Sukses

[Kolom Pakar] Prof Tjandra Yoga Aditama: “Active Case Finding” Tuberkulosis

Untuk dapat mengakselerasi program pengendalian tuberkulosis maka setidaknya perlu dilakukan dua hal penting.

Liputan6.com, Jakarta Indonesia adalah penyumbang kasus tuberkulosis (TB) ke tiga terbesar di dunia. Dengan adanya pandemi COVID-19 maka penemuan dan pengobatan TB jadi terkendala karena perhatian tentu banyak diberikan ke penanganan pandemi COVID-19.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2021 ada 614.425 kasus TB yang tidak berhasil ditemukan atau dilaporkan dan ada 194.375 kasus TB tidak berhasil diobati dengan baik, artinya kasus-kasus itu masih sakit dan juga masih mungkin menularkan ke orang lain. Di sisi lain, pada Agustus 2021 sudah dikeluarkan Peraturan Presiden No 67 tahun 2021 yang antara lain membahas tentang eliminasi tuberkulosis di negara kita pada tahun 2030.

Untuk dapat mengakselerasi program pengendalian tuberkulosis maka setidaknya perlu dilakukan dua hal penting.

Pertama, surveilans aktif untuk menemukan kasus yang tidak terlaporkan (“under reporting”). Kegiatannya antara lain dapat dilakukan dengan pertemuan Validasi Data TB di Puskesmas dan juga penyisiran kasus di Rumah Sakit.

Sementara itu, hal kedua yang penting dilakukan adalah penemuan kasus secara aktif (“active case finding”) dimana petugas mendatangi mereka yang diduga sebagai pasien dan atau kontak untuk mengajak mereka memeriksakan dirinya. Hal ini dilakukan untuk melengkapi kegiatan penemuan kasus secara pasif (“pasive case finding”) dimana pasien datang dengan kesadaran sendiri berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan siap bekerja di dalam gedung Puskesmas atau Rumah Sakit.

 

Simak Video Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Penemuan kasus aktif

Dalam hal kegiatan penemuan kasus secara aktif (“active case finding”) ini maka saya pada 16 dan 17 Desember 2021 mengikuti kegiatan uji coba skrining TB dengan foto rontgen di Jawa Barat. Pada 16 Desember saya ke Puskesmas Rancaekek dan pada 17 Desember ke Desa Ciheulang.

Saya bertemu dengan perwakilan dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung dan Kepala Puskesmas Rancaekek serta Puskesmas Sumber Sari, bersama petugas lapangan yang langsung kerja di kecamatan dan di desa.

Dari pengalaman dua hari ini maka ada lima hal yang dapat dijadikan pelajaran untuk meningkatkan program pengendalian TB.

Pertama, di kedua tempat itu acara dihadiri sekitar 100 orang warga, yang sebelumnya memang dikunjungi petugas dan atau kader kesehatan dan diminta datang untuk memeriksakan diri. Artinya, dengan pendekatan yang baik maka masyarakat memang dapat diajak untuk aktif memeriksakan dirinya.

Kedua, kebetulan di salah satu daerah ini ada beberapa pesantren, dan para santri juga ikut memeriksakan diri. Saya sempat menghubungi teman dokter di NU dan Muhammadiyah di Jakarta untuk apresiasi dan juga mengajak agar terus dapat aktif berpartisipasi aktif dalam pengendalian TB di lapangan.

Ketiga, dengan adanya Peraturan Presiden No 67 tahun 2021 maka memang kegiatan pengendalian TB di kalangan pemerintah daerah dapat terus ditingkatkan, dan akan baik kalau selain target nasional yang harus dicapai maka ada juga target provinsi dan juga Kabupaten/Kota.

Keempat, ternyata di masyakarat masih ada “stigma” sehingga pasien TB tidak selalu terbuka untuk memeriksakan diri. Untuk ini tentu perlu dilakukan penyuluhan kesehatan dan juga pendekatan sosial kemasyarakatan.

Kelima, obat TB sudah tersedia luas, hanya saja fasilitas untuk pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) memang masih terbatas, padahal Pedoman diagnosis TB adalah dengan pemeriksaan TCM ini. Artinya, ketersediaan alat dan penyebarannya harus terus ditingkatkan.

Memang masih banyak tantangan dalam pengendalian TB di negara kita. Hanya dengan kerja keras kita bersama maka tuberkulosis dapat dieliminasi dari bumi nusantara pada 2030, sembilan tahun lagi