Liputan6.com, Jakarta Sebagai tuan rumah Presidensi G20 2022, Indonesia harus ikut berperan memimpin tata ulang arsitektur kesehatan global. Apalagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menegaskan untuk memperkuat arsitektur kesehatan global.
Hal tersebut disampaikan Jokowi saat pidato dalam sesi G20 Leaders’ Summit (Konferensi Tingkat Tinggi G20/KTT G20) yang berlangsung di Roma, Italia pada 30 Oktober 2021. Dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada September 2021, Jokowi juga menekankan, dunia harus melakukan tata ulang arsitektur ketahanan kesehatan global.
Advertisement
Baca Juga
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama menyampaikan, pengertian 'tata ulang' arsitektur kesehatan cukup luas. Menurutnya, ada sejumlah poin penting yang mungkin dapat diusulkan perlu dikaji lebih mendalam.Â
"Dunia dan semua negara harus melakukan investasi untuk program persiapan (preparedness), termasuk jaminan ketersediaan obat, vaksin, alat kesehatan dan tentunya tenaga kesehatan terampil," terang Tjandra Yoga kepada Health Liputan6.com melalui pesan singkat, Minggu (31/10/2021).
"Penganggaran kesehatan dunia pun perlu jadi prioritas penting melalui International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia serta badan keuangan regional."
Â
** #IngatPesanIbuÂ
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
#sudahdivaksintetap3m #vaksinmelindungikitasemua
Peran Besar Indonesia dalam G20 2022
Demi mewujudkan tata ulang arsitektur kesehatan global, Tjandra Yoga Aditama menambahkan, perlu adamya jaminan komitmen tinggi di tingkat kepala negara/kepala pemerintahan di dunia untuk menjalankan berbagai program kesehatan masyarakat.
"Ini termasuk mengatasi masalah penyebaran penyakit melewati lintas batas negara. Amat penting kegiatan surveilans di dunia, antar negara, dan di dalam negara masing-masing," tambahnya.
"Agar dapat diketahui data lengkap tentang kecenderungan (tren) penyakit dan masalah kesehatan, utamanya yang mungkin berpotensi menyebar luas di dunia."
Selain itu, perlu ada penguatan yang jelas bagi peran dan fungsi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam hal kemandirian, otoritas dan anggaran. Hal ini perlu terwujud di WHO tingkat pusat, berbagai kantor regional serta perwakilan-perwakilan WHO di negara-negara anggota.Â
"Hal-hal di atas memerlukan kajian diplomasi kesehatan internasional yang mendalam. Kita punya amat banyak pengalaman dan sarat pengetahuan di bidang ini," tutup Tjandra Yoga.
"Indonesia dapat dan harus berperan besar dan bahkan ikut memimpin tata ulang kesehatan global, termasuk dalam Keketuaan Indonesia di G20, demi menyelamatkan umat manusia di dunia dan nama harum bangsa."
Advertisement
Akses Vaksin Tak Merata dan Reformasi Darurat Kesehatan
Laporan Global Preparedness Monitoring Board (GPMB) ikut menyoroti tatanan respons kesehatan global. Tiga bulan sebelum pandemi COVID-19 muncul, mereka menulis bahwa dunia tidak siap menghadapi pandemi (the world is not prepared).
Para anggota GPMBÂ menyuarakan keprihatinan, sudah tiba waktunya untuk mereformasi ekosistem darurat kesehatan.
Ada beberapa ketidaksiapan dunia saat pandemi COVID-19 awal melanda, yakni kegagalan kolektif mengambil kesiapsiagaan secara serius dan bertindak cepat berdasarkan sains.
"Kegagalan dan ketidaksetaraan yang sudah berlangsung lama, menyebabkan kesenjangan terhadap akses alat-alat kesehatan esensial yang menyelamatkan jiwa, seperti vaksin dan oksigen, serta pemulihan ekonomi yang tidak merata," tulis laporan GPMB, dikutip dari artikel berjudul, Covid-19 lessons not being learned, says global body that predicted pandemic, yang dipublikasikan South China Morning Post.
Data laporan GPMB di atas, merujuk informasi terbaru, bahwa 63 persen orang di negara-negara berpenghasilan tinggi telah menerima setidaknya satu dosis vaksin COVID-19, sedangkan angka itu hanya 4,5 persen di negara-negara berpenghasilan rendah.
Infografis Anak Muda Sayangi Lansia, Ayo Temani Vaksinasi Covid-19
Advertisement