iming terkait penanganan COVID-19. Padahal, produk kosmetika yang ditemukan mengandung bahan kimia obat (BKO) berupa hidrokinon, pewarna merah K3, dan pewarna merah K10.
Baca Juga
"Hidrokuinon kita tahu dapat menimbulkan iritasi kulit, menjadi merah dan rasa terbakar, serta ochronosis atau kulit kehitaman," ujar Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik BPOM RI, Dra. Reri Indriani, Apt., M.Si dalam konferensi pers pada Rabu (13/10/21).
Advertisement
Sedangkan, pewarna K3 dan K10 merupakan bahan yang bersifat karsinogen atau bisa menyebabkan kanker. Terkait hal tersebut, BPOM rutin melakukan kegiatan sampling dan monitoring untuk memantau produk-produk yang beredar.
"Sepanjang masa pandemi ini, Badan POM secara rutin melakukan kegiatan sampling dan pengujian dengan memprioritaskan produk yang dikaitkan dengan penanganan COVID-19 yaitu obat tradisional dan suplemen kesehatan dengan klaim menjaga kesehatan tubuh dan menjaga daya tahan tubuh,"
"Sedangkan untuk kosmetik sendiri berupa hand gel dan hand moisturizer yang digunakan oleh masyarakat secara umum dalam menerapkan protokol kesehatan," ujar Reri.
Reri menjelaskan bahwa kegiatan sampling dan monitoring ini memang ditujukan untuk mengetahui keamanan produk yang diproduksi, beredar, dan dikonsumsi masyarakat.
Mengingat bisa saja produk yang sudah ada di pasaran masih mengandung BKO, bahan dilarang, atau bahan berbahaya yang tidak disetujui izin pendaftarannya.
Kecenderungan Baru terkait BKO
Berdasarkan 72 produk yang ada, 53 produk diantaranya merupakan obat tradisional yang mengandung BKO. Serta, 1 produk suplemen kesehatan yang mengandung bahan kimia. Terlebih, ditemukan adanya penemuan baru terkait BKO dalam obat tradisional.
"Ada kecenderungan baru selama masa pandemi ini, beberapa obat tradisional diketahui dari hasil sampling dan pengujian kami mengandung Efedrin dan Pseudoefedrin, yang sebelum pandemi hampir tidak pernah ditemukan sebagai BKO dalam obat tradisional," kata Reri.
Efedrin dan Pseudoefedrin merupakan bahan kimia yang sintetis dan secara alami terdapat pada tanaman Ephedra sinica atau Ma Huang. Ephedra sinica merupakan bahan yang dilarang dalam obat tradisional dan suplemen kesehatan menurut Peraturan POM Nomor HK.00.05.41.1348 Tahun 2005.
Ketentuan tersebut juga tertuang dalam Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2020. Mengingat penggunaan efedra dapat membahayakan kesehatan pada sistem kardiovaskuler. Bahkan dapat menyebabkan kematian pada penggunaan yang tidak tepat dan berlebihan.
"Produk obat tradisional yang mengandung ephedra sinica tidak menahan laju keparahan pasien COVID-19, tidak menurunkan angka kematian, dan tidak mempercepat konversi swab test menjadi negatif," ujar Reri.
Advertisement