Liputan6.com, Jakarta - Satuan Tugas (Satgas) COVID-19 membeberkan biaya karantina mandiri yang dapat mencapai Rp 19 juta termasuk swab test PCR, akomodasi, dan transportasi.
Menanggapi hal ini, ahli epidemiologi Masdalina Pane mengatakan bahwa jika melihat Undang-Undang Karantina, seharusnya karantina ditanggung pemerintah.
Baca Juga
“Karantina itu menurut undang-undang adalah tanggung jawab pemerintah, sekarang pemerintah enggak punya uang buat karantina tapi punya uang buat PCR. Kalau untuk bisnisnya dia punya uang tapi untuk masyarakatnya dia tidak punya uang,” kata Masdalina kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Kamis, 23 Desember 2021.
Advertisement
Karantina tetap menjadi tanggung jawab pemerintah kecuali pemerintah mengeluarkan regulasi yang tidak memperbolehkan masyarakat pergi ke luar negeri. Jadi, jika ada masyarakat yang harus pergi ke luar negeri maka ia harus memenuhi ketentuan pemerintah salah satunya membayar karantina.
Di sisi lain, Ketua Bidang Komunikasi Publik Satgas Penanganan COVID-19 Hery Trianto menyampaikan, Warga Negara Indonesia (WNI) yang bukan Pekerja Migran Indonesia (PMI), pelajar/mahasiswa yang telah menamatkan studi di luar negeri atau Aparat Sipil Negara (ASN) dari penugasan luar negeri harus menjalani karantina dengan biaya mandiri.
Ini berdasarkan Surat Edaran (SE) Nomor 25 Tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional pada Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) huruf F Nomor 4 Poin G.
Hanya ketiga kelompok masyarakat di atas, yang mendapatkan fasilitas karantina terpusat dengan biaya yang ditanggung Pemerintah saat kembali ke Tanah Air.
“Warga Negara Indonesia yang tidak termasuk kriteria yang disebut, dipersilakan menjalani karantina di tempat akodomasi karantina atau hotel yang mendapatkan rekomendasi dari Satuan Tugas Penanganan COVID-19 bekerja sama dengan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI),” tutur Hery dalam pernyataan tertulis yang diterima Health Liputan6.com, Selasa (21/12/2021).
Adapun tarif hotel karantina bervariasi, tergantung jenis hotel dan durasi karantina (10 hari dan 14 hari). Misal, tarif hotel karantina untuk 9 malam 10 hari pada hotel Bintang 2 berkisar Rp6.750.000-Rp7.240.000.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
#sudahdivaksintetap3m #vaksinmelindungikitasemua
Simak Video Berikut Ini
Apa Efektif?
Jika dilihat dari sisi efektivitas, karantina memang pengendalian di hulu. Pengendalian pertama adalah mencegah Variant of Concern (VOC) baru agar tidak masuk ke Indonesia.
“Berapa lama pemberlakuannya? Satu kali masa inkubasi terpanjang. Masa inkubasi terpanjang COVID-19 adalah 14 hari. Ini dilakukan jika terdapat VOC yang bersirkulasi di dunia, sejauh ini dua VOC yang bersirkulasi di dunia adalah Delta dan Omicron,” katanya.
Pencegahan di hulu, lanjut Masdalina, perlu juga dibarengi dengan keterbukaan kondisi wabah. Hal ini berkaitan dengan data terkait jumlah kasus dan hal lainnya.
“Itu harus diumumkan secara terbuka. Sejauh ini pencegahan di hulu yang kita lakukan masih cukup efektif. Ini diindikasikan dengan temuan kasus baru Omicron di pintu masuk, belum ada yang di komunitas. Dengan karantina 14 hari virus itu mati sendiri di tubuh yang terinfeksi,” kata Masdalina.
Ini merupakan kontrol dasar, inti utama memutus rantai penularan adalah isolasi dan karantina. Isolasi pada mereka yang positif dan karantina pada mereka yang kontak erat atau pelaku perjalanan luar negeri.
“Apakah karantina sebelum 14 hari cukup? Cukup karena 14 hari itu masa inkubasi terpanjang, yang kurang dari 14 hari dapat dibantu dengan penerapan protokol kesehatan," Masdalina menambahkan.
Advertisement
Terkait WGS
Terkait Whole Genome Sequencing (WGS) atau pengurutan genome, Masdalina mengatakan bahwa hal ini dilakukan pada suspek dan probable.
“Probable adalah mereka yang sakit berat atau menunjukkan gejala berat hingga meninggal dan belum diketahui hasil PCR-nya sebelum diumumkan.”
Sedang, suspek secara epidemiologi adalah pelaku perjalanan dari negara terjangkit.
“Kesalahan di pintu masuk, yang di-WGS itu hanya yang positif, padahal yang harusnya di-WGS adalah suspek dan probable ini petunjuknya ada dari World Health Organization (WHO),” pungkas Masdalina.
Infografis Terhantam COVID-19, Singapura Masuk Jurang Resesi Ekonomi
Advertisement