Sukses

Dehumanisasi, Salah Satu Penyebab Korban Pelecehan Seksual Enggan Speak Up

Bukan tanpa alasan korban pelecehan seksual memilih diam dan tidak speak up

Liputan6.com, Jakarta Kriminolog Haniva Hasna, M. Krim menjelaskan penyebab korban pelecehan seksual enggan menceritakan kejadian yang menimpanya atau sering disebut speak up.

Menurut Haniva, pelecehan seksual dapat menyebabkan dehumanisasi yakni perasaan rendah sebagai manusia. Lalu muncul rasa malu yang membuat korban menjadi menyalahkan diri sendiri. Misal, mengapa tidak melawan, mengapa bersedia diperlakukan seperti itu.

“Naluri untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri inilah yang membuat korban berusaha menerima dan menyembunyikan rasa sakitnya. Padahal upaya itu nyatanya akan membuat mereka mengalami trauma,” kata dia kepada Health Liputan6.com melalui pesan teks.

Kriminolog lulusan Universitas Indonesia yang akrab disapa Iva, menambahkan, pengalaman traumatis ini membuat korban terganggu emosi dan kognitifnya. Rasa takut yang mendominasi membuat korban tidak hanya takut untuk melapor, tetapi juga takut untuk mengingat peristiwa tersebut.

Kebanyakan korban pelecehan atau kekerasan seksual takut dengan ancaman pelaku sehingga memilih untuk diam.

“Apalagi jika pelakunya adalah pihak yang dominan, korban merasa akan terjadi pembalasan yang mengakibatkan penderitaannya semakin berat," katanya.

Simak Video Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Viktimisasi Ganda

Selain dehumanisasi, viktimisasi ganda yang dilakukan oleh masyarakat atas musibah yang terjadi juga menjadi alasan tersendiri untuk korban tidak speak up.

Korban cenderung dianggap lemah karena tidak melakukan perlawanan, tidak waspada, tidak belajar dari kesalahan bahkan tidak jarang masyarakat menormalisasi sikap pelaku.

Rendahnya keadilan bagi para korban juga menjadi salah satu hal yang menyebabkan korban tidak melapor.

“Hukuman yang terlalu ringan, proses hukum yang lama dan berlarut-larut, serta adanya beberapa kasus yang dianggap selesai ketika pelaku sudah dijatuhi hukuman tertentu jadi bahan pemikiran korban untuk lapor. Di sisi lain, tidak banyak pihak yang mengawal korban hingga benar-benar sehat secara psikologis," Haniva menambahkan.

3 dari 4 halaman

Pemahaman yang Salah

Korban yang memiliki pemahaman salah juga berkontribusi pada terhambatnya pelaporan kasus.

Korban yang memiliki kedudukan di bawah pelaku, misalnya santri atau murid yang jadi korban ustaz atau guru mengonstruksi bahwa kekerasan yang terjadi pada dirinya adalah suatu hal yang dapat diterima. Hal ini dikarena korban memahami sifat asli ustaz atau gurunya dan mengerti kedudukan yang tinggi pada mereka.

“Korban berpikir bahwa kekerasan yang terjadi pada dirinya adalah suatu kebiasaan karena sudah terjadi dari dulu dan termasuk suatu hukuman yang harus diterimanya karena melanggar aturan atau perintah.”

Sedang, pelaku mengonstruksi bahwa kekerasan pada korban adalah bentuk pembelajaran atau hukuman demi kebaikan korban ke depannya.

4 dari 4 halaman

Infografis Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.